Topswara.com -- E (41), seorang ibu di Sumenep, Jawa Timur tega menyerahkan putrinya, T yang berusia 13 tahun untuk diperkosa oleh kepala sekolah, J (41). Peristiwa tersebut berawal saat E berpisah rumah dengan suaminya. Lalu E yang berstatus sebagi guru TK menjalin hubungan asmara dengan J, PNS yang berstatus sebagai kepala SD negeri di Sumenep.
E pun tergiur iming-iming oknum kepala sekolah yang akan memberinya sepeda motor dan sejumlah uang jika menyerahkan anaknya untuk diperkosa.
Kekerasan seksual yang dilakukan J pada korban terjadi hingga 5 kali sejak Februari 2024. Kekerasan tersebut dilakukan dirumah dan di hotel dengan alasan untuk ritual menyucikan diri. Saat kejadian, sang ibu menunggu korban diluar. Pemerkosaan tersebut diketahui ayah korban yang kemudian membuat laporan ke polisi pada 29 Agustus 2024 (kompas.com, 3/9/2024).
Kasus ini bukan yang pertama, mungkin juga bukan yang terakhir. Pangkal dari kejahatan seksual pada anak ialah penerapan sistem sekularisme di semua lini kehidupan. Fenomena seorang guru apalagi bergelar kepala sekolah yang seharusnya mampu mencetak generasi berkepribadian Islam justru menjadi pelaku pencabulan.
Hal tersebut bukanlah hal yang aneh karena negeri ini mengadopsi nilai-nilai sekuler dalam kehidupan dengan megabaikan aturan Islam sebagai pedoman hidup manusia. Sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan telah mendorong individu berbuat sesuka hatinya termasuk melakukan kejahatan pencabulan hingga pemerkosaan.
Tutur kata dan tingkah laku mereka senantiasa dipimpin hawa nafsunya, akibatnya menghalalkan segala cara demi mendapatkan kepuasan diri sendiri.
Pelaku kekerasan seksual adalah orang yang berpikir kriminal dan jauh dari karakter manusia bertakwa. Banyaknya orang yang berpikir kriminal menunjukkan gagalnya negara membangun karakter mulia dalam diri warganya.
Seorang pendidik yang seharusnya peduli dengan nasib generasi, yang seharusnya mengamalkan ilmu yang didapatkan, yang seharusnya mendidik dan mengarahkan agar anak didik semakin bertakwa namun sayang perbuatan biadab mereka justru merusak masa depan generasi bahkan itu adalah anak kandung sendiri.
Selain itu, sistem sanksi yang berlaku pada pelaku kekerasan juga tidak menjerakan, buktinya masih memunculkan banyak pelaku baru. Bahkan beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan baru ditangani setelah viral di media sosial. Hal ini menunjukkan kurangnya keseriusan dari negara untuk menuntaskan masalah kekerasan.
Belum lagi media kapitalis yang berorientasi untung, maka media semacam ini akan menayangkan program-program yang jauh dari unsur edukatif. Sebab, tayangan atau tulisan apapun boleh disebarluaskan selama memiliki peminat atau konsumen dipasaran.
Alhasil, tayangan-tayangan berbau pornografi dan pornografi bahkan berbagai adegan kekerasan bebas berkeliaran terutama di media sosial yang mudah diakses orang dewasa bahkan anak-anak.
Walaupun pemerintah telah menerbitkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) bahkan sudah ada UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang digadang-gadang mampu menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Namun nyatanya kekerasan terhadap perempuan justru semakin marak terjadi. Sebab, UU tersebut masih berasaskan sekularisme yang menolak agama dalam mengatur kehidupan.
Sehingga pasal-pasalnya tetap memberi peluang terjadinya kekerasan terhadap perempuan, diantaranya tidak adanya pengaturan terkait pacaran, perzinaan yang semuanya juga merupakan tindak kejahatan
Jadi, negeri ini harus berbenah agar generasi kita terselamatkan, yaitu dengan solusi sistemis yang komprehensif, bukan solusi pragmatis yang masih menyisakan nilai sekuler dalam penyelesaiannya. Memutus rantai kejahatan seksual pada anak harus dilakukan dengan solusi fundamental, yaitu dengan penerapan sistem Islam.
Islam Cegah Kekerasan terhadap Perempuan
Berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Islam, penerapan syariah Islam dalam bingkai khilafah terbukti mampu menjamin kehormatan serta keamanan perempuan. Kemampuan ini lahir dari prinsip-prinsip Islam terkait dengan kepemimpinan, salah satu diantaranya ialah penguasa dalam Islam diposisikan sebagai perisai atau pelindung.
Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya seorang Imam itu (laksana) perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng"
(HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, ketika memandang masalah perempuan penguasa harus menempatkan mereka sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Dalam Islam, terdapat tiga pihak yang berkewajiban menjaga dan melindungi generasi.
Pertama, keluarga. Ibu sebagai madrasah utama dan pertama. Kedua orang tua harus bersinergi dalam mengasuh, mendidik, mencukupi gizi anak, dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.
Kedua, masyarakat. Selain menciptakan suasana yang kondusif, masyarakat juga pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Masyarakat islami akan terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapapun karena Allah Ta'ala.
Ketiga, negara. Fungsi negara adalah memberikan pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap anak. Negara akan menerapkan sistem sosial dan pergaulan Islam, diantaranya adalah Islam melarang perempuan berdua-duaan dengan laki-laki tanpa ada mahramnya.
Bahkan menegaskan yang ketiganya adalah setan. Laki-laki dan perempuan juga tidak boleh berinteraksi campur baur atau ikhtilat tanpa ada kebutuhan syar'i. Konsep ini akan menutup celah hubungan romansa yang tidak halal.
Islam mewajibkan perempuan didampingi mahram ketika akan melakukan safar menempuh perjalanan 24 jam. Perempuan juga diperintahkan untuk menutup aurat secara sempurna, yakni dengan menggunakan jilbab dan menggunakan khimar atau kerudung.
Negara khilafah akan menerapkan sistem pendidikan Islam yang membentuk ketakwaan individu masyarakatnya. Sehingga, perilaku masyarakat dikontrol oleh pemahaman yang benar terhadap akidah dan syariat Islam. Tindakan maksiat atau kejahatan akan dijauhi apapun bentuknya.
Islam juga melarang media menayangkan unsur-unsur yang memicu kekerasan dan pornografi termasuk pemikiran Barat yang rusak dan merusak akan dilarang sejak awal kemunculannya.
Konten media yang diperbolehkan adalah konten-konten edukasi ataupun menampilkan kemuliaan Islam, jika masih ditemukan pelaku kejahatan termasuk pada perempuan, maka Islam menetapkan sanksi bagi para pelaku kemaksiatan tersebut sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Sistem sanksi dalam Islam atau uqubat akan memberi efek jawabir atau penebus dosa pelaku dan efek zawajir atau sebagai pencegah agar orang lain tidak ikut melakukan pelanggaran tersebut. Demikianlah cara Islam memberikan rasa aman dan melindungi perempuan dari kekerasan seksual. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar