Topswara.com -- Akad nikah itu ringan diucapkan, tetapi konsekuensinya berat. Ketika wali nikah menyatakan, "Aku nikahkan dan kawinkan Engkau dengan putriku dengan mas kawin.. " Kemudian dijawab, "Aku terima nikah dan kawinnya dengan mahar tersebut dibayar tunai." Maka, konsekuensi akad itu mengikat kedua belah pihak.
Saat itu, pernikahan telah menjadi "Mitsaq Ghalidha" (perjanjian yang berat), dengan segala konsekuensinya. Anak perempuan yang telah dilahirkan, dididik dan diasuh selama puluhan tahun itu dilepas, dan diserahkan kepada laki-laki yang bukan sanak kerabatnya. Di sinilah segala macam perasaan berkecamuk di dalam hati orang tua.
Karena itu, Nabi sampai menitipkan wasiat khusus kepada laki-laki saat Haji Wada, "Sebaik-baik laki-laki adalah lelaki yang paling baik kepada keluarganya." Al-Qur'an pun memberikan panduan yang tegas, "Genggamlah mereka dengan cara yang baik, atau lepaskanlah mereka juga dengan cara yang lain. Janganlah kami menahan mereka dengan menyakitinya untuk kamu musuhi." (Q.s. al-Bqarah: 231).
Maka, Nabi mengajarkan cara bagaimana agar bisa merawat cinta, "Engkau hendaknya bermain-main dengannya. Dia pun hendaknya bermain-main denganmu." Karena itu, Imam Ahmad memberi nasihat kepada kaum lelaki, jika ingin keluarganya bahagia.
"Wanita itu suka jika Engkau nyatakan cinta secara terang-tetangan kepadanya." Bahkan, beliau mengatakan, "Jika kamu bakhil (tidak mau menyatakan cinta secara terus terang) kepadanya, maka kamu telah membuat jarak dengannya.
Beliau melanjutkan, "Wanita itu terbuat dari tulang rusuk yang bengkok, maka jangan timpakan kesalahan kepadanya, meski dia bersalah. Apalagi, Engkau biarkan dia dengan kesalahannya sendiri. Maka, bimbinglah dia."
Itulah mengapa, pernikahan ini merupakan perjanjian yang paling berat. Tetapi, jika beban berat itu dipikul dengan kekuatan spiritual, semata karena melaksanakan perintah Allah, maka beban berat itu menjadi ringan.
Oleh: K.H. Hafidz Abdurrahman
Kharin Ma'had Syaraful Haramain
0 Komentar