Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Islam Solusi Tuntas Kekerasan Seksual

Topswara.com -- Realitas pahit membayangi masyarakat saat ini, dengan banyak hal negatif di dunia sekuler yang mempengaruhi anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Salah satunya adalah meningkatnya kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur. 

Di Kabupaten Subang misalnya, kasus pelecehan seksual terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Selama periode Januari hingga Juli 2024, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Subang telah menangani puluhan laporan kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. (tribunjabar.id, 8/8/2024)

Tentu saja, kasus-kasus semacam ini seperti gunung es. Hal ini diperparah dengan pemerintah mengambil langkah yang mengundang perdebatan dengan mengizinkan tenaga kesehatan dan medis untuk melakukan aborsi pada korban pemerkosaan atau kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan. 

Ketentuan tersebut diatur dalam peraturan pelaksana Undang-Undang No 17 Tahun 2023 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berbunyi "Setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana," dikutip dari Pasal 116. (tirto.id, 30/7/2024)

Memang, kebolehan aborsi untuk korban pemerkosaan yang hamil dalam PP 28/2024 dianggap sebagai salah satu solusi untuk korban pemerkosaan. Namun jika kita telaah lebih mendalam, legalisasi aborsi bagi korban pemerkosaan hanya akan menambah beban mereka. 

Selain harus menanggung malu dan trauma karena hamil, jika mereka memutuskan untuk mengaborsi janinnya, mereka juga harus menghadapi beban hukum karena menghilangkan nyawa janin tersebut. 

Kita tentu merasa ngeri membayangkan janin-janin tak berdosa harus kehilangan nyawa mereka. Mereka bahkan belum sempat melihat wajah orang tuanya. Kita juga tidak bisa membayangkan penderitaan yang dirasakan oleh janin-janin tersebut. Tubuh mereka yang begitu kecil dipaksa keluar dengan alat vakum yang menyakitkan, lalu dibuang begitu saja ke saluran pembuangan. Ini benar-benar menyayat hati dan perasaan.

Di sisi lain, adanya kasus pemerkosaan di negeri ini sejatinya juga menunjukkan bahwa negara tidak mampu memberi jaminan keamanan bagi perempuan. Bahkan meski sudah ada UU TPKS. Peraturan tersebut terbukti gagal menangani kasus pemerkosaan. 

Selain itu, penting bagi negara untuk memahami latar belakang maraknya kasus pemerkosaan agar dapat menemukan solusi mendasar untuk mengatasinya. Komnas Perempuan mencatat beberapa kasus yang paling sering terjadi di antaranya adalah penyebaran konten pornografi, peretasan dan pemalsuan akun, serta pendekatan untuk memperdaya korban. 

Yang lebih menakutkan, kasus pemerkosaan di era digital sering kali bermula dari media sosial. Kekerasan berbasis gender, termasuk pemerkosaan perempuan, makin berbahaya seiring dengan kemajuan teknologi dan makin terbukanya orang-orang dalam memamerkan diri mereka. 

Di sisi lain, saat ini diperkirakan ada sekitar 2,5 juta kasus aborsi atau pengguguran kandungan per tahun di Indonesia, dengan pelaku yang terdiri dari perempuan remaja hingga orang dewasa. Sungguh miris!

Maraknya jumlah kasus aborsi mencerminkan buruknya kondisi kehidupan kita saat ini. Sistem sekuler liberal yang diterapkan negara ini berakibat pada makin banyaknya para remaja yang berduaan secara terbuka tanpa ada yang memperingatkan mereka. 

Mereka berinteraksi seperti pasangan suami istri, yang seringkali berakhir dengan kehamilan yang tidak direncanakan. Dalam situasi seperti itu, hanya ada dua kemungkinan: aborsi atau pembuangan. 

Selain itu, sistem pergaulan antara pria dan wanita sangat bebas. Pornografi dan konten porno tersebar di mana-mana, aurat ditampilkan tanpa batas, dan dorongan seksual mudah ditemukan di media. Alhasil, sistem pergaulan ini akhirnya berdampak pada hilangnya nyawa.

Hal ini jelas sangat bertentangan dengan sistem Islam. Dalam Islam, hilangnya satu nyawa manusia merupakan urusan yang sangat berat timbangannya. Rasulullah saw. bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasai 3987, Tirmidzi 1455).

Islam sangat memprioritaskan perlindungan nyawa manusia. Tidak ada yang boleh mengambil nyawa orang lain tanpa hak atau izin syar’i. Dengan prinsip ini, diharapkan orang tidak akan mudah menyakiti orang lain. Jika ada yang melanggar, negara akan memberikan sanksi yang tegas.

Sementara itu, terkait aborsi, para ulama sepakat bahwa aborsi yang dilakukan setelah ruh ditiupkan (120 hari) adalah haram. Pelaku aborsi akan dikenai sanksi berupa membayar diat. Namun, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kewajiban membayar kafarat. 

Sebagian ulama berpendapat bahwa selain membayar diat, pelaku aborsi juga harus membayar kafarat dengan membebaskan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut.

Islam sebagai satu sistem kehidupan yang sangat lengkap memiliki solusi untuk kasus pelecehan seksual ini dengan melibatkan berbagai langkah preventif yaitu pertama, setiap individu akan dibekali dengan akidah Islam. 

Proses penanaman akidah ini akan dilakukan di lingkungan rumah dan didukung oleh pendidikan Islam yang diberikan oleh negara. Dengan cara ini, keimanan akan tertanam dengan kuat dalam diri setiap individu, membuat mereka selalu merasa takut kepada Sang Pencipta dan enggan untuk melakukan maksiat kepada Allah SWT.

Kedua, negara akan menerapkan sistem pergaulan Islam, baik di sekolah maupun dalam kehidupan sosial masyarakat. Masyarakat perlu memahami bahwa hukum dasar interaksi antara laki-laki dan perempuan adalah terpisah dan mereka hanya boleh bertemu untuk keperluan syar’i. Zina, khalwat, dan ikhtilat akan dilarang. 

Kewajiban menutup aurat akan ditegakkan, dan laki-laki serta perempuan diharuskan untuk menundukkan pandangan mereka. Ini adalah cara Islam mengatur interaksi di masyarakat, di mana saling peduli juga akan menciptakan kontrol sosial.

Ketiga, Islam memiliki sistem kontrol sosial yang meliputi amar makruf nahi mungkar, yaitu memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, serta saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan. Semua ini dilakukan dengan cara yang baik.

Keempat, Islam menerapkan sistem sanksi yang tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Misalnya, pelaku pemerkosaan akan dikenakan hukuman had zina, yaitu rajam (dilempari batu) hingga mati jika pelaku sudah menikah (muhshan), atau cambuk 100 kali dan pengasingan selama setahun jika pelaku belum menikah (ghairu muhshan)

Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera (zawajir) kepada pelaku serta berfungsi sebagai penghapus dosa (jawabir) ketika tiba waktunya di Yaumil Hisab nanti.

Demikianlah upaya preventif Islam untuk mencegah kekerasan seksual serta sanksi bagi pelakunya. Hukum Islam tidak hanya mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan, tetapi juga menciptakan sistem sosial dan pergaulan yang sehat dan aman bagi masyarakat.

Sungguh, semua ini menunjukkan bahwa aborsi jelas bukanlah solusi bagi korban pemerkosaan. Namun, penyelesaian masalah ini harus dilakukan secara sistematis, dari akar hingga ke cabangnya. 

Solusi yang efektif memerlukan perubahan pola hidup di masyarakat melalui penerapan sistem Islam secara menyeluruh berdasarkan manhaj kenabian, bukan sekularisme yang mengabaikan aturan Allah SWT. dalam kehidupan.

Wallahu a’lam bii Ash-Shawab.


Oleh: Nurul Aini Najibah
Aktivis Dakwah dan Pegiat Literasi
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar