Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Aparat Represif, Bukti Demokrasi Anti-Kritik

Topswara.com -- Demonstrasi terjadi di beberapa daerah, terutama di ibu kota Jakarta khususnya di Gedung DPR. Para pendemo berasal dari kalangan mahasiswa, buruh pabrik dan juga rakyat sipil. Semua menyuarakan ketidak setujuanya kepada RUU Pilkada serentak yang akan datang.

Tetapi dalam aksi demontrasi tersebut terjadi kericuhan antara pendemo dan aparat gabungan TNI dan POLRI. Seperti di lansir bisnis.com (22/8/2024), ribuan massa aksi demonstrasi yang menolak RUU Pilkada terlibat bentrokan dengan tim gabungan TNI-POLRI di depan gedung DPR RI, Senayan Jakarta.

Di beritakan aksi kericuan terjadi sekitar pukul 16 lebih yang bermula dari para pendemo yang mulai masuk dan merusak pagar gedung DPR, hingga akhirnya terjadilah bentrok antara aparat dan pendemo tersebut. 

Kekecewaan masyarakat dengan RUU Pilkada saat ini memang tidak bisa dianggap enteng oleh pemerintah. Pasalnya sudah berulangkali rakyat merasa menjadi korban keputusan pemerintah yang notabene anggota Dewan Perwakilan Rakyat ikut terlibat dalam keputusan tersebut.

Sebagai negara yang menjalankan sistem kapitalisme dan menjadikan demokrasi sebagai alat pelaksana dalam pemilihan wakil rakyat, saat ini rakyat merasa di bodohi. Karena rakyat tidak pernah meminta kepada wakil rakyat yaitu DPR untuk membuat undang-undang yang sangat merugikan ini.

Disinilah rakyat merasakan kekecewaan yang amat sangat, mulai dari ketidak adilan dan suara rakyat yang sudah tidak didengar lagi. Kekecewaan inilah yang mendorong mereka bersatu melakukan aksi tersebut. Sementara TNI dan POLRI ada pada kubu pemerintah.

Kondisi ini tampak bahwa aparat memerangi rakyat. Kata-kata bahwa wakil rakyat bersama wong cilik saat pemilihan anggota dewan itu seakan sudah hilang saat mereka memangku jabatan. Hingga rakyat harus berjuang sendiri untuk mendapatkan keadilan yang hanya sebagai fatamorgana.

Umat unjuk rasa karena adanya pelanggaran yang dilakukan oleh negara, yang menjadi salah satu cara untuk mengingatkan pemerintah. Karena dengan cara kelembutan atau diskusi sudah tidak berhasil. 

Berharap aparat bisa membantu menyampaikan aspirasi yang sudah bergejolak, tapi mirisnya aparat justru menyemprotkan gas air mata, dan melakukan tindakan represif lainnya. Hal ini menunjukkan sejatinya demokrasi tidak memberi ruang akan adanya kritik dan koreksi dari rakyat.

Seharusnya negara memberi ruang dialog, menerima utusan, dan tidak mengabaikannya. Sistem kapitalisme memang meniscayakan hal ini terjadi. Coba kita bandingkan dengan sistem di dalam Islam. 

Salah satu mekanisme untuk menjaga agar pemerintah tetap berada di jalan Allah adalah adanya muhasabah lil hukam. Selain itu juga ada lembaga seperti majelis ummah sebagai perwakilan dari umat dan qadli madzalim.

Islam menjadikan amar makruf nahi munkar sebagai kewajiban setiap individu, kelompok dan masyarakat. Penguasa juga memahami tujuan adanya muhasabah, yaitu tetap tegaknya aturan Allah di muka bumi. 

Sehingga terwujud negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Telah tampak nyata kerusakan yang disebabkan oleh sistem kapitalisme, maka saatnya kita beralih pada sistem Islam yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam.

Wallahu alam bissawab.


Oleh: Sri Haryati 
Komunitas Setajam Pena
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar