Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pelarangan Jilbab pada Paskibraka, Implikasi Sekularisme Akut


Topswara.com -- Baru-baru ini polemik Paskibraka di negeri ini menuai banyak protes dari berbagai pihak. Pemberitaan yang ada di salah satu media online CNN Indonesia (14/08/2024) Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah Cholil Nafis protes keras terkait dugaan pelarangan penggunaan jilbab bagi petugas Paskibraka perempuan beragama Islam yang bertugas pada peringatan kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia tahun ini. 

Cholil menilai dugaan pelarangan jilbab itu sebagai bentuk kebijakan yang tidak Pancasilais. Keberadaan BPIP dalam institusi pemerintahan patut dipertanyakan, terutama dalam konteks kewajiban bagi setiap muslimah, termasuk anggota Paskibraka yang telah balig, untuk mengenakan kerudung. 

Kerudung adalah pakaian yang wajib dikenakan di ruang publik atau umum, karena seluruh tubuh wanita muslimah adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan. 

Meskipun BPIP beralasan bahwa tidak ada paksaan karena ada penandatanganan kesepakatan untuk mengenakan pakaian dan atribut yang distandarisasi, aturan tersebut sebenarnya tetap bertentangan dengan hukum Allah. 

Mengenakan pakaian yang tidak disyariatkan adalah sebuah kemaksiatan. Seringkali, para pemegang kekuasaan berdalih bahwa aturan yang mereka buat berasaskan konstitusi dan Undang-Undang Dasar 1945. 

Kenyataannya mereka sendirilah yang melanggar aturan yang mereka buat sendiri, karena secara konstitusi penggunaan kerudung bagi muslimah, termasuk anggota Paskibraka, adalah hak yang dijamin oleh pasal 29 UUD 1945. 

Namun, yang menjadi sorotan disini adalah adanya kecenderungan Islamofobia yang terstruktur dari pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, meskipun bertentangan dengan konstitusi yang mereka akui, justru cenderung mengarah pada upaya untuk mengkriminalisasi ajaran dan keyakinan umat Islam. 

Melalui aturan pakaian Paskibraka ini, BPIP menunjukkan bahwa lembaga tersebut menganut paham sekularisme, yaitu pandangan yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari.

Keberadaan lembaga pemerintah yang sekuler adalah konsekuensi dari negara yang berlandaskan sekularisme. Meski mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim, aturan-aturan yang diterapkan justru berasal dari pemikiran manusia atau prinsip-prinsip sekuler. 

Aturan-aturan yang berdasarkan pada ajaran Allah sebagai Pencipta dan Pengatur kehidupan tidak diindahkan dalam pembuatan kebijakan. Akibatnya, kita akan terus menemui aturan-aturan yang bertentangan dengan Islam. 

Sekularisme, yang merupakan dasar kapitalisme, masih diterapkan di negara ini. Perlu diingat bahwa sekularisme kapitalis adalah sistem yang tidak sah dan tidak dapat diperbaiki, serta hanya akan membawa kemudaratan bagi masyarakat. Negara yang berlandaskan sekuler akan terus memandang agama sebagai ancaman. 

Berbeda dengan negara yang berasaskan Islam, di mana kebijakan-kebijakan didasarkan pada prinsip halal dan haram. Negara seperti ini akan memandu kehidupan manusia sesuai dengan syariat Allah, sehingga mereka dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. 

Penegakan syariat Islam, termasuk kewajiban menutup aurat, tidak akan tercapai dengan sempurna kecuali di bawah negara Islam yang dikenal sebagai khilafah. 

Imam Al-Ghazali pernah menegaskan bahwa agama dan kekuasaan adalah seperti dua saudara kembar; agama adalah fondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Apa pun yang tidak memiliki fondasi akan hancur, dan apa pun yang tidak memiliki penjaga akan lenyap. Islam mewajibkan negara untuk menjaga akidah umat, termasuk keyakinan mereka terhadap ajaran Islam.

Penerapan kewajiban kaum Muslimin harus dilakukan dengan benar. Oleh karena itu, negara tidak boleh membiarkan rakyatnya terjerumus dalam maksiat seharusnya negara berperan sebagai penjaga dan pelindung umat. 

Penguasa atau khalifah diangkat oleh umat untuk menjalankan syariat Islam, bukan untuk menerapkan aturan lain atau hanya demi keuntungan pribadi. 

Negara akan menerapkan sistem pergaulan Islam dalam kehidupan sehari-hari, sehingga para Muslimah dapat mengenakan pakaian yang sesuai syariat di ruang publik. 

Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Nidzam al-Ijtima'i menjelaskan bahwa kehidupan umum adalah ruang publik yang dapat diakses siapa pun tanpa perlu izin. 

Oleh karena itu, sistem pergaulan Islam harus diterapkan untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan, baik laki-laki maupun perempuan.

Dalam kitab yang sama, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa pengaturan syariat dalam kehidupan publik mencakup kewajiban menutup aurat dan mengenakan pakaian yang sesuai hukum syarak, seperti jilbab dan kerudung. 

Selain itu, Islam menginstruksikan agar negara berfungsi sebagai institusi yang menjaga kehormatan dan kesucian rakyatnya. 

Oleh karena itu, sangat penting bagi negara yang menerapkan syariat Islam untuk memastikan bahwa akidah dan pelaksanaan hukum syariat oleh umat tetap dilaksanakan dan dipastikan terjaga dengan baik, agar menjadi Islam yang rahmatan lil’aalamiina. 

Wallahualam bissawab.


Oleh Ratih Fitriandani 
Aktivis Dakwah Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar