Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bangun Rumah Sendiri Bakal Kena Pajak, Kok Bisa?


Topswara.com -- Publik kembali dihebohkan dengan rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sudah menjadi ciri khas jika dalam sistem kapitalis, sumber pendapatan negara berasal dari utang dan pajak. 

Di saat anggaran negara tidak lagi mampu untuk membiayai kebutuhan negara, disaat itu pula pemerintah akan mengambil berbagai kebijakan. Salah satunya dengan menaikkan tarif PPN. Tidak heran jika hari ini, setiap jengkal kehidupan rakyat dikenai berbagai variasi pajak.

Dikutip dari (tirto.id, 13/09/2024), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen dan selambat-lambatnya pada tanggal 1 Januari 2025. Ketentuan ini termaktub di dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 terkait Harmonisasi Peraturan Perpajakkan. Hal ini juga termasuk mengatur kenaikan tarif PPN atas kegiatan membangun rumah sendiri (KMS) dari yang sebelumnya 2,2 persen menjadi 2,4 persen per 1 Januari 2025 mendatang.

KMS adalah kegiatan mendirikan bangunan yang dilakukan oleh pribadi dan bangunan tersebut tidak digunakan sendiri atau pihak lain. Artinya, bangunan yang didirikan tidak digunakan untuk usaha atau pekerjaan apapun. 

Sementara itu, tarif PPN membangun rumah sendiri diatur secara rinci di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61/PMK.03/2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri.

Jika rencana pemerintah ini direalisasikan maka, hal itu sebagai kebijakan yang zalim. Tentu ini sangat menyayat hati dan semakin menambah beban hidup rakyat, ditengah kehidupan yang serba sulit. Inilah realitas kehidupan ketika tatanan kehidupan diatur oleh sistem kapitalisme.

Dimana peran negara tidak lagi memprioritaskan kebutuhan rakyatnya. Negara gagal menjamin kehidupan rakyat, termasuk dalam pemenuhan papan. Saat keuangan negara terancam maka pemerintah akan melakukan berbagai cara termasuk memalak rakyat dengan berbagai macam pajak. 

Sebab pajak dan utang adalah sumber terbesar utama pendapatan negara serta sebagai urat nadi perekonomian dalam sistem ini.

Disisi lain atas nama liberalisasi kepemilikan, pengelolaan SDA yang ada di negeri ini justru banyak yang dikuasai asing maupun aseng. Pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator saja. Sehingga ketika membuat kebijakan selalu menguntungkan pihak korporat, sedang rakyat lagi-lagi jadi korbannya. 

Mirisnya lagi, dengan penerimaan pajak yang tinggi justru menjadi lahan empuk bagi orang untuk melakukan korupsi.

Sungguh berbeda dalam sistem Islam. Negara bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan rakyat. Mulai dari sandang, pangan hingga papan. Islam memandang rakyat adalah amanah, laksana gembalaan yang wajib dijaga dan dilindungi oleh penggembalanya. 

Seperti di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Ahmad ;
"Imam (Khalifah) itu adalah raa'in dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia atur "

Dalam sistem Islam, pajak hukumnya adalah haram. Sehingga ketika penguasa melakukan pungutan harta terhadap rakyat tanpa hak, maka hal itu telah diperingatkan oleh Rasulullah saw yaitu : 
"Tidak akan masuk surga bagi orang yang mengambil pajak." (HR.Ahmad).

Pajak dalam Islam dikenal dengan istilah dharibah. Negara boleh mengambil pajak disaat kas baitul mal kosong. Misalnya, untuk hal-hal yang sifatnya urgent atau mendesak seperti paceklik, biaya bencana alam, pembangunan jembatan, jalan dan rumah sakit. 

Pengambilan pajak diberlakukan atas kaum muslim bagi yang mampu, serta pungutannya bersifat temporer atau sementara.

Adapun terkait utang, dalam Islam negara boleh berutang selama tidak melanggar hukum syariat, maksudnya tidak ada tambahan nilai berupa bunga. Negara tidak boleh tunduk pada tawaran utang bersyarat, yang mana hal itu bisa mengancam kedaulatan negara. 

Islam mengatur kehidupan negara dengan baik. Sehingga negara tidak akan membebani rakyat. Bahkan kebutuhan rakyat seperti pendidikan dan kesehatan bisa gratis.

Rahasianya adalah, negara di dalam Islam memiliki 3 sumber pendapatan utama. Pertama, kepemilikan individu seperti sedekah, zakat dan hibah. Kedua, kepemilikan umum seperti hasil tambang, hutan, gas, minyak bumi dan air. 

Ketiga, kepemilikan negara seperti jizyah, kharaj, ghanimah, fa'i, dan usyur. Ketiga sumber tadi akan mampu untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Demikianlah sistem Islam mengatur urusan rakyatnya. Para penguasa juga akan bersungguh-sungguh dalam meriayah. Dengan dorongan iman dan takwa, penguasa sadar bahwa jabatan yang mereka emban kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.

Oleh karena itu sudah saatnya kita beralih secara sistemis. Mengganti sistem ini yakni kapitalisme dengan sistem Islam yang shahih. Dengan penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah, negara akan mampu menyejahterakan kehidupan rakyatnya. 

Wallahu’alam Bishawab.


Oleh: Dwi Lis
Komunitas Setajam Pena
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar