Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Aparat Represif Bukti Indonesia Sedang Tidak Baik-Baik Saja

Topswara.com -- Peringatan darurat! Hashtag yang diakhir bulan Agustus kemarin telah meramaikan jagat maya, dan nyata. Di dunia nyata “Peringatan Darurat" ini membawa warga sipil dan mahasiswa melakukan aksi demo mendesak pemerintah untuk membatalkan pengesahan revisi UU Pilkada oleh DPR RI dan aksi demo ini terjadi di berbagai kota pada Kamis 22 Agustus 2024 lalu. 

Aksi dengan tajuk “Peringatan Darurat” ini merupakan bentuk protes terhadap tindakan pemerintah yang mencoba untuk mengotak-atik aturan yang telah ditetapkan Mahkamah Konstitusi demi memuluskan tujuan politik mereka dalam mendapatkan kursi kekuasaan.

Aksi peringatan darurat ini bukti bahwa rakyat tidak tidur terhadap kesewenangan oligarki. Rakyat rela terjun ke jalan untuk melakukan hak dan kewajiban mereka dalam mencegah tindak kezaliman. Tidak hanya warga sipil dan mahasiswa yang terjun dalam aksi ini, pelajar SMK pun tak tinggal diam, mereka yang sering disebut pasukan “power ranger” ikut aksi juga bersama kakak-kakak mahasiswa.

Adanya aksi yang terjadi di berbagai kota ini menunjukan bagaimana kondisi negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Kezaliman yang terus dipertontonkan telah membuat rakyat muak. Rakyat masih memiliki kepedulian berusaha menunjukan kezaliman ini. 

Bahkan, tindak kezaliman ini tidak hanya dilakukan pemerintah. Aparat yang mengawal dalam sejumlah aksi ini telah melakukan kezaliman pula. Pengamanan yang awalnya kondusif berujung brutal. Penggunaan kekuatan eksesif mereka telah meregut hak rakyat dalam berkumpul untuk tidak diperlakukan tidak manusiawi.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur telah mencatat beberapa kasus tindakan represif aparat keamanan terhadap aksi mahasiswa. Beliau mengungkapkan ada puluhan tindakan represif, intimidasi sampai kekerasan terhadap masa aksi di beberapa wilayah seperti Semarang, Makasar, Bandung, dan Jakarta. (Tempo.co)

Tindakan represif aparat ini bukanlah kali pertama. Hal ini sesungguhnya menunjukkan bahwa demokrasi tidak memberikan ruang pada rakyat untuk mereka menyampaikan kritik dan koreksi atas kebijakan pemerintah. Sering kali suara rakyat terabaikan, slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya sebuah omong kosong belaka. 

Fakta dari hal ini adalah seperti kebijakan yang diserahkan kepada mereka yang berkepentingan. Sehingga, aturan yang ada menjadi permainan mereka yang berkepentingan ini. Oleh karena itu, tak heran aturan yang ada tidak konsisten atau labil. Karena, demi meraih kepentingan mereka, aturan yang ada bisa dibajaknya.

Kondisi ini merupakan wajah sesungguhnya demokrasi. Kedaulatan rakyat yang menjadi teori dalam demokrasi ini, sejatinya kedaulatan ini ada di tangan pemilik kekuasaan dan pemilik modal. 

Hal ini dapat terlihat dari pengsengkokolan politik antara elite penguasa dan para pemilik moda, persengkokolan ini melahirkan berbagai produk hukum yang berorientasi pada kepentingan mereka saja.

Perilaku represif yang dilakukan aparat saat aksi kemarin, merupakan bagian dalam melindungi kepentingan penguasa dan pengusaha yang menjadi tuannya rela melakukan kebrutalan. Sungguh ini bukti bahwa demokrasi tak memberikan ruang untuk adanya kritik dan koreksi dari rakyat kepada penguasa mereka.

