Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Inilah Bahaya Merwariskan Budaya Kekerasan Kepada Anak

Topswara.com -- Merespons banyaknya kekerasan yang dialami anak yang pelakunya orang tua sendiri, Pengasuh Parenting @fatherman.id Ustaz Bendri Jaisyurrahman mengatakan, orang tua sejatinya ketika mewariskan mewariskan budaya kekerasan yang akan ditiru dan direkam oleh anak.

"Kita sejatinya, ketika mewariskan apa yang namanya kekerasan ini, kita sedang mewariskan budaya kekerasan yang akan ditiru dan direkam oleh anak," ungkapnya dalam video Kekerasan Dalam Pengasuhan Anak, di Kanal Youtube Cinta Qur’an Foundation, Jumat (20/9/2024).

Ia melanjutkan, jejak pengasuhan akan tersimpan di dalam memori anak bahwa memukul itu hal yang lumrah, menentang itu hal yang lumrah. Sehingga tanpa sadar, orang tua yang melakukan dari zaman ke zaman mewariskan keburukan yang kalau orang tua tidak hentikan dan orang tua akan jadi orang-orang yang bangkrut nanti dari kiamat. 

"Karena kita merasa selama ini baik kok, shalat. Tetapi ternyata anak kita akan mewariskan ke cucu-cucu sampai cicit karena ingat ada warisan yang tanpa sadar diturunkan dari zaman ke zaman, selain warisan utang dan warisan uang, namanya warisan pengasuhan," jelasnya.  

"Warisan pengasuhan ini apakah itu teladan yang baik, misalnya bagaimana anak kita bercerita dulu papa kalau misalnya aku lagi nangis aku digendong diayun-ayun terus aku dibawa jalan-jalan gitu makanya setelah aku jadi ayah aku melakukan ke anakku anak, cucunya itu juga begitu dulu papaku gini karena dari kakeknya begini, bayangkan sifat seorang ayah yang bersabar meniru kemudian anaknya melakukan jejak pengasuhan itu ke anaknya, ke cicitnya maka dia akan mendapatkan pahala yang besar," jelasnya. 

Ia membandingkan berbeda kalau misalnya bapaknya suka memukul, anak akan tumbuh menjadi ayah yang memukul. Kemudian dia jadi cucu yang membuat cicit yang mukul, itu dari generasi pertamanya sudah kena. Makanya dari itu, ia mengimbau kepada orang tua agar tidak mewariskan budaya yang ngerti shalat, puasa, dan beribadah, tiba-tiba habis bangkrut hanya karena kekerasan pengasuhan. 

"Memang rekam jejak kita sebagai orang yang kasar itu biasanya muncul dari jejak pengasuhan yang diciptakan orang tua di kepala kita. Jadi blue print tentang pengasuhan, yang kita cari di kepala itu memang kita enggak punya alternatif," terangnya.

Pengasuhan dalam Islam 

Kekerasan pada anak ini tentu saja berbeda dengan pengasuhan dalam Islam. Ia memberikan contoh pengasuhan Nabi Nuh. Nabi Nuh itu anaknya "kafir", melanggar perintah Allah, Nabi Nuh melakukan sesuatu yang menjadi esensi dari parenting yaitu orang tua. Aaknya benar-benar melanggar perintah Allah. Artinya bandelnya udah bandel kuadrat, tetapi bandelnya itu tidak membuat Nuh kehilangan esensinya. Karena parenting itu bukan tentang anakmu bagaimana, tetapi tentang sikapmu bagaimana ini yang paling penting. Makanya Nabi Nuh tetap memanggil dengan anakku sayang anakku sayang. Ini yang pertama.

Kedua adalah Islam sendiri membantu pendidikan atau pengasuhan itu memiliki koridor yang sederhana. "Saya pernah di sebuah pengajian di luar negeri Eropa ada yang bertanya, itu pertanyaan yang mungkin jadi renungan. Dia bilang, ustaz kami didik anak kami secara Islami kalimatnya diulang berkali-kali kami didik dari kecil secara Islami, tapi anak kami kenapa ketika sudah dewasa ada yang dalam hal ini mabuk, membuka jilbab, ada yang berzina, bahkan ada yang sampai murtad, apa salah kami Padahal kami didik anak secara Islami?," ungkapnya.

Saya tanya gitu, Saya minta Ibu jawab pertanyaan saya, pernah atau enggak ibu membentak anak? Oke. Ibu pernah nakutin anak enggak? Sering ustaz. Ibu pernah ngancem anak enggak? Sering Ustaz. Ibu pernah berteriak di depan anak sampai anak menangis? Sering ustaz. Ibu pernah mencubit anak atau memukul? Kalau itu sekali doang, saya nggak sering gitu tapi pernah gitu. Dari 5 pertanyaan saya saja, saya simpulkan ibu mendidiknya enggak Islami. Terus dia diam. Kenapa begitu ustaz ya? Tahu nggak, diantara hadis Nabi yang memberitahu bahwa Bagaimana sebuah pengasuhan Islami. Kata Nabi :

المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ , و المهاجِرَ مَنْ هَجَرَ مَا نهَى اللهُ عَنْهُ

“Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perkara yang dilarang oleh Allah .” (HR. Bukhari No. 10 dan Muslim No. 40).

Sehingga, kategorisasi yang Nabi sebutkan, ini jadi patokan. Walaupun saat menngajar Al-Qur'an, kalau memukul yang tidak dibenarkan dalam konteks yang tepat, alasannya nggak kuat, maka itu enggak Islami. Harus diketahui bahwa kekerasan yang selama ini dipakai, itu enggak Islami. Karena kalimat para ulama ketika bahas tentang al iqob itu adalah mendidik bukan mengazab. Jadi kalaupun mau mendidik, itu yang muncul itu adalah kemampuan anak untuk memahami apa kesalahannya. Makanya kata itu yang sering diterjemahkan dengan sanksi, sebenarnya lebih tepat maknanya konsekuensi, iqob itu mengandung sebab akibat.

"Kalau saya main berlebihan maka membuat jam belajar saya terkurangi, berarti kalau besok-besok main game itu kurangi. Makanya Allah ketika menegur Nabi Adam ketika melakukan kesalahan, maka Allah memberikan teguran lewat dua cara, satu Allah mengingatkan akan aturan ini, jadi tidak ujug-ujug anak langsung digampar, atau Nabi Adam langsung disiksa. Nah kan ditegur; "Bukankah Aku telah melarang kamu dari pohon itu dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”(QS. Al-A’raf 7: Ayat 22)," paparnya.

"Jadi Allah menegur dulu. Nah Nabi Adam mengakui kesalahan ya kemudian Allah memberikan konsekuensi, konsekuensi adalah karena Nabi Adam telah mengambil kesenangan yang dia terlarang maka dicabut dulu kesenangannya yang ada di surga, maka Allah keluarlah dari surga (Qs. Al Hijr 34). Allah tidak bilang ke neraka kamu, tapi dicabut kenikmatannya untuk dia berpikir. Akhirnya Nabi Adam dan istrinya mendapatkan namanya I’tiraf adalah kesadaran personal untuk mengakui kesalahan, maka keluarlah kalimatnya al-A’raf ayat 23:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

“Keduanya (Adam dan Hawa) berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” urainya.

Inilah yang diajarkan nabi, beda dengan kalau misalnya kalau anak-anak di azab itu yang muncul adalah yang disebut trauma, dalam konsep pendidikan ketika trauma yang jadi masalah adalah anak akan pertama dalam surat ali Imran ayat 159:
وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ

"Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu,".

Memutus Kekerasan

Ia menjelaskan, sebagai orang tua harus memutus kekerasan pada pengasuhan. Pertama, memutusnya adalah membuat namanya antitesa dari parenting yang lama itu dengan reparenting satu adalah kita membantu membuat nama referensi pengasuhan yang banyak dengan cara belajar dengan sistem yang baru, reparenting pertama mau enggak mau duduk dimajelis ilmu," ungkapnya.

Kedua, adalah menjadi asisten dari orang yang kita anggap memiliki pola asuh yang bagus. "Misalnya tidak malu untuk misalnya nenteng tas Ustaz Fatih Karim, jadi melihat Ustaz Fatih bagaimana nanti berinteraksi dengan anak sebenarnya itu adalah membuat rekam jejak baru untuk dia tahu oh ternyata ada kata kunci adalah nirempati, apapun dia suami yang kasar, ayah yang kasar dia adalah ayah yang tidak empati Kenapa empati adalah salah satu pagar mengendalikan amarah Karena itulah salah satu pakar di Amerika Dokter OZ itu dia mengatakan lawan kata marah itu bukanlah diam, lawan empati, orang kalau empati dia punya kontrol diri yang bagus," terangnya.

Kemudian ia menjelaskan, pelaku kekerasan memiliki masalah utama pada rasa empati, mati rasa. "Orang kalau empati, dia punya kontrol diri yang bagus, makanya dalam soal Imran 134 ada satu ayat yang mengajarkan tentang bagaimana kendali diri dari amarah dan dendam," ungkapnya.

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ

(yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. (Qs. Ali Imran 134).

"Ayat ini mengkombinasikan tiga amalan dari orang bertakwa yang sangat berbanding lurus satu adalah orang yang empati diwujudkan dengan sedekah saat lapang dan sempit yang kedua menahan amarah ketiga memaafkan kesalahan orang lain, nah tiga sifat Ini kata para ulama berbanding lurus artinya orang yang empatinya tinggi Pasti bisa menahan amarah, yang berikutnya dia bisa memaafkan kesalahan orang lain sebaliknya orang yang empatinya rendah gampang marah dan dendaman," terangnya.

Ia menyarankan, kalau ada orang-orang yang pengen memperbaiki budaya kekerasan, empatinya disarankan ikut dalam kegiatan sosial, lawan dari kemarahan itu adalah cinta. 

"Jadi kalau orang udah cinta, empatinya tinggi maka dia bisa mengendalikan dirinya itulah kenapa orang tua memperbaiki apa yang salah satunya isu pengasuhan adalah konsen untuk menumbuhkan empati dan cinta kepada anak sehingga kesalahan-kesalahan anak tidak disikapi dengan cara yang justru merusak jiwa anak," pungkasnya. [] Alfia Purwanti
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar