Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tepatkah Jadikan Pajak Instrumen Penting Wujudkan Pembangunan Negara?

Topswara.com -- Baru-baru ini, Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati menjadi sorotan publik tatkala memamerkan kinerjanya pada Hari Pajak Nasional tanggal 14 Juli 2024. 

Menurutnya, pajak merupakan tulang punggung, sekaligus instrumen penting bagi suatu negara untuk mencapai cita-citanya (CNN Indonesia, 14/7/24). Dalam pidato yang disampaikan, ia mengapresiasi kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang telah menaikkan penerimaan pajak negara sebanyak 5x lipat sejak awal tahun 1983. Berawal dari angka Rp13 triliun, kini menyentuh angka Rp400 triliun. Sungguh angka yang sangat fantastis. 

Lebih mencengangkannya lagi, dalam Undang-undang Nomor 7 Pasal 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menyebutkan bahwa akan diberlakukan kenaikan nilai PPN sebesar 12 persen mulai 1 Januari 2025. 

Mengatasi isu yang memanas di masyarakat, Menkeu Sri Mulyani mengatakan bahwa peraturan tersebut berpotensi untuk diubah kembali, menyesuaikan dengan kebijakan pemerintahan periode ini (CNBC Indonesia, 20/3/24). 

Meskipun begitu, fenomena ini tidaklah lagi ideal. Harga beli yang melonjak tinggi karena nilai pajak yang semakin besar, akan menurunkan demand di masyarakat, sehingga penjualan dari sektor bisnis akan terganggu. 

Bukan hanya daya beli masyarakat yang akan mengalami kemunduran, tetapi juga aktivitas bisnis akan merosot drastis akibat penjualannya yang menurun. 

Lalu, apakah pernyataan Menkeu Sri Mulyani terkait pajak merupakan instrumen penting untuk mewujudkan cita-cita negara relevan dengan fakta pada lapangan? 

Nyatanya, hanya kebohongan besar. Pajak kian naik dari tahun ke tahun hanya semakin mencekik masyarakat, khusunya kalangan menengah ke bawah. 

Makin ke bawah, pemberlakuan pajak makin ketat. Semua hal dikenai pajak oleh pemerintah. Sebaliknya, makin tinggi kalangan masyarakat, makin mudah mendapat kelonggaran pajak. 

Tingkat kenaikan pajak berbanding lurus dengan tingkat terjadinya korupsi di Indonesia. Justru, tingkat kesejahteraan masyarakat berbanding terbalik dengan tingkat kenaikan pajak. 

Inilah buah dari sistem kapitalisme. Masyarakat secara umum tidak lagi merasakan manfaat dari pajak. Pajak ini hanya kedok yang dilakukan oleh pemerintah untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya lewat masyarakat. 

Peningkatan penerimaan pajak yang dibanggakan Menkeu sejatinya menunjukkan peningkatan pungutan atas rakyat. Hal ini lumrah karena dalam sistem kapitalisme, pajak adalah sumber terbesar pendapatan negara untuk membiayai pembangunan.

Besarnya pungutan pajak atas rakyat sejatinya adalah bentuk kezaliman dan membuktikan bahwa negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat dan penjamin kesejahteraan rakyat. 

Negara hanya sebagai fasilitator dan regulator dalam menentukan tata Kelola urusan negara. Dalam sistem Islam, ada banyak sumber penerimaan negara. 

Pemasukkan tersebut kemudian dikelola oleh negara melalui baitul mal agar setiap pemasukan maupun aset-aset negara berguna secara optimal untuk kepentingan rakyat dan negara. Negara Islam dengan fungsi ra'in akan menjamin kesejahteraan rakyat dengan pengelolaaan sumber pemasukan sesuai dengan tuntunan Islam. 

Tidak akan ada pemungutan biaya tambahan mengatasnamakan “negara” untuk memenuhi kebutuhan mereka. Malah, negara akan mencukupi segala kebutuhan mendasar rakyat sehingga tidak ada lagi masyarakat yang merasa tercekik dengan kebijakan yang diberlakukan oleh sistem pemerintahan Islam.


Oleh: Nabila A.S.
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar