Topswara.com -- Kasus bunuh diri di Indonesia terutama dikalangan akademisi semakin menjamur. Seperti yang terjadi di Sleman, Yogyakarta, seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) ditemukan meninggal bunuh diri di kamar indekosnya di Kapanewon Mlati, Senin (12/8). Belum diketahui motif pelaku melakukan aksi nekatnya ini. Sementara hasil penyelidikan awal tidak menemukan adanya indikasi gangguan mental pada korban.
Pihak kampus mengklaim telah melakukan upaya pencegahan untuk meminimalisir kasus bunuh diri dikalangan mahasiswa ini dengan melakukan screening kesehatan mental bagi seluruh mahasiswa pada saat mahasiswa mengisi KRS.
Jika ada mahasiswa yang terindikasi mengalami gangguan mental, maka pihak kampus telah menyiapkan Unit Layanan Kesehatan Mental akan menangani lebih lanjut. (kumparannews, 13/08/2024).
Lain halnya dengan Kasus kematian yang dialami oleh seorang dokter muda asal Tegal Aulia Risma Lestari, mahasiswa PPDS Anestesi Undip yang diduga bunuh diri karena kerap menerima perilaku bullying dari rekan seprofesi nya.
Mirisnya kasus ini bukanlah kasus satu-satunya yang terjadi di wilayah Semarang, sebelumnya telah terjadi beberapa kasus serupa yang penyebabnya beragam, diantaranya perundungan, persoalan asmara, depresi, utang pinjol, hingga tekanan dalam proses belajar di kampus. (radarsemarang.jawapos.com,17/08/202).
Sederet kasus bunuh diri yang terjadi dipelbagai tempat menyisakan tanya, mengapa hal ini bisa terjadi ? Sungguh tak habis pikir, apalagi hal tersebut terjadi dikalangan kaum terpelajar. Bukankah seharusnya mereka fokus pada pelajaran mereka agar bisa segera menyelesaikan studi dan membanggakan orang tua.
Generasi penerus bangsa yang diharapkan mampu meningkatkan harkat dan martabat keluarga, bangsa dan negara. Namun nyatanya mental mereka tidak sekuat itu. Sangat disayangkan berbagai persoalan hidup diselesaikan dengan jalan pintas, bunuh diri.
Sistem Hidup Liberalis Sekuler
Meningkatnya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa seharusnya mendapat perhatian serius dari semua pihak. Berbagai polemik yang melatarbelakangi kasus bunuh diri ini memberikan gambaran betapa beratnya persoalan hidup yang tengah mereka hadapi sehingga memaksa mereka untuk memilih mengakhiri hidup dengan tragis.
Jika kita telaah lebih dalam penyebab masifnya kasus bunuh diri yang terjadi di kalangan kaum terpelajar ini pada khususnya dan dikalangan generasi muda pada umumnya, dipengaruhi oleh banyak faktor.
Bisa kita simpulkan semua ini erat kaitannya dengan sistem hidup, termasuk sistem pendidikan yang digunakan saat ini yaitu sistem liberalis sekuler yang telah gagal melahirkan generasi muda yang tangguh.
Sistem pendidikan saat ini hanya menitik beratkan pada kemampuan akademik saja, namun mereka lupa untuk menanamkan nilai-nilai agama, akhlak, budi pekerti yang luhur. Mereka lupa menempa mental generasi muda agar menjadi manusia-manusia yang tangguh yang kuat mengarungi kejamnya dunia.
Menurut pakar Psikologi Unair Dr. Nur Ainy Fardana, setidaknya ada lima faktor yang membuat mahasiswa bunuh diri, yang sejatinya merupakan masalah kompleks yang terjadi dalam sistem sekuler kapitalisme (Kompas.com, 21/11/2023).
Pertama, masalah kesehatan mental. Pada umumnya masalah kesehatan mental yang sering terjadi pada mahasiswa antara lain adalah depresi, gangguan kecemasan, gangguan makan, menyakiti diri sendiri, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, insomnia, dan kurangnya bersosialisasi.
Sementara sumber dari gangguan kesehatan mental yang terjadi sejatinya tidak lepas dari cara pandang mengenai kehidupan. Dalam pandangan kapitalisme sekuler, tujuan hidup manusia sekadar meraih sebanyak-banyaknya materi dan kesenangan dunia sehingga ketika hal itu tidak tercapai, ia merasa gagal dan mudah menyerah dalam hidup.
Di sinilah munculnya gangguan cemas, stres, depresi, dan sejenisnya yang memicu seseorang berniat bunuh diri sebagai solusi untuk menghindari semua permasalahan hidup.
Kedua, tekanan dan tuntutan yang tinggi dalam lingkup akademik dan keluarga. Beban akademik yang banyak kerap menjadi pemicunya. Beratnya beban kerja dan tugas berlebih, adanya tuntutan orang tua kepada anak yang terlalu memaksakan kehendak dan harapan yang terlalu ambisius yang mengharuskan anak memperoleh prestasi akademik yang bagus.
Sehingga, hidupnya dipenuhi dengan rasa takut mengecewakan keluarga, tertekan dan terbebani dengan semua target pencapaian hidup.
Ketiga, kurangnya lingkungan sosial yang mendukung. Sudah sangat wajar di era digital saat ini jika generasi muda, terutama mahasiswa, lebih banyak memilih berinteraksi dengan dunia maya sehingga interaksi sosial mereka dengan masyarakat sekitar berkurang.
Ditambah kehadiran media sosial yang seakan menjadi jawaban atas kesepian yang mereka alami akibat tidak adanya dukungan sosial disekitarnya. Belum lagi maraknya kasus-kasus bullying yang kerap terjadi di lingkungan pendidikan, menambah ketidaknyamanan generasi saat itu untuk berinteraksi di lingkungan nyata.
Akhirnya mereka memilih untuk menyendiri, menjadi generasi yang jiwa sosialnya terisolasi dengan mencukupkan diri bersosialisasi di dunia maya.
Keempat, masalah kesulitan ekonomi akut. Saat ini kekurangan finansial seolah telah menjadi permasalahan sejuta umat yang kerap kali menjadi pemicu seseorang mengakhiri hidupnya. Dalam dunia pendidikan fenomena mahalnya biaya UKT mendorong mahasiswa nekat melakukan pinjol, judol, atau bahkan tindak kriminal.
Sudah tak terhitung jumlah kasus bunuh diri karena pinjol dan judol ini, tetapi negara masih saja abai. Mirisnya alih-alih menggratiskan biaya kuliah, negara justru mendorong mahasiswa yang kesulitan membayar biaya kuliah untuk melakukan pinjol.
Kelima, peristiwa traumatis akibat kehilangan orang terdekat atau mengalami pelecehan. Masih basah kuburan NW seorang Mahasiswi Universitas Brawijaya, Malang yang mengakhiri hidupnya karena depresi setelah dipaksa kekasihnya untuk melakukan aborsi. Ini membuktikan sistem sekuler melahirkan liberalisme dikalangan generasi muda. Pergaulan bebas, perzinahan seakan telah menjadi hal yang biasa.
Sudah nampak jelas dan nyata bahwa sistem pendidikan sekuler tidak mampu membentuk kepribadian generasi muda yang memiliki keimanan kuat, mental yang sehat, serta visi hidup yang jelas.
Sistem pendidikan sekuler memang dirancang untuk menghasilkan manusia-manusia yang jauh dari agama. Dasar akidahnya saja menjauhkan seorang hamba dari aturan Allah. Maka wajar jika output-nya adalah generasi muda yang jiwanya rapuh, mentalnya lemah dan tidak memiliki tujuan hidup.
Sistem Pendidikan Islam
Kondisi ini jauh berbeda saat sistem Islam diterapkan. Islam memiliki sistem pendidikan yang kuat, karena berbasis akidah Islam yang akan mewujudkan generasi berkepribadian Islam, cendekiawan yang cerdas, dan berperadaban mulia.
Serta dengan dukungan sistem ekonomi dan sistem pemerintahan yang berbasis Islam pula lah, akan tercipta lingkungan hidup yang mendukung yang saling menguatkan terwujudnya kepribadian Islam dalam diri setiap umat muslim.
Dalam sistem pendidikan Islam ada 3 pilar utama yang mampu menciptakan generasi tangguh yang berkepribadian mulia. Ketiga pilar ini akan saling menunjang satu sama lain dan keberadaannya bersifat mutlak. Artinya apabila satu saja pilar tidak ada, maka tidak akan tercipta generasi tangguh yang berkepribadian mulia.
Pilar yang pertama adalah keluarga. Dalam Islam, keluarga adalah institusi terkecil dalam masyarakat yang melahirkan sebuah generasi. Keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Dari keluargalah setiap anak akan mendapat dasar akidah sebagai pondasi hidupnya.
Kemudian anak akan dibekali oleh keimanan dan kecintaan yang tinggi kepada Allah sebagai penciptanya serta Rasul-Nya sebagai satu-satunya suri tauladannya. Dengan bekal akidah dan keimanan yang kuat inilah yang akan membentuk anak menjadi pribadi yang tangguh dan berakhlak mulia. Keluarga pulalah yang akan menjadi benteng pertama yang akan memfilter pengaruh buruk lingkungan.
Pilar kedua adalah masyarakat. Dalam Islam masyarakat memiliki tugas untuk melaksanakan amar makruf nahi mungkar. Masyarakat harus ikut andil dalam memberikan dampak positif bagi anak dengan senantiasa menciptakan suasana ketaatan dan keimanan yang tinggi dalam lingkungan.
Perilaku masyarakat yang baik akan menciptakan suasana lingkungan yang baik pula bagi keluarga. Masyarakat adalah benteng kedua sebagai filter dari pengaruh negatif lingkungan.
Pilar ketiga adalah negara. Tugas negara adalah menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai mulai dari kurikulum yang berlandaskan akidah Islam, sarana dan prasarana yang layak, biaya pendidikan gratis, tenaga pengajar profesional, hingga sistem penggajian yang mampu mensejahterakan tenaga pengajar.
Negara harus mampu menjadi garda terakhir sebagai kontrol sosial yang mengawasi terlaksananya syariat Islam. Negara harus menjadi filter yang akan melindungi warganya dari pengaruh negatif pemahaman asing.
Negara juga harus mampu memberikan sanksi tegas bagi para pelanggar syariat, seperti pelaku maksiat, pezina, pencuri, pembunuh, pelaku tawuran dan lain sebagainya yang membuat jera para pelaku maksiat.
Dengan memadukan tiga pilar tersebut secara menyeluruh, akan tercipta generasi yang akan membangun peradaban yang agung seperti peradaban emas 14 abad silam dimana Islam diterapkan sebagai satu-satunya sistem kehidupan. Sistem yang memanusiakan manusia.
Wallahu'alam bissawab.
Oleh: Vini Setiyawati
Aktivis Muslimah
0 Komentar