Sistem demokrasi yang sudah buruk dari lahirnya dan sebagai produk dari ideologi kapitalisme yang berasakan sekularisme ini telah membawa kita kepad jurang kehancuran. Standar hukum yang tidak jelas karena bertumpu pada segelintir orang yang membentuk oligarki. Hukum dibuat hanya untuk melindungi kepentingan mereka.

Ketika rakyat menolak, maka mereka siap membungkam rakyat dengan berbagai macam cara, dari cara lembut sampai cara keras dan biadab pun akan mereka lakukan. Hal ini akan dilakukan mereka hanya untuk kepentingan mereka tetap terlindungi.

Berbeda halnya dengan Islam, hukum yang berlaku jauh dari unsur kepentingan pihak tertentu, seperti penguasa apalagi pengusaha. Ini tidak lepas dari asas berdirinya hukum itu sendiri. Dalam sistem Islam yang berhak dan memiliki wewenang menentukan hukum hanyalah Allah SWT, Zat yang tidak ada tandinginya.

Islam telah menetapkan penguasa sebagai pemelihara urusan rakyatnya. Ketika ada kebijakan mereka yang menyimpang atau tak sesuai dengan aturan Allah SWT, menjadi kewajiban rakyat melakukan koreksi terhadap penguasa mereka. 

Karena tugas penguasa adalah menjaga agar Islam sebagai aturan Allah senantiasa ada dalam pondasinya. Rakyat sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT harus siap melakukan muhasabah dengan mengeluarkan kritik atau koreksi.

Hubungan penguasa dan rakyat begitu saling menyayangi atas landasan ketaatan kepada Allah dan Rasul-nya. Hubungan seperti ini yang dibangun dalam Islam. Penguasa sebagai pemelihara urusan umat, mereka akan menerapkan aturan Allah secara kaffah. 

Sedangkan rakyatnya siap untuk memuhasabahi untuk menjaga agar penguasa senantiasa menerapkan aturan Allah. Ketika ada penguasa yang melenceng, maka rakyat tak sungkan mengingatkan. Karena, itu adalah bentuk cinta mereka terhadap penguasa agar tak melanggar apa yang Allah sudah tetapkan. 

Hubungan ini bisa kita contoh dari Umar bin Khathab dan Kaulah binti Tsa'labah bin Asham. Saat itu Umar sebagai penguasa menetapkan kebijakan terkait mahar. Beliau melarang orang-orang memberikan mahar kepada calon istri mereka melebihi empat puluh 'Uqiyah (setara dengan 200 gram). 

Serta beliau memerintahkan mereka yang sudah terlanjur memberikan mahar melebihi empat puluh Uqiyah agar diambil kembali atau disumbangkan ke Baitul Mal.

Mendengar perintah dari Umar bin Khathab ini, Khaulah sebagai rakyatnya mendatangi Umar seraya berkata, "ada apa denganmu? Umar menjawab, "memangnya kenapa? Lantas Khaulah menjawab, dengan menanyakan keputusan Umar ini. 

Khaulah mengatakan bukankah Allah 'Azza wa Jalla telah berfirman dalam surat An Nisa ayat 20 yang artinya, "Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?"

Mendengar perkataan Khaulah ini, Umar pun langsung mengakui kekeliruannya dan membenarkan perkataan Khaulah. Umar mengatakan bahwa perempuan ini benar dan Umar telah keliru.

Begitu indahnya hubungan penguasa dan rakyat yang ditunjukkan keduanya. Sungguh, hubungan seperti itulah yang seharusnya kita contoh. Namun, perlu kita pahami, itu semua dapat terwujud hanya dengan menjadikan aturan Allah (Islam) sebagai asas dan sumber aturan hidup kita.

Sudah saatnya kita kembali memegang Islam dalam menjalankan kehidupan ini. Termasuk dalam menjalankan roda pemerintah. Sudah waktunya pula kita membuang aturan yang buruk dan busuk. Demokrasi harus kita tinggalkan dan kembali kepada aturan Allah.

Wallahualam bissawab.


Oleh: Sri Nurhayati, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar