Topswara.com -- Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, mendukung adopsi sistem pinjaman online (pinjol) untuk membantu mahasiswa membiayai pendidikan mereka.
Meskipun pinjol sering dipandang negatif, Muhadjir melihatnya sebagai inovasi teknologi yang bisa dimanfaatkan dengan baik jika diawasi dengan benar oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Muhadjir menegaskan bahwa pinjol berbeda dari judi online (judol) dan menolak anggapan bahwa pinjol merupakan komersialisasi pendidikan. Ia juga menyebutkan bahwa setidaknya 83 perguruan tinggi telah bekerja sama dengan penyedia pinjol resmi untuk memfasilitasi pembayaran uang kuliah. (tirto.id 3/7/24)
Padahal, utang dari pinjol memiliki potensi merusak masa depan, seperti yang dialami oleh lima fresh graduate yang ditolak pekerjaan karena catatan kredit macet. Kejadian ini menjadi peringatan penting bagi generasi muda Indonesia agar tidak sembarangan berutang.
Kepala Eksekutif Pengawas OJK, Friderica Widyasari Dewi, mengingatkan bahwa data kredit macet kini terhubung melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), yang mencatat semua informasi kredit berdasarkan KTP.
Generasi muda saat ini cenderung memiliki gaya hidup konsumtif, yang sering kali mengakibatkan penumpukan utang, terutama melalui metode "buy now, pay later" (BNPL).
Kiki, seorang pejabat OJK, juga mengingatkan masyarakat untuk rajin memeriksa data mereka di SLIK yang akan segera terintegrasi dengan data pinjaman online melalui pengembangan pusat data Fintech Lending (Pusdafil).
Masuknya data pinjol ke dalam SLIK diharapkan dapat meningkatkan kehati-hatian masyarakat dalam mengajukan pinjaman, mengurangi kebiasaan tidak membayar utang yang sebelumnya sering terjadi karena data pinjol belum tercatat di SLIK (CNBC Indonesia 29/08/23).
Itulah yang terjadi dalam sistem sekuler kapitalisme. Rusaknya paradigma kepemimpinan dalam sistem sekuler kapitalisme mendukung pengusaha pinjol yang merusak masyarakat dan membuktikan lepasnya tanggung jawab negara dalam mencapai tujuan pendidikan.
Dukungan pejabat tinggi negara terhadap penggunaan pinjol untuk pembiayaan pendidikan mencerminkan adanya pergeseran paradigma kepemimpinan yang mengkhawatirkan dalam sistem sekuler kapitalisme.
Dalam sistem ini, solusi finansial sering kali diarahkan melalui mekanisme pasar dan keuntungan, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, dengan mendukung pinjol, pemerintah seolah-olah memberikan lampu hijau kepada sektor swasta untuk mengambil peran yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, yaitu menyediakan akses pendidikan yang terjangkau dan berkualitas.
Hal ini berpotensi menempatkan mahasiswa dalam situasi finansial yang rentan, mengingat pinjol sering kali memiliki suku bunga tinggi dan praktik penagihan yang agresif.
Pinjol telah dikenal luas karena praktik-praktik yang merugikan konsumen, termasuk suku bunga yang tidak transparan dan penagihan yang intimidatif.
Dengan mendukung mekanisme ini, pejabat negara berisiko melegitimasi praktik-praktik eksploitatif yang dapat memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, khususnya mahasiswa yang seharusnya dilindungi dan didukung oleh negara. Pendidikan seharusnya menjadi hak dasar yang seharusnya dijamin oleh negara.
Ketika negara mendorong solusi pembiayaan melalui pinjol, hal ini menunjukkan pengabaian terhadap tanggung jawab tersebut dan menggambarkan pendekatan yang kurang proaktif dalam memastikan akses pendidikan yang merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Kegagalan Negara
Dukungan terhadap pinjol sebagai solusi pembiayaan pendidikan juga mencerminkan kondisi sosial yang lebih luas, di mana kemiskinan dan ketimpangan ekonomi mendorong masyarakat menuju pilihan-pilihan pragmatis yang mungkin merugikan mereka di masa depan.
Pertama, kemiskinan sebagai faktor pendorong. Banyak mahasiswa terpaksa mencari sumber pendanaan alternatif seperti pinjol karena ketidakmampuan finansial yang disebabkan oleh kemiskinan.
Hal ini menunjukkan bahwa negara belum berhasil menciptakan kondisi ekonomi yang memungkinkan semua warganya untuk mengakses pendidikan tanpa beban finansial yang berat.
Kedua, pragmatisme yang merugikan. Dalam kondisi terdesak, masyarakat cenderung memilih solusi cepat dan mudah tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.
Penggunaan pinjol untuk pendidikan mungkin tampak sebagai solusi instan, namun berpotensi menjerumuskan mahasiswa ke dalam lingkaran utang yang sulit diatasi, mengakibatkan stres finansial dan menghambat perkembangan mereka di masa depan.
Ketiga, kegagalan kebijakan sosial dan ekonomi. Situasi ini mencerminkan kegagalan kebijakan sosial dan ekonomi negara dalam menyediakan jaring pengaman yang memadai bagi warganya.
Kurangnya beasiswa, bantuan pendidikan, dan program kesejahteraan lainnya menunjukkan perlunya reformasi dan peningkatan komitmen negara dalam menyejahterakan rakyatnya.
Islam Mengatur Sistem Pendidikan
Dalam perspektif Islam, negara memiliki peran sentral dan tanggung jawab penuh dalam memastikan kesejahteraan rakyat di semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan yang dianggap sebagai kebutuhan dasar setiap individu.
Prinsip-prinsip Islam menekankan pentingnya negara dalam menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau bagi seluruh masyarakatnya, serta berkomitmen dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang adil dan merata.
Pertama, negara sebagai pelayan rakyat. Islam mengajarkan bahwa pemimpin dan pemerintah harus berperan sebagai pelayan bagi rakyatnya, memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Pendidikan dianggap sebagai hak fundamental yang harus disediakan oleh negara tanpa membebani rakyat dengan beban finansial yang berat.
Kedua, negara sebagai penyediaan pendidikan gratis dan berkualitas. Dalam sejarah peradaban Islam, terdapat banyak contoh negara menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi semua lapisan masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang berpengetahuan, berakhlak, dan mampu berkontribusi positif bagi perkembangan bangsa.
Ketiga, penolakan terhadap praktik yang merugikan. Islam menolak praktik-praktik finansial yang merugikan dan eksploitatif, termasuk riba (bunga) yang sering menjadi bagian dari sistem pinjaman konvensional seperti pinjol.
Oleh karena itu, solusi pembiayaan pendidikan dalam Islam harus bebas dari unsur-unsur yang merugikan dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Pemimpin dalam Islam
Islam menetapkan pejabat sebagai teladan umat, pemimpin yang senantiasa taat syariat, dan menggunakan teknologi sesuai dengan tuntunan syariat. Dalam Islam, pemimpin dan pejabat publik diharapkan menjadi teladan yang baik bagi masyarakat, menunjukkan integritas, keadilan, dan ketaatan terhadap syariat dalam semua tindakan dan kebijakan yang mereka ambil.
“Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan, dia akan dimintai pertanggung jawaban atas pemelihara dan pengaturannya” [HRMuslim]
Adapun kepemimpinan dalam Islam yakni: Pertama, kepemimpinan berbasis akhlak dan syariah. Pemimpin dalam Islam harus menunjukkan akhlak yang mulia dan mematuhi hukum-hukum syariah dalam menjalankan tugasnya.
Mereka harus membuat keputusan yang mengedepankan kesejahteraan umat dan menghindari kebijakan yang dapat merugikan masyarakat.
Kedua, pemanfaatan teknologi yang bertanggung jawab. Islam tidak menolak kemajuan teknologi, namun menekankan pentingnya penggunaan teknologi secara bertanggung jawab dan sesuai dengan nilai-nilai syariah.
Dalam konteks ini, solusi teknologi finansial harus dirancang dan diimplementasikan tanpa melibatkan unsur-unsur yang dilarang, seperti riba, dan harus benar-benar bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sungguh disayangkan bila mengingat Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk muslim tetapi malah dipaksa untuk melakukan pinjol yang digunakan sebagai solusi biaya pendidikan. Padahal sudah jelas Islam telah mengatur hukum terkait hukum pinjaman online yang merupakan praktik ribawi.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Qur’an surah al-Baqarah ayat 275 yang artinya, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Ketiga, transparansi dan akuntabilitas. Pejabat harus memastikan bahwa setiap kebijakan dan program yang diterapkan dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas yang tinggi.
Dalam kasus penggunaan pinjol untuk pendidikan, pejabat seharusnya memastikan bahwa mekanisme pembiayaan tersebut tidak membebani atau merugikan mahasiswa, serta sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan keadilan sosial.
Keempat, mendorong solusi alternatif yang lebih baik. Sebagai teladan, pejabat harus proaktif dalam mencari dan mengimplementasikan solusi alternatif yang lebih sesuai dan bermanfaat bagi masyarakat, seperti menyediakan beasiswa, dana pendidikan dari negara, atau membangun kerjasama dengan lembaga keuangan syariah yang menawarkan pembiayaan tanpa riba dan lebih adil.[]
Anggi Anggraini
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta
0 Komentar