Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Perubahan Iklim Butuh Solusi Sistemis

Topswara.com -- Masalah perubahan iklim menjadi isu global saat ini. Kerusakan ozon, naiknya suhu bumi, efek rumah kaca, banjir besar, cairnya gletser dan es di kutub utara dan selatan, semakin memperburuk kehidupan umat manusia. 

Oleh karenanya, manusia yang memang tempat hidupnya di planet bumi harus berpikir cermat dan cerdas, mencari solusi untuk menanggulanginya.

Komitmen dan kontribusi Indonesia dalam upaya pengendalian perubahan iklim global, ditindaklanjuti oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dengan melaksanakan Program Kampung Iklim (ProKlim) yang di mulai sejak tahun 2012.

Untuk tahun 2024 ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan apresiasi kepada Bupati Bandung, Dadang Supriatna, sebagai Pembina Program Kampung Iklim (Proklim), saat Festival LIKE2 (Lingkungan, Iklim, Kehutanan, dan Energi) di Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat pada Jumat (9/8/2024). Apresiasi yang sudah tiga kali diterima oleh Kang DS, sebutan Dadang sebagai pemimpin yang pro iklim sejak tahun 2022.  

Diantara upaya yang dilakukan oleh Kang DS yaitu mengeluarkan Instruksi Bupati Bandung No 5 Tahun 2023 tentang Gerakan Penurunan Gas Rumah Kaca dalam rangka Pengendalian Perubahan Iklim, melalui pengelolaan sampah, menanam dan memelihara pohon, memanen air hujan, dan terutama menerapkan gaya hidup ramah lingkungan (tribunnews.com/10/8/2024). 

Namun yang harus jadi perhatian penting, bahwasanya kerusakan alam ini bukan hanya masalah individu tapi masalah sistemis sehingga harus melibatkan semua pihak untuk menyelesaikannya.

Kita tidak nafikan hari ini terjadi berbagai bencana alam akibat kerusakan lingkungan, seperti banjir atau longsor. Biasanya yang sering kali disalahkan adalah kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan atau malas membersihkan selokan sehingga sampah menumpuk mengotori sungai atau menyumbat aliran sungai. Terkadang perubahan iklim juga sering dipersalahkan.

Kalau dicermati secara mendalam, sebenarnya penyebab masalah yang lebih besar yaitu adanya industrialisasi dan pembangunan kota atau wilayah yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. 
Sungai-sungai yang tercemar diakibatkan oleh maraknya industrialisasi yang tidak disertai dengan pengolahan limbah secara tepat. 

Ditambah dengan banyaknya pembangunan yang sering kali tidak ramah lingkungan dilakukan oleh para oligarki, seperti sarana komersial, gedung perkantoran serta rumah pemukiman, membuat air hujan tidak dapat meresap ke dalam tanah. 

Pencemaran airpun makin meningkat akibat minimnya pengolahan air limbah domestik. Begitu juga potensi cadangan air dari hutan telah hilang karena mudahnya konsesi hutan dan deforestasi (penggundulan/penebangan hutan). 

Sungguh kerusakan alam yang terjadi saat ini sebenarnya bukan semata individu-individu rakyat yang kurang menjaga lingkungan, akan tetapi akar masalahnya penerapan sistem kapitalisme sekularisme yang dilakukan oleh penguasa negeri ini. 

Sistem kehidupan yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan alam. Bagi orang-orang yang bermodal besar maka ia berhak untuk mengeksploitasi sumberdaya alam sesuai keinginannya.

Disamping itu, sistem kapitalisme sekularisme juga menjadikan fokus pembangunan kepada masalah produksi. Sehingga produksi terus digenjot untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya, namun sering kali efek samping dari produksi semisal pencemaran lingkungan atau kerusakan alam malah diabaikan. 

Bahkan, kebijakan pemerintah terkait analisis dampak lingkungan (amdal) yang seharusnya bisa mencegah dampak buruk kerusakan lingkungan terkesan setengah hati, sekedar formalitas di atas kertas karena yang diutamakan tetap mengejar produksi. 

Jadi kerusakan lingkungan hari ini didominasi oleh kerakusan para pemilik modal serta abainya penguasa dalam menjalankan tugasnya melindungi dan mengayomi rakyatnya.  

Tentu kita membutuhkan sebuah institusi yang mampu membuat kebijakan pengelolaan alam secara seimbang, menerapkan sistem yang sempurna, sekaligus memberlakukan sanksi tegas bagi siapapun yang melakukan pelanggaran.

Inilah sistem Islam, sistem yang menjadikan standar ketundukannya hanya kepada aturan Allah bukan materi atau keuntungan duniawi. 

Konsep Islam yang ada di dalam Al-Qur’an mengenai keseimbangan ekologi adalah pedoman yang harus diperhatikan bagi setiap muslim agar kelestarian dan keutuhan ekosistem dapat terjaga.  
 
Negara memiliki peran yang paling penting karena khalifah atau kepala negara berfungsi sebagai raa’in (pemelihara atau pelindung) yang akan menerapkan aturan Islam secara kaffah. 

Tindakan preventif yang akan dilakukan negara agar tidak terjadi eksploitasi yang berdampak pada kerusakan alam adalah mengembalikan kepemilikan SDA yang terkategori milik umum, seperti hutan, air, sungai, danau, laut kepada rakyat dan negara yang akan mengelolanya untuk kemaslahatan rakyatnya. 

Karena Nabi saw. Telah bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). 

Atas landasan tersebut negara tidak akan memberikan konsesi terhadap hutan dan sumber daya alam kepada pihak swasta. Kemudian mengembalikan fungsi ekologis dan hidrologis hutan, sungai, dan danau sebagai pengatur iklim global sehingga pemanfaatan SDA oleh manusia tidak sampai merusak dan harus dilestarikan. 

Rehabilitasi dan memelihara konversi lahan hutan akan dilakukan negara agar resapan air tidak hilang beserta sumber-sumber air lainnya, seperti mata air, sungai, danau, dan laut. 

Penting bagi negara untuk mengedukasi masyarakat agar menjaga lingkungan, juga melakukan pembiasaan hidup bersih dan sehat. Begitu pun rancangan tata ruang wilayah (RT/RW) yang dibuat oleh negara harus memperhatikan kelestarian lingkungan. 

Misalnya ketersediaan kawasan hijau untuk daerah resapan air dan paru-paru kota, yang tentu saja tidak boleh dialihfungsikan menjadi kawasan pemukiman, industri, perkantoran, pertanian dan sebagainya demi menjaga ketersediaan air dan udara yang bersih dan sejuk.    

Memperketat izin pembangunan dan kalaupun negara perlu untuk melakukan alih fungsi lahan, ini dilakukan secara tepat guna dan tepat sasaran. Bukan semata demi kepentingan para pemilik modal, apalagi jika harus membabat hutan-hutan primer secara ugal-ugalan. 

Pengawasan terhadap izin dan operasional industri-industri swasta, serta memberikan sanksi tegas bahkan menutup perusahaan yang melakukan pelanggaran merusak lingkungan. 

Dukungan dana oleh negara dalam bidang penelitian, teknologi, dan pembangunan termasuk infrastruktur akan terus dilakukan. Para pakar di bidangnya akan diberdayakan sehingga lahir kemajuan sains dan teknologi ramah lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. 

Ketika khilafah menjadi mercusuar peradaban dengan pembangunan kota-kota skala internasional, konsep perencanaan tata ruang tidak hanya memperhatikan aspek sosial masyarakat yang bernilai ruhiyah, tetapi juga sangat memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan.

Bagi para perusak lingkungan akan diberikan sanksi tegas berupa takzir yang jenis hukumannya diserahkan kepada penguasa atau qadhi. Bisa berupa jilid (dera), penjara, pengasingan, denda, penyitaan perampasan harta dan penghancuran barang sesuai dengan kadar dari seberapa besar dampak dan kerusakan yang telah dilakukan oleh pelaku perusakan lingkungan

Alhasil, penyelamatan dan penjagaan lingkungan ini tidak dapat dilakukan secara parsial. Butuh upaya penyelesaian yang integratif berbasis ketakwaan untuk mewujudkan keberlanjutan lingkungan dengan menerapkan sistem yang datang dari Allah Swt., yaitu Islam. 

Dengan penerapan sistem Islam secara kafah inilah, Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam akan dapat dirasakan secara menyeluruh oleh seluruh umat manusia. 

Wallahualam bissawab.


Oleh: Tri Yuliani
Pegiat Dakwah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar