Topswara.com -- Beberapa bulan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi Undang-Undang (UU) Desa, pada Kamis (28/3/2024).
Salah satu poin penting dari UU Desa tersebut terkait dengan masa jabatan kepala desa yang bertambah. DPR sepakat untuk mengubah masa jabatan kepala desa yang semula 6 tahun kini menjadi 8 tahun dan dapat dipilih paling banyak untuk 2 kali masa jabatan.
Terkait realisasi dari UU Desa tersebut, kini ratusan kepala desa di berbagai daerah telah mendapatkan SK perpanjangan masa jabatan. Untuk Kabupaten Bandung, ada 270 Kepala Desa yang menerima Petikan SK tersebut yang disampaikan secara simbolis oleh Bupati Bandung H. M. Dadang Supriatna, di Hotel Sutan Raja pada Selasa, Juli 2024. (bandungraya.net, 2 Juli 2024)
DPR dan pemerintah menyepakati perpanjangan masa jabatan kades dengan harapan supaya mereka dapat menjalankan program-program bupati sampai tuntas demi kesejahteraan rakyat. Benarkah demikian?
Jika kita memotret kondisi masyarakat di setiap kabupaten di Indonesia, nyatanya tingkat kesejahteraan masih rendah. Hal ini dapat terlihat dari tingkat kemiskinan yang masih tinggi. Selain itu, jumlah masyarakat yang tidak memiliki rumah layak huni juga masih banyak.
Di Kabupaten Bandung saja, H. M. Dadang Supriatna selaku Bupati Kab. Bandung, menyebut ada sekitar 37 ribu rumah tidak layak huni (rutilahu) yang harus diperbaiki di Tahun 2023.
Realitas masyarakat yang belum sejahtera juga tampak dari tingginya tingkat masalah sosial. Lihatlah jumlah pengemis, gelandangan, anak-anak terlantar masih banyak di setiap daerah. Ditambah lagi kasus-kasus kriminalitas akibat terdesak kebutuhan ekonomi juga marak.
Demikian pula masyarakat yang terjebak pada pusaran judi online dan pinjaman online yang kini tengah merajalela juga tidak sedikit dipicu karena lemahnya ekonomi.
Meskipun telah banyak program-program pemerintah daerah yang dikeluarkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi hasilnya belum terlihat secara signifikan. Seperti penerima manfaat dari program pembangunan rumah tinggal layak huni (rutilahu) bagi keluarga miskin masih terbatas.
Demikian pula program pembangunan desa pariwisata untuk meningkatkan pendapatan daerah, nyatanya belum menyasar masyarakat ekonomi kelas bawah. Program tersebut hanya menguntungkan bagi pemilik modal. Sementara rakyat hanya mengais recehannya saja.
Dengan demikian, perpanjangan jabatan kades tidak dapat menjamin meningkatkan kesejahteraan. Pasalnya yang menjadi akar utama ketidaksejahteraan tidak terkait masa jabatan, tetapi terkait dengan landasan pemikiran dan aturan yang diterapkan saat ini. Para penguasa saat ini, baik pemerintah pusat maupun daerah menerapkan aturan yang berlandaskan pada pemikiran kapitalisme sekuler.
Dalam sistem ini, aturan agama dijauhkan dari kehidupan. Sebaliknya materi menjadi tujuan utama dalam kehidupan. Maka jabatan dan kekuasaan hanya dijadikan sebagai jalan untuk melanggengkan kekuasaan hingga menjadi cara meningkatkan pundi-pundi kekayaan. Selain itu, jabatan juga menjadi prestise (kebanggaan) di tengah masyarakat.
Dalam praktiknya, sistem kapitalisme sekuler mengukur tingkat kesejahteraan rakyat dari pendapatan nasioanal atau daerah secara makro. Oleh karena itu, dengan meningkatnya angka pendapatan suatu daerah belum tentu menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat secara individu per individu.
Karena yang meningkat hanyalah pendapatan mereka yang memiliki modal besar. Bagi masyarakat yang tidak memiliki kemampuan finansial tetap tidak mampu sejahtera.
Selain itu, peran negara dalam sistem kapitalisme tidak lebih hanya sebagai regulator yang mengeluarkan kebijakan. Demikian pula pemerintah daerah, ia merealisasikan apa yang menjadi program pemerintah pusat. Program pembangunan di daerah juga tidak lebih hanya menguntungkan para pengusaha yang memiliki banyak modal.
Dengan demikian, perpanjangan masa jabatan demi kesejahteraan rakyat hanya sebatas jargon untuk meraih simpati rakyat. Semua hal tersebut berbeda dengan peran penguasa dalam aturan Islam.
Dalam pandangan Islam, jabatan dan kekuasaan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan baik di dunia terlebih di akhirat. Ia wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya individu per individu. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus) dan ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR. Bukhari)
Dari hadis diatas, seorang penguasa baik pusat maupun daerah dituntut untuk bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya. Dengan landasan keimanan yang kokoh yaitu keyakinan terhadap Allah akan menuntun para pemimpin dalam Islam menjalankan amanahnya selama menjabat kekuasaan.
Sebab mereka paham bahwa kekuasaan dapat menjadi jembatan untuk mendapatkan kenikmatan akhirat berupa surga, atau sebaliknya jabatan akan menghantarkannya pada murka-Nya. Inilah yang menjadi spirit penguasa , bukan sekadar kenikmatan dunia.
Di sisi lain, untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, Islam memiliki sistem yang komprehensif di antaranya dengan penerapan sistem ekonomi Islam.
Keunggulan dari sistem ekonomi Islam dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dengan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok seperti : sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semua kebutuhan tersebut harus dipastikan terpenuhi secara individu per individu, bukan hanya diukur secara makro, seperti dalam sistem ekonomi kapitalisme.
Oleh karena itu, pemimpin sebagai representasi dari negara akan mengurusi, melindungi, dan mengayomi rakyat dengan menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Terkait masa jabatan, pemimpin dalam Islam tidak ada batasan, selama penguasa tersebut masih memiliki kapabilitas dalam menjalankan amanahnya. Adapun penguasa daerah (wali), maka pemimpin negara (khalifah) memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikannya sesuai pertimbangannya.
Semua hal tersebut ditujukan untuk kemaslahatan umat (rakyat) bukan kepentingan pribadi atau golongan. Oleh karena itu, kesejahteraan rakyat tidak bergantung pada masa jabatan, tetapi pada penerapan aturan dalam kehidupan masyarakat. Dengan penerapan aturan Islam secara kafah maka kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan.
Wallahualam bissawab.
Oleh: Siti Aisyah
Pegiat Literasi
0 Komentar