Topswara.com -- Hampir semua negara di dunia ini mempunyai mata uang yang berbeda-beda. Ada yang pake rupiah, dolar, yuan, peso, euro, reyal dan lain sebagainya.
Nilai mata uang suatu negara mencerminkan kondisi ekonomi negara tersebut. Semakin maju suatu negara maka nilai mata uangnya semakin meningkat dan sebaliknya semakin miskin negara tersebut, maka nilai mata uangnya semakin melemah.
Sementara, mata uang dolar Amerika Serikat dijadikan sebagai acuan standar semua mata uang di dunia. Mirisnya, akhir-akhir ini nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS semakin melemah, turun 0,46 persen menjadi Rp. 16.396 per dolar AS pada selasa (02/07/2024) dikutip dari kontan.co.id. Bahkan semakin ngenes, saat ini rupiah masuk nominasi 10 mata uang terendah di dunia.
Daya Beli Menurun
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar berdampak terhadap inflasi yaitu naiknya harga barang-barang yang bahan baku produksinya dari impor. Apalagi Indonesia termasuk negara yang bergantung terhadap barang-baran impor, termasuk minyak dunia dan bahan baku industri. Makin melemah rupiah, nilai mata uang yang dibayarkan untuk barang-barang impor semakin tinggi pula.
Meningkatnya harga bahan baku barang-barang impor dan minyak menyebabkan kenaikan biaya produksi, transportasi, dan diikuti harga jual barang siap konsumsi makin melangit.
Sementara pendapatan masyarakat relatif tetap, dengan mahalnya barang-barang tersebut menyebabkan daya beli masyarakat relatif menurun. Bertambah beratnya beban ekonomi rakyat, berpotensi mengganggu bisnis riil masyarakat.
Jika hal ini terjadi terus menerus akan terjadi krisis ekonomi, kegiatan ekonomi bisa mandek. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi akan melambat. Dampaknya banyak perusahaan-perusahaan yang gulung tikar, gelombang PHK, banyak rakyat miskin dan kelaparan, sehingga timbul kasus kriminalitas dimana-mana.
Ekonomi Kapitalisme
Melemahnya rupiah disebabkan negara menganut sistem ekonomi kapitalisme, dimana uang kertas dijadikan acuan nilai tukar mata uang. Mirisnya dunia saat ini sedang dalam genggaman imperialisme AS sebagai pemegang kendali utama penentu kebijakan, sehingga mata uang dolar AS akan terus perkasa karena dijadikan standar utama mata uang Internasional.
Sistem ekonomi kapitalis juga melakukan investasi perdagangan sektor non ri’il melalui pasar modal dengan membeli saham-saham, bermain valuta asing (valas), maupun disektor uang crypto (bitcoin). Keuntungan dari perdagangan sektor non ri’il ini adalah riba, karena uang dijadikan komoditas yang diperdagangkan.
Negara juga membuka kran impor seluas-luasnya dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) diserahkan pihak asing atau cooporate. untuk Negara hanya sebagai regulator dan fasilitator pembuat undang-undang dan kebijakan untuk memuluskan cooporate, tanpa memperdulikan nasib rakyat yang semakin terlilit.
Ekonomi Islam
Hanya sistem ekonomi Islam yang dapat mewujudkan kemandirian keuangan negara, sebagaimana dicontohkan Rasulullah dan dilanjutkan para sahabat dengan sistem baitulmal. Pemasukkan baitulmal berasal dari kepemilikan umum (tambang, hutan dan laut). Dimana kepemilikan umum ini akan dikelola negara dan dikembalikan untuk kebutuhan dan kesejahteraan seluruh rakyatnya. Selain itu pemasukan baitulmal juga berasal dari pengelolaan zakat mal dan kharaj (pungutan pajak tanah yang dibebankan atas tanah non-Muslim).
Sistem ekonomi Islam berbasis sektor ri’il, dari sektor peternakan, industri, pertanian, perdagangan dan jasa. Sistem ekonomi ini menghapus segala bentuk riba dan turunannya.
Ekonomi Islam akan menggunakan mata uang emas dan perak (dinar dirham) sebagai acuan nilai tukar terhadap barang, Tidak akan ada lagi rupiah yang melemah, karena emas sebagai solusi hakiki, bebas inflasi maupun krisis moneter.
Demikianlah jika sistem Islam yang bersumber dari Allah SWT, sesuai dengan fitrah manusia diterapkan dalam kehidupan akan terwujud kemandirian, kesejahteraan, keberkahan dan kemaslahatan di dunia maupun di akhirat.
Oleh: Yesi Wahyu I.
Aktivis Muslimah
0 Komentar