Topswara.com -- Saa Perang Qadisiyah, Rib’i bin Amir melaju cepat dengan kudanya. Ia menuju perkemahan Rustum. Panglima Pasukan Kerajaan Persia saat itu. Setibanya di sana, ia mendapati pembesarnya berpakaian kenegaraan.
Majelis mereka dihiasi dengan hamparan permadani dan sutera yang serba mahal. Rustum duduk di singgasananya yang sangat mewah. Sebaliknya, Rib’i bin Amir, Panglima Pasukan kaum Muslim itu, hanya berpakaian kasar dan sederhana.
Rib’i bin Amir langsung masuk ke perkemahan itu tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya. Ia tetap menunggang kudanya dan membiarkan kaki kuda itu mengotori hamparan permadani yang serba mahal itu.
Rib’i bin Amir lalu berjalan menghadap Rustum dengan tetap menyandang tombaknya. Seketika itu pula hamparan permadani itu terkoyak-koyak oleh senjatanya itu. Melihat itu, para pembesar itu segera berseru, “Letakkan senjata itu!”
Rib'i menjawab, “Aku datang kemari hanyalah atas undangan kalian. Jika kalian suka, biarkan aku dalam keadaaanku sepert ini. Kalau tidak, aku pulang.”
“Biarkan dia menghadap!” kata Panglima Rustum.
Rustum lalu mengajukan sebuah pertanyaan, “Apa yang mendorong kalian datang ke negeri kami?”
Rib’i bin Amir, yang berdiri tegak penuh wibawa, menjawab dengan tegas:
الله ابتعثنا لنخرج من شاء من عبادة العباد إلى عبادة الله ÙˆØده، ومن ضيق الدنيا إلى سعة الدنيا والآخرة، ومن جور الأديان إلى عدل الإسلام
"Allah SWT telah mengutus kami untuk memerdekakan hamba-hamba-Nya dari penyembahan kepada sesama manusia menuju penyembahan hanya kepada Allah SWT; dari kesempitan dunia menuju keluasaan dunia dan akhirat; dan dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam.”
Begitulah Ribi’i bin Amir. Ia menjelaskan bahwa kedatangan pasukan Khilafah Islam ke negeri Persia bukan karena ambisi ekonomi atau politik demi mengeksploitasi bangsa/negara yang dikuasai.
Sebaliknya, kedatangan pasukan Khilafah Islam mereka membawa misi luhur: memerdekakan manusia dari segala bentuk penindasan; menebarkan kebaikan, rahmat dan hidayah; menerangi jalan hidup; dan melenyapkan kezaliman yang membelenggu mereka. Inilah misi kemerdekaan Islam yang mulia, yang diemban Khilafah Islam dalam setiap ekspansinya.
Sebelum Rib’i bin Amir, utusan lain yang datang kepada Rustum adalah Mughirah bin Syu’bah. Seperti ditulis oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, Mughirah bin Syu’bah juga menyampaikan jawaban yang sama ketika ditanya Rustum. “Dunia bukanlah tujuan kami. Cita-cita dan tujuan kami adalah akhirat. Allah SWT telah mengutus kepada kami Rasul dan Dia berkata dirinya, ‘Aku telah memberikan kekuasaan kepada kaum ini (kaum Muslim) atas orang-orang yang tidak tunduk pada agama-Ku.’”
Rustum bertanya lagi, “Agama apakah itu?”
Mughirah bin Syu’bah menjawab, “Pilar yang tegak di atas kesaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, serta pengakuan atas semua yang datang dari-Nya.” (Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 3/43).
Fragmen di atas setidaknya memberikan pelajaran berikut:
Politik luar negeri Daulah Islam adalah dakwah dan jihad. Inilah yang dipraktikkan oleh Rasululah SAW. saat mengepalai pemerintah Negara Islam di Madinah, juga oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelah mereka sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam.
Ekspansi Daulah Islam atau Khilafah Islam tidaklah dimaksudkan untuk tujuan-tujuan duniawi, tetapi juga untuk tujuan-tujuan mulia: menyebarkan risalah tauhid yang substansinya adalah memerdekakan manusia dari penghambaan hanya kepada Penguasa manusia, yakni Allah SWT.
Misi kemerdekaan Islam inilah yang tidak dimiliki negara-negara Muslim saat ini, bahkan yang mengklaim sebagai Negara Islam seperti Arab Saudi, Iran. Pasalnya, Islam memang tidak dijadikan sebagai ideologi negara mereka. Islam paling banter hanya menjadi falsafah negara, sementara dasar negara mereka yang sebenarnya adalah sekularisme.
Wajarlah jika negara-negara Muslim di Dunia Islam khususnya di Timur Tengah saat ini tidak memiliki wibawa, bahkan harga diri di hadapan negara-negara kafir.
Para penguasanya cenderung tidak mandiri. Mereka tunduk pada kekuatan negara-negara kafir imperialis. Karena itu alih-alih memiliki misi untuk memerdekakan negeri-negeri Muslim yang terjajah seperti Palestina, misalnya, yang amat dekat dengan mereka, apalagi menyebarkan risalah Islam dengan dakwah dan jihad ke seluruh dunia, bahkan untuk mencegah negara-negara mereka dari intervensi negara-negara kafir imperialis pun mereka tidak berdaya.
Kondisi ini sangat kontras dengan kondisi Negara Islam pada zaman Nabi SAW., juga dengan kondisi Kekhilafiahan Islam pada masa Khulafaur Rasyidin maupun para khilafah setelah mereka, yang begitu disegani bahkan ditakuti oleh negara-negara besar saat itu: Persia dan Romawi
Kewibawaan Daulah Islam atau Khilafah Islam di hadapan negara-negara adidaya kafir saat itu antara lain tercermin dari sikap panglima pasukan Muslim, Rib’i bin Amir di atas. Orang-orang seperti Rib’i bin Amir tidak pernah kehilangan nyali ketika berhadapan dengan penguasa negara besar.
Lalu bagaimana dengan Indonesia yang telah merayakan Hari Kemerdekaan-nya yang untuk ke sekian kali?
Yang pasti "bau-bau kolonial" meminjam istilah Jokowi bukan saja tercium dari bangunan Istana negaranya, tetapi juga masih sangat melekat dalam sistem bernegaranya yang sekuler, kapitalis dan liberal; yang notabene adalah warisan dari negara-negara kolonial. Contoh kecil, di negeri ini KUHP-nya saja sampai kini pun masih dijiwai oleh spirit perundang-undangan zaman kolonial Belanda.
Belum lagi dari aspek ekonominya, negeri ini jelas masih menjadi obyek neokolonialisme Barat. Faktanya, begitu mudahnya negara-negara asing, khususnya Barat, menguasai sumberdaya alam negeri ini.
PT Freeport, misalnya, puluhan tahun menguasai dan menjarah tambang emas jutaan ton di Papua. PT ExxonMobil, British Oil, dan masih banyak perusahaan asing lainnya menguasai dan menjarah minyak bumi dan gas dengan cadangan berlimpah di berbagai wilayah di negeri ini.
Itu belum termasuk perusahaan-perusahaan asing maupun lokal yang menguasai dan menjarah tambang nikel, batu bara, di negeri ini.
Yang lebih tragis, rezim penguasa lah yang dengan sukarela dijajah baik oleh asing maupun oleh oligarki dalam negeri atas nama investasi. Contoh kecil, melalui UU Cipta Kerja, bagaimana rezim penguasa saat ini begitu mudahnya menawarkan lahan di negeri ini kepada para investor untuk mereka kuasai hingga 90 tahun.
Bahkan khusus di area IKN, melalui peraturan yang dibuat Pemerintah, para investor diberi kebebasan untuk menguasai lahan hingga 190 tahun. Nyaris 200 tahun (2 abad)!
Alhasil, di tengah cengkeraman neokolonialisme yang masih berlangsung atas negeri ini, masihkah kita layak berteriak dengan lantang, "Merdeka!" Apa tidak malu kita?! []
Oleh: Ustaz Arief B. Iskandar
Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor
0 Komentar