Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dilema Perempuan: Tren Joanna versus Cinderela

Topswara.com -- Ada dua istilah yang sedang rame disandingkan oleh warganet, yaitu tren Joanna versus tren Cinderela. Tren Joanna merujuk pada postingan video yang menggambarkan kesuksesan seseorang di usia muda, hingga semua wishlist dapat dibeli dengan uang sendiri. Termasuk bisa naik pesawat dan jalan-jalan ke luar negeri. 

Orang yang mengejar tren Joanna, berarti memilih untuk tidak buru-buru menikah muda, sebelum semua impiannya terwujud. Lantas kenapa disebut tren Joana? Karena, konten yang menggambarkan kesuksesan itu, menggunakan backsound musik DJ Joanna. 

Bertolak belakang dengan tren Joanna, ada tren Cinderela yang diunggah oleh mereka yang sudah menikah. Menggunakan backsound musik lagu lawas yang dinyanyikan grup band Radja, berjudul Cinderela, videonya pun mengikuti setiap lirik dari lagu itu. Saat lirik 'Cinderela pun tiba dengan kereta kencana’, pada saat yang sama, gambarnya berupa mempelai perempuan yang berjalan menuju mempelai pria atau menuju pelaminan.

Dari berbagi komentar warganet, kedua fenomena tadi menyiratkan dua hal yang berbeda. Satu kubu memilih mengejar kesuksesan dulu sebelum menikah, sampai benar-benar puas dengan masa mudanya. Kubu lainnya memilih menikah tanpa harus menunggu segalanya mapan. Mereka pun menunjukkan, bahwa setelah menikah toh bisa sukses.

Fenomena di atas meneguhkan kembali adanya dua paradigma berpikir yang bertolak belakang. Tren Joanna menggambarkan sosok perempuan modern yang mandiri dan tidak bergantung pada laki-laki untuk mewujudkan impian dan kebahagiaannya. Sementara tren Cinderela menggambarkan sosok perempuan tradisional yang cukup menggantungkan kebahagiaannya pada laki-laki yang menikahinya.

Peran Tradisional vs Modern

Tren Joanna, sejalan dengan paradigma tentang independent woman atau kemandirian perempuan yang beberapa dekade ini terus didengungkan. Arus pemberdayaan perempuan, mengarah pada bangkitnya kaum perempuan untuk memperjuangkan kemandirian ekonomi dan kebahagiaannya sendiri. 

Gambaran perempuan seperti ini dianggap yang paling cocok dengan situasi kehidupan modern saat ini. Perempuan yang kaya, sukses, bebas berkiprah dan melanglang buana sesuai kehendaknya. Perempuan yang punya bargaining position, dan tidak mau disetir oleh siapapun. Termasuk, tidak tergantung secara ekonomi kepada laki-laki.

Sebaliknya, tren Cinderela menggambarkan sosok perempuan tradisional yang menikah dan menjadi ibu rumah tangga saja. Tidak apa-apa tidak mandiri dan bergantung ekonomi kepada suami, toh memang sudah kodratnya. 

Seorang gadis polos yang pandai mengerjakan urusan domestik, bisa sejahtera dan bahagia setelah dipersunting sang pangeran, pujaan hatinya. Ya, menikah adalah jalan bahagianya. Suamilah yang menyejahterakannya, tidak perlu dia sendiri yang memperjuangkan ekonomi.

Ironi Pascanikah

Sayangnya, realita saat ini, kehidupan perempuan pascanikah, tidak seindah dongeng Cinderela. Hadirnya sang pangeran tak otomatis membuat bahagia. Pernikahan di alam modern penuh dengan persoalan pelik. Baik terkait dengan relasi suami-istri, maupun masalah kesejahteraan. Terbukti dengan tingginya angka perceraian dan beragamnya masalah pernikahan.

Sepanjang sejarah institusi pernikahan ada, barangkali abad inilah rekor terjadinya kehancuran institusi pernikahan secara masif. Bayangkan saja, BPS menyebut rata-rata setiap tahun ada 500 ribu lebih pasangan yang bercerai. Ironisnya, 70 persen dipicu oleh gugat istri. Artinya, ada ketidak-puasan istri dalam menjalani pernikahan. Ada kekecewaan dan ketidak-bahagiaan, di mana harapan tidak sesuai kenyataan.

Kenapa hal itu terjadi? Hal ini tidak lepas dari karut-marutnya institusi pernikahan di alam sekuler. Problem kemiskinan, perselingkuhan, kecanduan judi online atau game, serta kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) telah berkontribusi besar atas hancurnya pernikahan. Sulit para istri untuk bahagia dan sejahtera, ketika para suami tak mampu menjadi pemimpin dan memenuhi tanggung jawabnya akan nafkah.

Sementara itu, negara juga tidak ikut andil memudahkan keluarga dalam memenuhi kebutuhannya. Misalnya, sektor pendidikan dan kesehatan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, dibebankan di pundak para suami. Jelas saja banyak “pangeran” yang tidak berdaya untuk menyejahterakan “Cinderela”-nya.

Inilah dilema kaum perempuan: hidup sendiri tapi mandiri ekonomi, ataukah menikah tetapi siap-siap mengalami kekurangan ekonomi. Seolah tidak ada pilihan ideal: menikah tapi sejahtera dan bahagia. Menikah, tapi tak perlu lagi menjadi Joanna, cukup menjadi Cinderela. Apakah begitu sulit untuk mewujudkan impian kaum Cinderela? Haruskah perempuan sendiri yang memperjuangkan itu semua?

Salah Paradigma

Sulitnya mewujudkan kebahagiaan ala Cinderela, hingga banyak perempuan muda yang memilih mengejar tren Joanna, tak lepas dari kesalahan berpikir ala ideologi sekuler kapitalisme. Mereka mengajarkan pada perempuan untuk mandiri secara ekonomi. Menolak untuk tergantung pada laki-laki. Mendorong perempuan menyelesaikan masalahnya sendiri. Bangkit, berdiri, berlari mengejar mimpi.

Secara individual, tampaknya tidak ada yang salah. Tampak menjanjikan kebahagiaan. Tetapi, jika didudukkan dengan kodrat penciptaan perempuan, serta hakikat kehidupan sosial dan pernikahan, kemandirian perempuan adalah ilusi. 

Perempuan mandiri di peradaban sekuler kapitalis, terjebak pada fatamorgana. Mereka mengejar kebahagiaan semu yang menutupi suara batinnya yang menjerit meminta pertolongan. Mereka hanya pura-pura bahagia, tetapi hati kecilnya menangis. 

Bagi yang masih lajang, menjadi “Joanna” memang menyenangkan. Punya kebebasan membahagiakan diri sendiri dengan materi yang dimiliki. Namun, jujur dengarkan kata hati. Jauh di lubuk hati terdalam para “Joanna”, ada bisikan lembut akan keinginan untuk hidup berpasangan. Keinginan untuk dinafkahi. Kecemasan akan kesendirian. Kegalauan akan kesepian. Hati kecil menjerit, kapan bisa menikah dan bahagia? Kapan ada pangeran mempersunting dirinya?

Sementara itu, bagi para istri yang terpaksa dan dipaksa menjadi “Joanna” alias ikut mencari uang, mereka terjebak dalam siklus dilema. Tidak ikut mencari uang, ekonomi keluarga berantakan. Tetapi ikut mencari uang, capek luar biasa. Siang bekerja di ruang publik dan malam di ruang domestik, membuat mereka lelah fisik dan mental.

Jujur, mereka capek lahir batin, akibat menanggung beban yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya. Mereka dilanda perasaan bersalah, karena tidak bisa membersamai tumbuh kembang buah hatinya. Lantas bagaimana perempuan bisa bahagia?

Kebahagiaan Hakiki Perempuan

Seolah berlawanan dengan tren Joanna, pada saat yang sama viral konten yang berisi ungkapan perempuan mandiri yang berbunyi: “Kalau bisa diurus mendingan gue diurus. Apa itu independent woman, aarggh … Urus gue please. Capek gue capek. Capek mandiri ya Allah. Urus gue please.” 

Banyak yang membagikan konten ini dan berkomentar, hal itu relate dengan suasana batinnya. Artinya, para perempuan mandiri yang sudah sukses menjadi “Joanna,” ternyata ujung-ujungnya mereka mendambakan untuk menjadi “Cinderela.” 

Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Di era tahun 80-an, pernah populer istilah Cinderella Complex yang merujuk pada pertentangan batin wanita mandiri yang ujung-ujungnya ingin diselamatkan oleh laki-laki, yaitu pasangan hidupnya. Artinya, panggilan batin perempuan adalah mengabdi pada suami, menjadi ibu rumah tangga dan mengurus rumah. Itulah kebahagiaan hakiki perempuan. 

Istilah ini pertama kali dicetuskan oleh Colette Dowling, dalam bukunya The Cinderella Complex: Women’s Hidden Fear of Independence. Menurut Dowling, perempuan independent sebenarnya takut dengan kemandirian itu sendiri. Mereka lelah secara psikis dan sangat ingin diselamatkan. 

Mereka sadar, nyaris tidak sanggup untuk hidup mandiri. Inilah kebahagiaan semu perempuan mandiri. Mereka tampaknya bahagia, padahal alam bawah sadarnya ingin dilindungi dan membutuhkan seorang pria sebagai tameng dalam kehidupannya.

Sejauh apapun kakinya melangkah ke berbagai ujung bumi, hati kecilnya ingin menetap dan membangun rumah tangga. Mengasuh dan merawat anak. Dimanja dan diperhatikan suaminya. 

Sekaya apapun ia, hati kecilnya ingin dinafkahi, diberi hadiah dan dimanjakan secara materi. Suara batin ini sejatinya diakomodasi dalam Islam. Sebab, memang hanya Allah yang Maha Tahu kebutuhan perempuan. 

Sungguh, Islam mendudukkan perempuan pada posisi mulia dengan menjadikannya sebagai partner hidup kaum laki-laki. Keduanya hidup bersama dalam pernikahan dalam hubungan romantis yang penuh persahabatan. 

Allah tidak menuntut agar perempuan menjadi “Joanna”. Bahkan, perempuan dalam Islam dijamin secara ekonomi oleh wali dan suaminya ketika menikah. Tidak ada tuntutan untuk mandiri secara ekonomi. Karena itu, wajar jika mengejar tren “Joanna” hanya akan melelahkan batinnya. 

Namun, bukan berarti perempuan harus menderita dan tak berdaya seperti Cinderela. Islam menempatkan perempuan dengan peran utama sebagai ummu warobbatul bayt, ibu dan pengatur rumah tangga. Itu bukanlah peran seperti upik abu yang tidak membutuhkan kecerdasan dan kecakapan. Itu adalah peran mulia, karena menyiapkan lahirnya generasi penerus manusia. 

Oleh karena itu, selagi masih lajang, jangan sibuk mengejar “Joanna” secara materi, tapi kejarlah ilmu, skill, wawasan dan tsaqofah Islam. Kelak ketika menjadi “Cinderela”, siap mental menghadapi segala suasana pascanikah.

Jadi, jangan mudah terpukau dengan tren Joanna, tetapi juga jangan terlalu halu bahwa menjadi Cinderela akan selalu bahagia selamanya. Kebahagiaan hakiki itu, ketika berjalan dalam koridor Islam, di bawah naungan peradaban Islam.


Oleh: Kholda Najiyah 
Founder Salehah Institute 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar