Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dunia Pendidikan Butuh Pemimpin yang Amanah

Topswara.com -- Siapapun orangnya tentu mempunyai keinginan dan harapan, apalagi bagi pelajar yang masih duduk di bangku pendidikan pasti memiliki sebuah cita-cita. Hal tersebut akan diupayakan dengan semangat bersungguh-sungguh dalam belajar. Namun terkadang apa yang dicita-citakan terhalang kendala biaya. 

Lain halnya dengan Fiki Sa'adatul Fatimah (20). Gadis cantik jebolan MAN 1 Ciparay asal Kecamatan Baleendah. Melalui program terobosan dari Bupati Bandung, Dadang Supriatna berupa BESTI (Beasiswa ti Bupati) akhirnya bisa berkuliah di Universitas Aisyiyah Bandung dengan mengambil jurusan Keperawatan. Ketika diwawancarai, Fiki sangat senang bisa melanjutkan pendidikannya dan sangat berterima kasih kepada Pak Bupati. (TribunJabar.id, 25/7/2024)

Sebagai masyarakat tentunya sangat mengapresiasi sekali atas beasiswa yang diberikan oleh Bupati. Tentunya program ini menjadi harapan juga bagi para orang tua, agar anak-anak mereka bisa melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.

Namun demikian, dalam hal pendidikan bukan sekadar beasiswa saja yang dibutuhkan masyarakat, namun lebih kompleks dari itu. Hal tersebut berupa kemudahan dijangkau oleh semua lapisan masyarakat, dari pendidikan terbawah hingga level universitas. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1 dan Ayat 2, yaitu "mencerdaskan bangsa".

Namun faktanya, banyak di sekitar kita ditemukan kasus-kasus anak yang putus sekolah, disebabkan ketidakmampuan orang tua dalam persoalan ekonomi. Hal itu mengakibatkan mereka tidak sanggup menyekolahkan putra putrinya. Begitupun dengan universitas yang sulit dijangkau, dan masih banyak juga kasus generasi yang tidak tamat sekolahnya. 

Di samping perihal kemudahan bagi setiap orang untuk mendapat layanan pendidikan, negara pun harus memperhatikan sarana prasarana hingga pendukung urusan pendidikan, akses jalan salah satunya. Faktanya betapa mirisnya, di sebagian wilayah masih kerap dijumpai jalanan rusak, apalagi di pelosok. Seperti jalan depan pasar di Cicalengka Kabupaten Bandung yang rusak berat. 

Di sana kondisi jalan rusak dibiarkan berbulan-bulan hingga hampir satu tahun tidak kunjung diperbaiki oleh pihak terkait. Meski ada di beberapa wilayah dikeluhkan oleh warga, tentang akses jalanan rusak, bahkan ada pula yang sengaja mengekspose ke media, namun tidak kunjung mendapat perhatian dari pemerintah setempat sebagaimana mestinya. 

Maka hal ini menjadikan masyarakat berpikir, jika menginginkan urusan beres, tunggu sampai mendekati pemilu atau pilkada. 

Bukankah seharusnya pengurusan kepada masyarakat itu bersifat berkesinambungan, bukan hanya sekadar momen-momen tertentu saja? Semisal ketika musim pilkada, pilgub, dan yang lainnya. 

Tidak heran jika muncul beragam pandangan yang narasinya sama, betapa yang dijadikan program hanya untuk politik pencitraan saja, untuk meraih dukungan masyarakat agar terpilih kembali. Sungguh sangat disayangkan.

Inilah konsep sistem demokrasi kapitalisme. Urusan rakyat tidak terkecuali pendidikan dipandang dengan prinsip kapitalistik. Pemerintah setengah hati mengurus pendidikan. 

Negara menyelenggarakan pendidikan dengan dukungan standar sebagai pengganti istilah ala kadarnya. Dan bagi masyarakat yg ingin mendapatkan apat akses lebih baik dipersilakan melalui jalur sekolah swasta. Pendidikan ibarat barang dagangan.

Lebih miris lagi dengan urusan pendidikan tinggi. kata-kata yang diungkapkan Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek Tjitjik Sri Tjahjani yang menyebut pendidikan tinggi sebagai pendidikan tersier, sehingga tidak wajib. 

Dari pernyataan tersebut akhirnya Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menyentil Tjitjik, betapa yang demikian kian menebalkan persepsi jika pendidikan tinggi itu bersifat elitis dan hanya untuk kalangan tertentu saja. Mereka yang punya uang! (Kompas.com, 17/05/2024) 

Di sisi lain sistem demokrasi yang hanya 5 tahun sekali masa jabatannya, dianggap sulit bagi pemimpin untuk menyelesaikan seluruh problem yang ada. Masih dirasa kurang cukup waktu untuk memperbaiki kondisi agar lebih baik. 

Terlebih dengan asas sekuler, bermunculan penguasa yang hanya memikirkan kecintaan terhadap dunia. Jabatan yang dipegang dipandang sebagai prestise yang terus dikejar dan dipertahankan. 

Maka politik pencitraan dengan melakukan agenda-agenda populis, seperti memberi hak-hak rakyat justru di akhir-akhir masa jabatan dipandang unsur penting yang wajib dilakukan.

Berbeda dengan sistem Islam, seorang penguasa menyadari peran utamanya adalah sebagai pengurus terhadap kebutuhan masyarakat. Bukan untuk urusan tertentu saja, namun secara keseluruhan. Mereka pun sadar dan yakin betapa kelak di yaumil akhir akan dimintai pertanggungjawaban dengan apa yang diurusnya. 

Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW. yang artinya: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Muslim).

Syariat Islam membedakan kebutuhan pokok masyarakat menjadi dua bagian.
Pertama: adalah kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh individu berupa sandang (pakaian), pangan (makanan, minuman) dan papan (tempat tinggal). 

Dalam pemenuhan individu negara pun diminta perannya untuk hadir, dengan cara membuka luas lapangan pekerjaan bagi para laki-laki dewasa, agar dapat menjalankan tugasnya memenuhi kebutuhan keluarganya.

Kedua: kebutuhan publik yang wajib dipenuhi secara langsung oleh negara. Seperti kebutuhan berupa keamanan, kesehatan, juga pendidikan. Negara harus mengupayakan agar tercipta keamanan dan ketertiban hidup di masyarakat, serta wajib memastikan semua warga negaranya memperoleh kesehatan dan pendidikan dengan baik. 

Adapun urusan pendidikan, Islam memandangnya sebagai pilar utama dalam melahirkan generasi penerus peradaban. Dalam Islam yang dibangun atas dasar akidah, tercermin dalam arah pendidikan dan penyusunan kurikulumnya. 

Tujuan pendidikan jelas yaitu membentuk kepribadian Islam, serta membina generasi agar menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Di sisi lain, perkara masa kepemimpinan daerah. Mereka dipilih oleh khalifah, dimana tidak ada batas waktu untuk memberikan pengurusannya kepada rakyat di wilayahnya. Selama mereka masih menjalankan amanah sebagai pemimpin dengan membawa syariat. 

Dalam Islam, jabatan merupakan sebuah amanah agung, ketika seorang pemimpin mampu menjalankan roda kepemimpinannya dengan baik baik. 

Bukan sebaliknya, sesuatu yang akan dikejar tanpa melihat halal dan haram, apalagi demi pencitraan untuk mendapat dukungan. Mereka sadar sesadar-sadarnya akan menjalani kehinaan dan penyesalan yang amat pedih di yaumil akhir, jika jabatan tak diampu dengan penuh amanah.

"Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanah, kehinaan, dan penyesalan pada hari kiamat. Kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan kesungguhan dalam menunaikan apa yang menjadi kewajibannya dengan baik." (HR. Ahmad) 

Kepala daerah pun akan selalu mendapat support system yang baik dari negara atau pusat, dari sisi kebijakan dan anggaran. Maka ia akan dapat leluasa meriayah (mengurusi) semua urusan warganya, tanpa terikat dengan waktu dan anggaran. 

Dengan demikian jika berharap akan keadilan, hanya bisa terwujud dengan sistem Islam. Sistem yang mampu menyelesaikan segala problema kehidupan, mulai dari kepemimpinan, pendidikan yang bermutu, dan kesejahteraan masyarakat. Sudah saatnya kaum muslimin menyadari, bahwa hanya hukum Allah yang layak diterapkan untuk mengatur segala urusan kehidupan. 

Wallahualam bissawab.


Oleh: Khatimah 
Penulis Cemerlang
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar