Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Moderasi Beragama, Jembatan Pluralisme?

Topswara.com -- Moderasi beragama mulai diperkenalkan karena meningkatnya sikap intoleransi dan ekstremisme dalam menjalankan agama di kehidupan sehari-hari. 

Menurut laman resmi Kemenag, moderasi beragama diartikan sebagai cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan mengekspresikan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi. 

Selain memberikan definisi, Kemenag juga telah menetapkan indikator keberhasilan moderasi beragama dengan tingginya empat aspek, yaitu:  

Pertama, komitmen kebangsaan (penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945 dan regulasi di bawahnya);

Kedua, toleransi (menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk keyakinan, mengekspresikan keyakinan, menyampaikan pendapat, menghargai kesetaraan, dan bersedia bekerja sama);

Ketiga, antikekerasan (menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan fisik maupun verbal dalam mengusung perubahan yang diinginkan); 

Keempat, menerimaan terhadap tradisi (ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan ajaran pokok agama).

Selanjutnya, dikatakan bahwa moderasi beragama sebagai salah satu arah kebijakan program nasional revolusi mental dan pembangunan kebudayaan merupakan fondasi cara pandang, sikap, dan praktik beragama jalan tengah guna terwujudnya masyarakat Indonesia yang berbudi luhur, berjati diri, bergotong royong, toleran, dan sejahtera.

Praktik beragama jalan tengah inilah yang jelas diusung dalam proyek moderasi beragama, bukan mengajak masyarakat Indonesia yang notabene mayoritas Muslim makin kuat dalam beragama. Praktik beragama jalan tengah jelas merupakan upaya mengikis jati diri muslim.

Seiring dengan itu, bermunculan berbagai suara, semacam, “Tuhan itu satu, cara beribadahnya saja yang berbeda,” atau “Jangan mengeklaim kebenaran, yang berhak mengeklaim kebenaran hanya Tuhan.”

Dengan seruan-seruan demikian, tidak heran di kalangan muda yang labil, mereka mudah berpindah agama. Mereka berganti agama layaknya semudah berganti baju. Bermunculan pula tren agnostik dan ateis. 

Lebih miris lagi, banyak generasi muslim yang fobia terhadap Islam, agamanya sendiri. Dengan moderasi, seorang muslim tidak perlu terlalu fanatik. Justru yang perlu dikedepankan adalah saling menghargai, misal mengharagi L967, seks bebas, bahkan sampai melepas kerudung demi menghargai kebhinekaan seperti yang dilansir nasional.tempo.co (Rabu, 14 Agustus 2024).

Konsep moderasi beragama muncul dari kebijakan luar negeri AS setelah peristiwa 11 September dengan slogan "war on terrorism". Pada Desember 2017, Majelis Umum PBB mendeklarasikan 2019 sebagai "International Year of Moderation" untuk mempromosikan moderasi dalam upaya mencegah ekstremisme dan terorisme, serta mendorong dialog, toleransi, dan kerja sama. Namun, konsep ini lebih mencerminkan pandangan Barat daripada perspektif Islam.

Tidak heran jika moderasi beragama memberikan cara pandang Barat, bukan cara pandang yang seharusnya bagi seorang muslim. Hal ini terlihat dari empat indikatornya yang telah disebutkan di atas.

Dalam indikator moderasi, seperti komitmen kebangsaan, sering kali hanya diterapkan pada masyarakat, bukan pada negara atau pemerintah. Contohnya, pemerintah menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, padahal rumusan Pancasila tersebut berbeda dengan yang digunakan dalam UUD 1945. Ini menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen kebangsaan pemerintah sendiri.

Mengenai toleransi, Islam memiliki pandangan berbeda. Toleransi dalam Islam berarti menghormati umat agama lain dalam memeluk dan beribadah, sementara moderasi beragama menganut paham liberal yang relatif dan berbasis sekularisme. Misalnya, isu seperti lgbt dan pernikahan beda agama dianggap sebagai wujud toleransi dalam moderasi beragama, tetapi bertentangan dengan ajaran Islam.

Indikator antikekerasan dalam moderasi beragama juga dianggap tidak sesuai, karena menggeneralisasi semua bentuk kekerasan sebagai hal yang harus dihindari. 

Dalam Islam, kekerasan seperti pembunuhan adalah haram, kecuali dalam beberapa keadaan seperti hukum qishas dan perang. Pandangan moderasi beragama bisa menganggap jihad sebagai tindak kekerasan.

Indikator penerimaan terhadap tradisi juga harus dikritisi, karena tradisi bersifat dinamis dan harus dievaluasi berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah. Tradisi yang tidak bertentangan dengan Islam boleh diikuti, sedangkan yang bertentangan harus ditinggalkan. 

Contohnya, penggunaan belangkon (penutup kepala khas Jawa), umat Islam boleh mengambil atau memakainya. Namun, jika tradisi itu bertentangan dengan Islam, misalnya tradisi minum arak (khamr), umat Islam haram mengikutinya.

Moderasi beragama dapat berdampak negatif bagi umat Islam, yakni bisa menghalangi pemahaman agama yang benar. Ini dapat menimbulkan ketakutan untuk belajar agama dengan alasan tidak ingin dianggap ekstremis atau radikal.

Dalam Islam, semua warga negara (muslim maupun nonmuslim) memiliki kedudukan yang sama. Dengan demikian, jika moderasi beragama diaruskan dalam rangka membangun kehidupan yang rukun dan damai dalam masyarakat yang majemuk, sesungguhnya Islam mendorong umatnya agar hidup damai, rukun dan toleran, saling menghormati, tolong-menolong, serta bekerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk interaksi dengan non-muslim. Sejak zaman Rasulullah hingga kekhalifahan Islam, prinsip ini telah diterapkan dengan baik.

Islam adalah agama paripurna yang diturunkan oleh Allah SWT. Islam menekankan pentingnya keadilan dalam hubungan sosial antara manusia. Tidak ada perbedaan perlakuan antara orang kaya dan miskin, antara yang berkuasa dan yang lemah. 

Semua orang memiliki hak yang sama di hadapan hukum. Aturan dalam Al-Qur'an dan Sunnah ditujukan untuk melindungi hak individu, memberikan sanksi atas pelanggaran, mengajarkan akhlak mulia, serta mendorong perdamaian dan keadilan.

Oleh karena itu, untuk mencapai masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera, yang dibutuhkan bukanlah moderasi beragama, tetapi penerapan Islam secara kaffah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Wallahualam bissawab.


Oleh: Fera Maulida 
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar