Topswara.com -- Sungguh miris nasib para petani di negeri agraris. Betapa tidak, demi mendapatkan pupuk subsidi mereka harus menempuh puluhan kilometer. Petani di Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) harus menempuh jarak sekitar 80 Km untuk mendapatkan pupuk subsidi.
Hal itu terungkap dalam temuan tim satgasus (satuan tugas khusus) pencegahan korupsi Polri, saat memantau penyaluran pupuk subsidi di NTT pada 18 hingga 22 Juni 2024. (beritasatu.com, 23 Juni 2024)
Sulitnya mengakses pupuk subsidi juga dialami oleh para petani di Kecamatan Soko Kabupaten Tuban. Para petani di daerah tersebut terpaksa membeli pupuk urea bersubsidi dengan harga Rp270.000 per sak kemasan 50 kg.
Padahal jika mengacu pada aturan Permentan (Peraturan Menteri Pertanian) di No 69/SR.310/12/2015, pemerintah menetapkan HET (Harga Eceran Tertinggi) pupuk bersubsidi tahun 2016 untuk urea Rp1800 per kg atau Rp90.000 per 50 kg.
Dengan demikian terlihat jelas perbandingan harga pupuk bersubsidi di lapangan jauh melambung dari harga pupuk bersubsidi yang ditetapkan.
Sebenarnya ketimpangan itu telah menjadi perhatian warga. Mereka mengetahui ada bisnis pupuk bersubsidi di toko-toko pertanian. Namun hingga saat ini tidak ada tindakan tegas dari dinas terkait maupun aparat penegak hukum. Kisruh pupuk bersubsidi bukan persoalan baru, tapi sudah lama terjadi dan tidak pernah selesai.
Sebenarnya menjamin distribusi pupuk bersubsidi ke tempat sasaran dan sesuai kebutuhan bukan hal yang sulit diwujudkan, asalkan paradigma kepemimpinannya benar. Dimana keberadaan pejabat terkait beserta jajarannya wajib memiliki jiwa pengurus.
Selain itu, bidang pertanian mestinya benar-benar dianggap sebagai sektor strategis, bukan bisnis. Dengan demikian manajemen pertanian pun akan mudah, cepat, tepat sasaran dari hulu hingga hilir.
Sayang semua hal tersebut tidak terwujud dalam sistem kehidupan saat ini. Sistem kehidupan kapitalisme meniscayakan kapitalisasi kebutuhan masyarakat. Kapitalisasi tersebut muncul karena asas aturannya dibangun berdasarkan orientasi materi.
Dimana untung rugi menjadi prinsip setiap kebijakan yang ada. Para pemilik modal menjadi penguasa sebenarnya, sementara negara hanya berperan sebagai regulator kebijakan.
Oleh karena itu, tidak heran sekalipun petani selalu mengeluh terkait akses pupuk subsidi, para penguasa hanya menyediakan telinga untuk mendengar tanpa solusi yang pasti. Kapitalisasi pupuk tetap berjalan memegang kendali.
Pengadaan dan distribusinya pun tetap di tangan perusahaan yang notabene adalah para kapitalis. Negara hanya membuat serangkaian juknis penyaluran pupuk dari perusahaan ke petani.
Di sinilah kapitalisasi pupuk bermula. Terlebih adanya para mafia pertanian yang menyerobot jatah pupuk kemudian menjualnya kembali kepada para petani dengan harga tinggi. Akibatnya petani tidak dapat menjangkaunya.
Mirisnya lagi, ternyata pemerintah tercatat memiliki utang subsidi pupuk kepada PT pupuk Indonesia Persero sebesar Rp12,5 Triliun. Direktur utama PT pupuk Indonesia Rahmat Pribadi, menyebut utang tersebut terdiri atas tagihan berjalan April 2024 sekitar Rp2 Triliun dan sisanya merupakan tagihan subsidi pupuk pada 2020 dan 2023 yang belum dibayarkan pemerintah.
Demikian ironi penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Dimana sistem ketatanegaraannya dibangun dengan paradigma bisnis. Akhirnya negara harus memiliki utang pada perusahaan yang sejatinya adalah BUMN sendiri, hingga mengakibatkan akses pupuk semakin sulit didapatkan.
Lebih jauh lagi cita-cita terwujudnya kedaulatan pangan dan juga ketahanan pangan semakin mustahil terwujud. Sistem kapitalisme terbukti hanya bisa menzalimi rakyat termasuk petani.
Para penguasa dalam sistem kapitalisme adalah orang-orang yang berjiwa pebisnis sehingga setengah hati terhadap urusan rakyatnya. Hal ini berbeda dengan penguasa dalam sistem Islam. Mereka adalah orang-orang berjiwa pengurus.
Dengan sistem Islam yang menerapkan syariat dalam seluruh aspek kehidupan, secara praktis akan melahirkan penguasa-penguasa yang berjiwa pengurus. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.
"Pemimpin (imam) adalah raa'in (pengurus), Ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang dipimpinnya." (HR. Bukhari)
Islam memandang bidang pertanian adalah sektor kehidupan yang strategis. Aturan Islam menjelaskan bahwa negara dalam Islam akan mengatur urusan pertanian, berikut hasil-hasil produksinya. Hal ini sesuai dengan yang dituntut oleh kebijakan politik pertanian yang ditujukan untuk merealisasikan eksploitasi lahan pada level produksi tertinggi.
Dengan demikian kebijakan pertanian negara Islam diarahkan pada tujuan untuk memaksimalkan eksploitasi atau pemanfaatan tanah, agar menghasilkan tingkat produksi pertanian paling tinggi.
Ini bisa dipahami karena target pertanian adalah menghasilkan produk pertanian yang optimal. Semua ini untuk mencukupi kebutuhan pangan dan industri dalam negeri, serta meningkatkan volume dan diversitas ekspor ke luar negeri.
Salah satu upaya untuk memaksimalkan hasil pertanian adalah penyediaan pupuk. dalam sistem Islam industri pupuk harus dikuasai oleh negara, dengan paradigma me-riayah (mengurus) petani dan bukan bisnis. Industri pupuk ini merupakan milik negara yang berperan untuk memproduksi pupuk. Selanjutnya negara akan mengatur distribusi pupuk subsidi secara langsung kepada para petani sesuai kebutuhan.
Konsep distribusi bisa diberikan secara gratis atau negara mengambil harga dari biaya produksi. Hanya yang penting untuk diperhatikan terkait mekanismenya harus mudah, cepat, dan profesional.
Selain memberi kemudahan dari segi akses pupuk, negara juga harus memberikan bantuan kepada para petani dan keluarga yang tidak memiliki modal, agar tetap menjadi petani yang sejahtera.
Seperti inilah aturan Islam dalam menyediakan pupuk bersubsidi kepada para petani. Semua hal tersebut hanya akan terwujud dalam penerapan sistem Islam secara kaffah.
Wallahualam bissawab.
Oleh: Siti Aisyah
Pegiat Literasi
0 Komentar