Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pajak Makin Membebani, Sejahtera Hanya Mimpi

Topswara.com -- Pemerintah menargetkan penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2025 sebesar Rp 2. 189, 3 triliun. Ini merupakan kali pertama dalam sejarah target pendapatan pajak Indonesia melewati batas Rp 2.000 triliun. Hal tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada hari Jumat. (CNN Indonesia, 16/8/ 2024). 

Pajak dari tahun ke tahun makin membebani masyarakat, apalagi di tengah lesunya perekonomian, tingginya PHK juga pengangguran. Maka wajar kita katakan kesejahteraan bagi rakyat kebanyakan hanyalah mimpi. 

Bisa memenuhi kebutuhan pokok saja sudah dirasa berat, apalagi rencana pemerintah ke depan untuk menaikkan pajak, pemberlakuan asuransi kendaraan, serta kewajiban menjadi anggota BPJS. Sebelum kenaikan pajak saja, sudah banyak usaha gulung tikar, terjadi kemiskinan ektrim, sehingga depresi dan jalan pintas seperti judol marak terjadi. 

Di sisi lain, dengan terus ditingkatkannya penerimaan pajak, tak berati berkurangnya jumlah utang. Per akhir Juli 2024 mencapai Rp 9. 502, 69 triliun. Tentu saja dengan utang menggunung, pemasukan tersita banyak untuk membayar utang. 

Artinya anggaran untuk mengurus rakyat akan makin kurus. Kalaupun pembangunan di banyak tempat , apalah artinya jika kebutuhan perut rakyat makin sulit terpenuhi. 

Seolah tidak ada jalan lain untuk menambah pendapatan selain menaikkan pajak juga menambah utang. Dalam kondisi ekonomi lesu, seharusnya negara bisa mengurangi berbagai kebutuhan yang sifatnya tidak mendesak seperti dana untuk anggaran seremonial HUT RI yang ke 79, juga dana lainnya. 

Pemerintah tidak memaksakan juga untuk membangun infrastruktur baru yang pada kenyataannya tidak bisa dinikmati rakyat, kebanyakan, semisal kereta cepat. 

Terlebih pembangunan IKN yang pastinya akan menelan banyak biaya harus dipikirkan pembuatannya, jangan sampai memaksakan, kembali rakyat dikorbankan, hanya demi sebuah kebanggan dan pengakuan bangsa lain. 

Sumber alam yang melimpah akibat diserahkan kepada swasta bahkan asing, menyumbang sangat minim bagi pemasukan negara, belum lagi maraknya korupsi. Imbasnya rakyat dituntun membayar pajak lebih tinggi lagi demi menutupi APBN yang terus membengkak. 

Itulah kenyataan hidup dalam sistem kapitalisme. Pemasukan utama negara yang berasal dari pajak. Jika pemasukan dirasa masih kurang, maka negara memiliki wewenang untuk menaikkan. 

Bila jumlah pajak lebih besar dari target yang ingin dicapai, dianggap sebagai sebuah prestasi dan kebanggaan. Sungguh ironis, miskin empati, bangga menyaksikan rakyat yang kian tercekik dengan berbagai pungutan. 

Berbeda halnya dengan hidup di bawah sistem Islam. Negara hanya boleh memungut yang dikenal dengan sebutan dharibah, semacam pajak. Jika pemasukan negara dari baitul mal tidak mencukupi untuk membiayai hal yang sifatnya mendesak, atau menjadi kewajiban negara untuk ditunaikan. 

Sifatnya hanya sementara tidak permanen, karena bukan pemasukan utama bagi negara. Juga hanya dipungut dari Muslim yang mampu secara finansial bukan untuk semua warga negara. Bandingkan dengan negara kapitalis yang memungut pajak dari seluruh rakyat, tak mengenal miskin atau kaya. Termasuk ketika membeli kebutuhan semua kena PPN. 

Pemerintah Islam sudah terbukti mampu mensejahterakan rakyatnya dalam kurun waktu yang panjang. Sampai pada tingkat tidak ditemukan seorangpun yang berhak menerima zakat. Dalam Islam penerimaan zakat sebagai tolak ukur pada masa itu, bahwa masyarakat dalam.keaddan tercukupi kebutuhannya. 

Dalam kondisi kekurangan biaya, negara boleh memungut dharibah (pajak) hanya untuk alokasi dana sebagai berikut:

Pertama, untuk memenuhi biaya para fakir, miskin, ibnu sabil, dan melaksanakan kewajiban jihad, jika dari harta zakat tidak terpenuhi. 

Kedua, untuk gaji para pegawai, gaji tentara dan santunan para penguasa. 

Ketiga, untuk pembangunan jalan raya yang sifatnya mendesak karena tidak ada jalan alternatif lain, pengadaan air minum bersih, pembangunan masjid, sekolah dan rumah sakit, yang semuanya bersifat mendesak dibangun karena sangat dibutuhkan. Jika tidak dibangun akan menimbulkan kemudharatan bagi rakyat. 

Keempat, untuk membiayai keadaan darurat seperti bencana mendadak yang menimpa rakyat berupa bencana kelaparan, angin topan atau gempa bumi. 

Negara dalam sistem Islam, hanya boleh membangun fasilitas tambahan jika anggaran tersedia di baitul mal. Utang luar negeri terlebih mengandung riba yang harus dihindari, karena utang hanya membuat negara di bawah dominasi pemberi utang.

Penguasa dalam sistem Islam berfungsi sebagai pengurus umat bukan pihak yang membebani apalagi memperkaya diri. 
Khalifah Umar tidak mau memakan roti halus yang disuguhkan oleh pejabatnya sebelum rakyatnya sendiri juga bisa merasakan. 

Maka dalam sistem Islamlah masyarakat akan terbebas dari pungutan pajak, sebaliknya akan mendapatkan haknya karena penguasa menjalankan kewajiban sesuai syarit-Nya. 

Wallahu 'alam bi ash shawab.


Oleh: Darmayanti
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar