Topswara.com -- Bulan Agustus menjadi awal kembalinya kritik masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Berawal dari viralnya tagar "Peringatan Darurat" disusul dengan aksi demonstrasi.
Warganet juga tidak kalah kreatif membuat video mengkritik gaya hidup pejabat dan keluarganya. Pemerintah tidak mau kalah, dengan anggaran fantastis opini "Indonesia Baik-baik Saja" disosialisasikan.
Ada apa dengan Indonesia?
Gelombang pengangguran naik, sampai Agustus 2024 jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 46.240 pekerja (kontan.co.id 2024/09/23). Negri agraris namun harga berasnya tertinggi di negara ASEAN (metronews 2024/09/21).
Belum lagi konflik agraria mencapai 241 letusan konflik yang merampas seluas 638.188 hektar tanah dan pemukiman di 135.608 KK, inilah yang menjadi salah satu tuntutan demo Hari Tani Nasional agar negara menyelesaikan konflik agraria (kompas.com 2024/09/2).
Menambah daftar krisis sosial seperti tingginya perceraian, aborsi, judi online, KDRT, pemerkosaan, pembulian. Apa yang salah?
Rusaknya Penguasa dan Ulama
Kualitas penguasa bisa dilihat dari kebijakan yang dihasilkannya. Apakah melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat ataukah pihak lain. Jika memihak rakyat, pastilah kebijakan yang diterapkan menguntungkan dan menjadi jalan keluar setiap masalah. Bukan menambah masalah baru dan membebani hidup rakyatnya.
Di Indonesia, hampir semua kebijakan menguntungkan pihak tertentu terutama kelompok lingkaran pendukung penguasa. UU Cipta Kerja dan PP No 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional menjadi alat penguasa dan pengusaha untuk mengusir penduduk setempat secara paksa mengatasnamakan PSN seperti yang terjadi di daerah tambang, Desa Wadas, Pulau Rempang dan terbaru PIK 2 dan BSD. Menyebabkan makin meningkatnya jumlah pengangguran dan masyarakat miskin.
Lebih parah lagi, kebijakan ini didukung oleh para ulama, pemimpin organisasi agama maupun pemimpin parpol. Tidak sedikit politisi parpol yang berubah pandangan setelah menerima jabatan.
Ulama pun menjadi stempel kebijakan dan garda terdepan agar kebijakan tetap jalan. Kesempitan hidup dianggap karena ketetapan Allah yang tidak bisa diubah. Dalil ketaatan kepada pemimpin dijual untuk meredam protes masyarakat.
Demokrasi Rusak dan Merusak
Demokrasi lahir dari ideologi sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Aturan berasal dari pikiran manusia yang terbatas. Dalam prakteknya, demokrasi melahirkan pemimpin pelayan pemilik modal. Demokrasi memungkinkan terjadinya politik dinasti, praktek nepotisme.
Kandidat calon pemimpin bertarung di pemilu dengn biaya fantastis. Biaya yang mustahil diupayakan secara individu. Demokrasi menjadi jalan bagi penjajah menguasai kekayaan alam melalui undang-undang.
Kekayaan alam diserahkan kepada investor, negara tidak memiliki sumber pemasukan dan akhirnya pajak menjadi penyumbang terbesar APBN.
Satu sisi rakyat kesulitan mencari sumber penghidupan, disisi lain kesulitan mengakses layanan pendidikan dan kesehatan karena mahal. Di tambah kesulitan mengatur keuangan, besar pengeluaran dibanding pemasukan. Kualitas layanan dan fasilitas umum pun harus ala kadarnya karena besarnya "potongan".
Demokrasi menjadi lahan subur korupsi. Demokrasi memang sudah cacat dari asalnya. Wajar hasil penerapan nya menimbulkan kerusakan dan kehancuran.
Perubahan Sistem
Selama ini, umat tertipu. Kerusakan yang menimpa mereka dianggap karena rusaknya pemimpin. Apalagi kehadiran "ulama su" dan partai politik sekuler yang melindungi sistem kufur ini. Oleh karena itu umat butuh partai politik ideologis (Islam) yang berjalan di atas jalan kenabian.
Menjadikan Rasul dan para sahabatnya sebagai panutan dalam mengurusi umat. Kelompok yang terjun ke masyarakat untuk mencerdaskan mereka. Membina kesadaran politik umat. Mengubah loyalitas manusia dari materi menuju loyalitas kepada Islam. Menuntut Islam diterapkan di segala aspek kehidupan oleh negara.
Wallahualam.
Oleh: Ma'muroha Vidya Anggraheni
Aktivis Muslimah
0 Komentar