Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Berhenti Berharap pada Sistem Buatan Manusia

Topswara.com -- Ribuan massa berdemonstrasi di depan kompleks Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Perwakilan Rakyat (DPR/MPR), di kawasan Senayan, Jakarta, Kamis (22/8), menolak revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) karena akan menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pilkada. (Voaindonesia.com, 22/08/2024) 

Sebelumnya, MK pada Selasa telah mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah meski tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Namun, sehari setelah MK mengeluarkan putusan itu, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mendadak menggelar rapat dan dalam sehari menyepakati revisi UU Pilkada untuk disahkan menjadi undang-undang. 

Revisi UU Pilkada dilakukan setelah MK mengubah syarat pencalonan. Namun, DPR hanya mengakomodasi sebagian putusan, dan mengubah ambang batas pencalonan untuk partai tanpa kursi di DPRD. (cnbcindonesia.com,(22/08/24). 

Fakta Demokrasi

Salah seorang dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengatakan "Mereka (DPR), giliran UU seperti (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), Masyarakat Adat, mereka lama banget ya. RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sudah 20 tahun belum disahkan juga. DPR harusnya bisa mewakili rakyat, dan harusnya tidak meloloskan RUU Pilkada,” 

Dari sini timbul pertanyaan bahwa, sebenarnya DPR itu wakil rakyat atau wakil penguasa? Seharusnya dari banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam negara ini serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat, masyarakat tersadarkan bahwa tidak ada harapan dalam sistem demokrasi, karena sistem yang berasas sekulerisme kapitalis ini merupakan alat bagi penguasa yang di belakangnya adalah para kaum elit global untuk membuat hukum yang sesuai dengan kepentingan mereka.

Jadi meskipun secara substansial dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, namun secara prosedural kedaulatan itu berada di tangan penguasa yang menjalankan kemauan para kaum kapitalis sehingga melakukan intervensi terhadap lembaga legislatif dan yudikatif

Akibatnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak akan mampu terealisasi. Sebab produk hukum yang keluar dari pabrik demokrasi aturannya hanya akan menguntungkan sebagian golongan dan merugikan golongan yang lainnya dan sanksi hukumnya tumpul untuk kalangan atas dan tajam untuk kalangan bawah. 

Perlu dipahami juga, bahwa dalam sistem ini kedaulatan penuh berada di tangan manusia, akibatnya berpotensi membuat aturan yang memperturutkan hawa nafsu. Di samping itu, juga kapasitas akal manusia bersifat terbatas, jelas tidak akan mampu menciptakan seluruh aturan yang sempurna sehingga melahirkan aturan yang cacat. 

Bukannya menyelesaikan masalah, justru memunculkan masalah-masalah baru. Jadi, mustahil hukum buatan manusia akan mensejahterakan kehidupan, karena sesungguhnya kesempurnaan aturan itu hanya milik Allah SWT.

Ideologi Islam Solusinya

Allah SWT telah menurunkan Al-Qur'an melalui perantara malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan seperangkat aturan yang sempurna sebagaimana dalam firman-Nya: 

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa-idah/5: 3]

Islam bukan hanya agama yang mengatur spiritualitas, namun juga agama yang bersifat komprehensif, aturannya mencakup berbagai aspek kehidupan. Sehingga Islam merupakan agama sekaligus sebagai ideologi. 

Jika dalam sistem demokrasi manusia sebagai pembuat hukum, tapi dalam sistem Islam Allah SWT sebagai pembuat hukum dan sumber hukum. Jika kemampuan manusia disandingkan dengan Allah SWT tentu tidak akan mampu menandingi derajat dan kesempurnaan-Nya. 

Mari kita merenungi ayat dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab ayat 36:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ

"Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah SWT dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah SWT dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata. "

Dari sini kita dapat menyadari, terkhusus bagi kaum intelektual mahasiswa yang perannya sebagai agent of change. Sudah cukup untuk berharap dan memperjuangkan sistem demokrasi. Solusinya bukanlah komponennya yang diubah namun sistemnya yang harus diganti. 

Jika ideologi sekulerisme kapitalis yang bertopeng demokrasi sudah gagal karena tidak mampu mensejahterakan kehidupan rakyat, ideologi sosialisme komunis tentu juga tidak mungkin. 

Sebab, Indonesia merupakan negeri dengan penduduk mayoritas Muslim. Maka kemana kita harus beralih? Tentu beralih pada sistem pemerintahan Islam yang mengemban ideologi Islam dalam naungan khilafah.

Wallahu a'lam bisshawab.


Oleh: Siti Jeuzah, S.Pd.
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar