Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Karut-marut Proses Pilkada

Topswara.com -- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024 secara serentak akan segera berlangsung untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota. 

Dari data KPU, pelaksanaan pemungutan suara pilkada pada tanggal 27 November 2024 dan diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Pilkada merupakan wujud dari demokrasi yang sering berpotensi dalam hal kecurangan.

Carut marut pilkada berpotensi menimbulkan kecurangan seperti politik uang, bansos, dan sebagainya termasuk juga politik dinasti, dan juga, menurut Feri Amsari selaku pakar hukum tata negara menyebut Pilkada kali ini diduga ada rekayasa calon tunggal yang dilakukan dengan memberikan mahar politik kepada seluruh partai dan menguasai partai politik yang berbeda sudut pandang (metronews.com, 14 Agustus 2024) sehingga Demokrasi digunakan hanya sebagai cara untuk meraih kekuasaan (jentera.ac.id). 

Tidak ayal segala macam cara akan dilakukan bahkan bisa menghalalkan cara apapun demi meraih kekuasaan karena konsekuensi mahar atau biaya perpolitikkan yang sangat mahal. 

Maka masuk akal jika parpol bersikap pragmatis ketika memilih kandidat yang mana memiliki jaringan atas pemenuhan kebutuhan pembiayaan mahar politik tersebut. Serta bersahabat dekat dengan oligarki lokal pemilik kekuasaan politik dan ekonomi yang kuat, yang sering kali terkonsentrasi pada segelintir keluarga atau kelompok elite tertentu. 

Idealisme yang dijadikan sebagai tumpuan pun dapat dikalahkan demi mendapatkan kemenangan delusi semata. 

Selaras dengan pernyataan dari Adi Prayitno selaku Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) bahwa prinsip utama politik adalah mendapat keuntungan pribadi dan kelompok sehingga praktik politik yang terjadi kerap brutal dan membabi buta.

Persahabatan dikorbankan. Pertemanan diingkari. Berbohong dan ingkar janji perkara biasa. Demikian pula pemilihan figur semata dengan perhitungan kemenangan bukan pada kapabilitas apalagi integritas calon kepala daerah.

Imbasnya, kepercayaan terhadap parpol dan proses demokrasi yang substantif itu memudar. Atau apakah hal tersebut memang cerminan dari sistem demokrasi? mirisnya, setiap perhelatan pemilu sering terjadinya kecurangan, apabila calon yang telah terpilih sedikit mewujudkan janjinya kepada masyarakat, sulit untuk membawa perubahan yang lebih baik kepada masyarakat. 

Hal ini berbeda dengan mekanisme dalam Islam, karena islam adalah ajaran yang memuat sistem komperehensif yang memiliki cita-cita politik haqiqi: Pertama, mewujudkan pemimpin yang baik dengan syarat: Muslim, laki-laki, berakal (‘aaqil), balig (dewasa), merdeka (bukan budak), adil (bukan fasik), dan mampu. apabila melanggar syariat islam, maka tidak layak mencalonkan menjadi pemimpin.

Kedua, mewujudkan sistem kehidupan yang baik, seperti penerapan atau pengamalan yang telah dicontohkan nabi Muhammad SAW. karena akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an, maka setiap individu menjadi jamaah akan saling mendukung dalam ketaatan dan hanya menghamba kepada Allah SWT, tidak ada yang lain. sehingga akan membentuk kepribadian Islam.  

Karena memegang amanah itu sangat berat, seperti sebuah senjata apabila lalai sedikitpun, maka akan berbalik menghunus. Sebagaimana komitmen dari kholifah Abu Bakar, yaitu: Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. 

Maksudnya ialah berkomitmen terhadap perintah Allah SWT itu yang lebih utama, Allah membenci orang yang berdusta serta diharamkan surga bagi pemimpin melakukan penipuan terhadap rakyatnya. 

Serta lingkungan yang di dalam masyarakat pun lebih kondusif sehingga muncul rasa takut kepada Allah SWT untuk melanggar, niscaya Allah pun akan menurunkan keberkahan dari langit yang tidak pernah disangka oleh manusia.  

Wallahu A'lam Bishawab.


Oleh: Ainnur 
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar