Topswara.com -- Bertepatan dengan perayaan HUT RI ke-79, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengumumkan pemberian Remisi Umum (RU) dan Pengurangan Masa Pidana Umum (PMPU) tahun 2024 kepada 176.984 narapidana dan Anak Binaan.
Menkumham, Yasonna mengatakan bahwa remisi ini merupakan bentuk apresiasi terhadap prestasi, dedikasi, serta disiplin tinggi para narapidana dalam mengikuti program pembinaan (metrotempo.co, 18/8/2024).
Meski pemerintah menyatakan bahwa remisi napi adalah bentuk apresiasi kepada mereka, fakta menunjukkan pemberian remisi ini juga menguntungkan negara. Sebab, negara dapat menghemat anggaran pemberian makan kepada narapidana dan anak binaan sebesar Rp 274,36 miliar.
Overkapasitas
Dikutip dari muslimahnews.net, (21/08/2024), Institute for Crime and Policy Justice Research mencatat Indonesia mendapat peringkat ke-22 sebagai negara dengan lembaga pemasyarakatan yang kelebihan kapasitas.
Per Maret 2023, angka kelebihan kapasitan mencapai 89 persen. Sementara itu, jumlah orang yang dipenjara mengalami peningkatan sebanyak 10.000 orang tiap tahunnya. Penambahan ini tentunya berdampak pada perlunya penambahan kapasitas, peralatan, hingga pengawasan. Dari sisi anggaran konsumsi dan program pembinaan pun tak ketinggalan ikut meningkat.
Dengan demikian, tidak heran jika pemerintah mengatakan bahwa remisi napi akan membantu negara berhemat. Pasalnya, Ditjen PAS mengatakan anggaran konsumsi napi per tahun mencapai Rp2triliun.
Sanksi yang Tidak Ngeri
Tingginya angka orang yang masuk penjara tiap tahunnya menunjukkan tindakan kriminalitas tidak pernah surut. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya overkapasitas.
Tidak hanya itu, alih-alih berubah menjadi individu yang lebih baik setelah mendapat remisi, tidak satu dua orang mantan narapidana yang kembali masuk penjara, baik dengan kasus yang sama maupun kasus yang berbeda.
Hal ini tentunya memperkuat bahwa sistem sanksi saat ini tidak tegas, dan tidak bersifat menjerakan. Kondisi ini diperparah lagi dengan penerapan hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas. Fenomena hukum yang diperjualbelikan sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat.
Selain perlu sanksi tegas, pintu-pintu yang membuka terjadinya tindak kriminalitas juga perlu ditutup. Pasalnya, latar belakang seseorang melakukan kejahatan bisa bermacam-macam, mulai dari lemahnya keimanan, kemiskinan, pengangguran, sistem pendidikan yang berorientasi materi, hingga gaya hidup hedonis. Oleh karena, kita butuh solusi tuntas yang menumpas hingga ke akar.
Islam Mampu Menumpas Kejahatan hingga Tuntas
Islam memiliki sistem yang sempurna dalam mengatur kehidupan manusia. Islam mengatur sistem pendidikan sedemikian rupa untuk membentuk individu dengan pola pikir dan pola sikap yang senantiasa taat pada syariat. Hal ini mendorong lahirnya setiap individu yang memiliki ketakwaan tinggi.
Dari sisi ekonomi, Islam menganggap sumberdaya alam seperti tambang merupakan kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara, bukan swasta dan asing. Hal ini akan menjadikan lapangan pekerjaan untuk masyarakat terbuka lebar.
Selain itu, hasil olahan tambang akan dialokasikan untuk memberikan fasilitas publik, seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Masyarakat akan dimudahkan untuk memperoleh fasilitas tersebut.
Dari sisi sistem sanksi, tidak perlu diragukan lagi ketegasannya. Sistem sanksi Islam bahkan mengandung hikmah jawazir, yakni penebus dosa dan zawajir, yakni mencegah terjadinya tindak kejahatan lagi.
Lebih dari itu, sejarah mencatat, penerapan seluruh sistem Islam secara komprehensif, termasuk sistem sanksinya, menjadikan angka kriminalitas turun drastis. Selama belasan abad berjaya, kasus kejahatan dan kriminal yang terjadi kurang lebih 200 kasus, berbanding terbalik dengan kondisi saat ini.
Demikianlah, Islam mampu memberikan solusi tuntas dan komprehensif bagi seluruh problem kehidupan manusia. Lebih jauh, aturan-aturan dalam Islam bahkan mencegah agar kejahatan tidak sampai terjadi. []
Oleh: Luk Luk Il Maknuun
(Aktivis Muslimah, Tinggal di Jombang)
0 Komentar