Topswara.com -- Bukan hal baru lagi, berbagai kemudahan mengakses media sosial kini menjadi celah bagi para pemburu syahwat untuk memuaskan hasratnya.
Seperti yang baru-baru ini terjadi, Bareskrim Polri mengungkap kasus prostitusi online yang melibatkan sebanyak 1.962 orang diperjualbelikan di media sosial oleh 4 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, di mana 19 orang diantaranya adalah anak-anak di bawah umur (inews, 25/07/24).
Lebih jauh lagi, ternyata dalam penyelidikannya, PPATK juga menemukan dugaan transaksi terkait prostitusi online yang melibatkan lebih dari 24.000 anak usia 10 sampai 18 tahun (Kompas, 26/07/24)
Miris! Kata itu mungkin cukup untuk menggambarkan situasi saat ini. Tak habis pikir, mengapa kasus prostitusi online yang melibatkan anak makin meluas, sulit diberantas, dan tak pernah tuntas?
Padahal berbagai aturan telah dibuat untuk melindungi anak, namun nyatanya prostitusi online malah tumbuh subur, UU ITE hanya isapan jempol belaka, selain itu Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim nyatanya tidak menjamin anak tidak melakukan prostitusi online.
Berbagai faktor anak menjadi pelaku prostitusi online, pertama kurangnya peran keluarga, mengapa? Keluarga yang seharusnya menjadi benteng pertama seorang anak dalam memahami tujuan hidup, dalam kehidupan saat ini beralih memberikan pemahaman bagaimana cara bertahan hidup dikarenakan kondisi yang menghimpit. Kondisi ini terus berlanjut hingga seorang anak salah memaknai tujuan dan standar hidupnya sekadar untuk meraih harta.
Kedua, faktor ekonomi. Naiknya harga kebutuhan bahan-bahan pokok yang tidak diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia nampaknya membuat banyak keluarga mengeluh akan sulitnya mencari pekerjaan.
Disisi lain, peluang pekerjaan haram malah makin terbuka lebar. Sehingga, bagi mereka yang tak dibentengi dengan keimanan yang kuat akan mudah tergiur. Karena, selama masih ada permintaan tentu saja penawaran akan tetap berlaku.
Ketiga, gaya hidup hedonis. Tidak dipungkiri, tayangan media serta pergaulan sekitar yang mempertontonkan gaya hidup hedonis, mempengaruhi standar hidup seseorang. Sehingga, kesibukan mencari uang bukan sekadar untuk bertahan hidup saja, tapi juga mengikuti tren-tren masa kini yang tak ada habisnya. Gaya hidup instan itulah yang membuat mereka bebas menghalalkan segala cara dalam meraih harta.
Keempat, maraknya pergaulan bebas. Perkawinan antara liberalisasi media sosial dan kebebasan berekspresi menjadi paduan yang khas sistem sekuler liberal. Stimulus yang membangkitkan syahwat baik itu di lingkungan maupun dunia maya yang tidak diatur oleh negara, ditambah dengan kemudahan mengakses sosial media berpotensi membuka keran pergaulan bebas.
Padahal, melihat fakta saat ini sesungguhnya kebebasan yang paling dibutuhkan adalah kebebasan dari jeratan bisnis syahwat. Masalah ini seharusnya dipandang secara serius mengingat telah banyak menjerumuskan anak-anak, bukan lagi segelintir orang saja.
Islam Solusi Tuntas
Islam sesungguhnya memiliki serangkaian cara untuk memecahkan segala persoalan, termasuk maraknya prostitusi online yang melibatkan anak-anak.
Pertama, individu dan masyarakat akan dipahamkan terkait keimanan kepada Allah melalui peraturan-peraturan yang diterapkan. Sehingga dengan pendidikan islam tersebut, setiap pribadi tumbuh dengan kepribadian Islam. Halal-haram dan ridho Allah menjadi standar utama, tak lagi tergiur pada gemerlapnya dunia.
Kedua, sistem ekonomi Islam akan menjamin kehidupan masyarakat penuh dengan kesejahteraan. Hubungan penguasa dan rakyat laksana pelayan dan tuannya. Penguasa ada untuk melayani rakyatnya. Inilah yang menjadikan seluruh urusan kehidupan umat terjamin, termasuk lapangan kerja.
Islam memiliki langkah-langkah tersendiri untuk membentengi segala potensi bahaya yang akan terjadi imbas terdesaknya seseorang dalam memenuhi kebutuhan.
Ketiga, aturan islam membentengi segala hal yang berpotensi membangkitkan syahwat. Perintah menutup aurat dalam hal ini menjadi penting dan genting. Kehidupan sosial antara laki-laki dan perempuan terproteksi satu sama lain, tak boleh bercampur baur di kehidupan kecuali hanya pada urusan tertentu.
Begitu pula dengan politik media yang berperan besar dalam mengatur dan mengedukasi melalui tontonan di masyarakat. Negara harus memastikan segala informasi yang beredar bermanfaat dan tidak menyalahi syariat, termasuk juga menutup arus transaksi online yang berbau syahwat.
Keempat, sistem sanksi dalam Islam sangat tegas. Adapun bisnis prostitusi online ini dipandang setara dengan hukum perzinahan, dimana hukuman bagi PSK dan penggunanya telah nelas, yaitu jilid dan rajam. Bagi pezina mushan (sudah menikah), hukumannya berupa rajam dan bagi pezina ghairu muhsan (belum menikah), hukumannya berupa cambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun.
“Ambillah dari diriku, ambillah dari diriku, sesungguhnya Allah telah memberi jalan keluar (hukuman) untuk mereka (pezina). Jejaka dan perawan yang berzina hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dan janda hukumannya dera seratus kali dan rajam.” (HR Muslim).
Begitu juga dengan fasilitator atau muncikari, hukuman bagi mereka berupa takzir yang ditentukan oleh pengadilan. Hukuman bagi muncikari ini bisa lebih berat lagi sebab didalamnya terdapat unsur perdagangan manusia (human trafficking).
Begitulah sistem Islam menyolusikan. Bukan bualan, apalagi angan-angan. Sekelumit masalah yang menjerumuskan anak-anak layaknya menjadi tamparan keras untuk lebih kritis dalam menyolusikan.
Karena anak-anak, adalah generasi yang kelak diharapkan dapat melanjutkan estafet perubahan. Generasi Khoiru Ummah yang gagasannya dinantikan oleh umat, yang tentu Kita tidak akan rela jika masa belianya terenggut oleh berbagai kenakalan. Jika bukan sistem Islam yang diterapkan di berbagai lini kehidupan, yakinkah anak-anak akan bebas dalam jeratan masalah-masalah yang akan datang?
Wallahua'lam.
Oleh: Putri Ariesta
Aktivis Muslimah
0 Komentar