Topswara.com -- Dunia pendidikan kembali ramai diperbincangkan setelah beberapa waktu yang lalu seorang mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), Aulia Risma Lestari melakukan bunuh diri.
Motif kematiannya diduga karena tidak kuat atas perilaku bullying yang dialaminya. Ia ditemukan tewas di kamar kosnya pada Senin, 12 Agustus 2024. Selain sebagai mahasiswa, Aulia Risma juga dikenal sebagai dokter muda di RS Kardinah, Tegal, Jawa Tengah. Ia bunuh diri dengan cara menyuntikkan obat bius jenis Roculax.
Kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa bukan pertama kali ini terjadi, bahkan beberapa tahun terakhir kasusnya kian marak. Di antaranya; Pertama, pada 15 Agustus 2023 mahasiswa berinisial MFSP Fakultas Hukum Undip meninggal dengan cara gantung diri di pojok Lapangan Tembak Kodam IV Diponegoro, Semarang.
Kedua, 16 September 2023 seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Semarang (USM) bunuh diri dengan cara melompat dari lantai enam gedung parkir kampus.
Ketiga, pada Oktober 2023 dua kasus mahasiswa bunuh diri di dua kampus yang berbeda. Salah satunya dikarenakan terjerat utang pinjol. Sedangkan yang satunya lagi mahasiswa berinisial NJW Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang (Unnes) nekat melompat dari lantai empat Mall Paragon, Jalan Pemuda, kota Semarang.
Keempat, pada Agustus 2024 dua mahasiswa dari IPB dan UGM juga mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. (Jawapos.com, 17/8/2024)
Sistem Sekuler Menghilangkan Peran Sentral
Meningkatnya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa perlu mendapat perhatian yang serius. Diawali dengan mencari faktor penyebab mengapa para mahasiswa lebih memilih mengakhiri hidupnya daripada menyelesaikan masalah atau mencari solusi yang lebih bijak.
Menurut Pakar Psikologi Unair, Dr. Nur Ainy Fardana, ia mengatakan ada lima faktor yang membuat mahasiswa bunuh diri. Yaitu, adanya masalah kesehatan mental, tekanan dan tuntutan yang tinggi dalam lingkup akademik dan keluarga, perasaan kesepian atau tidak ada dukungan sosial, masalah finansial, dan peristiwa traumatis akibat kehilangan orang terdekat atau mengalami pelecehan. (Kompas.com, 21/8/2024)
Masalah kesehatan mental, di antaranya adalah depresi, gangguan kecemasan, gangguan makan, menyakiti diri sendiri, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, insomnia, dan kurangnya bersosialisasi. Hal ini tak lepas dari cara pandang manusia terhadap kehidupannya.
Tidak dimungkiri sistem kehidupan sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) telah mereduksi pandangan hakiki manusia sebagai hamba Allah SWT. Dari mana ia berasal, untuk apa ia diciptakan, dan akan ke mana setelah kematian. Sebaliknya kehidupan kapitalisme sekuler kian melekat dalam kehidupan saat ini.
Tujuan kehidupan hanya untuk meraih materi sebanyak-banyaknya dan kesenangan dunia. Alhasil, jika tidak tercapai maka muncullah stres, cemas, depresi, dan gangguan lainnya yang bisa memicu bunuh diri.
Selain itu, fungsi keluarga yang berperan penting dalam mencetak generasi cemerlang tidak berjalan secara sempurna, terutama peran ibu sebagai madrasatul uula (sekolah pertama). Tidak sedikit di sistem kapitalisme sekularisme seorang ibu yang menjalani hidupnya dengan berperan ganda.
Sebagai ibu sekaligus pencari nafkah karena sulitnya lapangan pekerjaan bagi para suami. Sehingga waktu yang tersedia untuk anak-anaknya berkurang, begitupun kasih sayangnya. Akhirnya, anak merasa terabaikan dan mengambil jalan pintas ketika menghadapi masalah.
Ditambah lagi dengan hilangnya fungsi masyarakat yang melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Karena masyarakat dalam sistem kapitalisme sekularisme bersifat individualistik sehingga tidak peduli dengan urusan orang lain, enggan untuk saling menasihati bahkan cenderung mementingkan diri sendiri.
Demikian pula negara. Penerapan sistem pendidikan sekuler telah menjauhkan para peserta didik dari agama. Tujuannya lebih ke arah nilai akademik dan minim nilai-nilai ruhiyah. Sehingga tidak sedikit mereka yang kehilangan jati dirinya sebagai hamba Allah SWT. dan tidak mempunyai rasa takut kepada-Nya.
Ditambah lagi dengan tidak adanya sanksi yang tegas oleh negara. Hukum yang ada tidak bersifat memberi efek jera, sehingga kasus sosial seperti bunuh diri bukan makin berkurang, malah semakin bertambah. Inilah potret kehidupan hari ini, akibat penerapan sistem sekuler yang jauh dari agama, peran-peran sentral pun menjadi hilang.
Islam adalah Solusi: Anti Galau dan Anti Depresi
Islam sebagai agama yang sempurna sekaligus ideologi yang diemban dunia terutama kaum muslimin memiliki aturan hidup yang khas. Aturannya yang syamil dan kamil selalu memberikan solusi yang komprehensif bagi setiap permasalahan termasuk masalah mental generasi.
Begitu pun pemimpinnya, ia sangat bertanggung jawab terhadap rakyatnya, karena kesadaran yang dimiliki akan beratnya pertanggung jawaban di akhirat kelak.
Dalam hal pendidikan, negara Islam menempatkan pendidikan sebagai hak seluruh rakyat, sehingga negara menjamin pemenuhannya secara merata kepada setiap warga negara, bahkan tidak perlu mengeluarkan biaya alias gratis.
Tujuan pendidikan dalam Islam juga sangat jelas, yakni untuk melahirkan generasi berkualitas, berakhlak mulia, dan cerdas. Dengan kata lain output pendidikan Islam adalah untuk melahirkan peserta didik yang bersyaksiyah Islam. Yaitu memiliki pemikiran serta sikap yang islami.
Untuk mewujudkan itu semua, Islam mempunyai solusi mendasar dengan tiga pilar. Pertama, ketakwaan individu dalam pendidikan keluarga. Islam menempatkan pendidikan keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak. Setiap keluarga muslim wajib menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam mendidik anak.
Dengan pendidikan berbasis akidah Islam akan terbentuk karakter iman dan ketaatan sehingga tercegah dari berbuat maksiat. Anak akan diajarkan tanggung jawab dalam setiap perbuatannya dan menjadikan halal haram sebagai standar perbuatannya.
Kedua, kontrol masyarakat. Kontrol masyarakat ini memiliki peran strategis dalam menjaga ketaatan individu agar tidak terjadi kemungkaran sebagaimana tuntutan syariat.
Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 125 yang artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.
Juga hadis Rasul SAW.: "Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim).
Ketiga, peran dan tanggung jawab negara. Negara sebagai institusi pemerintahan dan pengurus rakyat berkewajiban menjaga mental dan jiwa masyarakat sebagaimana tugasnya mewujudkan maksud syariat, seperti hifdzu ad-din (menjaga agama), hifdzu an-nafs (menjaga diri), hifdzu an-nasl (menjaga keturunan), hifdzu al-maal (menjaga harta), dan hifduz al- ‘aql (menjaga akal).
Selain itu, negara dalam sistem Islam akan menerapkan sistem pendidikan yang berasaskan akidah Islam. Sistem ini tidak hanya mencetak generasi yang menguasai sains dan teknologi saja, akan tetapi juga generasi yang bertakwa dan berkepribadian Islam.
Selain itu juga ditopang dengan sistem ekonomi Islam yang menjamin semua masyarakat akan merasakan hak pendidikannya secara gratis. Negara juga akan menghilangkan segala hal yang akan merusak keimanan dan ketaatan serta mental generasi. Sehingga tidak ada lagi mahasiswa yang galau, depresi, dan berakhir bunuh diri.
Itulah tiga pilar mendasar yang saling melengkapi dan mendukung sehingga terwujudlah generasi cemerlang pencetak peradaban gemilang. Namun ketiganya akan berjalan secara sempurna jika didukung pula oleh negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah (menyeluruh) di setiap aspek kehidupan.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Oleh: Sri Murwati
Pegiat Literasi
0 Komentar