Topswara.com -- Sudah jatuh tertimpa tangga, perumpamaannya sangat relevan dengan kondisi rakyat saat ini. Harga sembako terus merangkak naik, biaya pendidikan naik, begitu pula berbagai jenis pajak ikut naik, yang membuat tercengang
MinyaKita pun tidak mau kalah ikut melambung harganya. Di sisi lain arus PHK semakin gencar dilakukan. Bagaimana rakyat tidak kelimpungan melihat realita seperti ini?
Dilansir dari Tempo.co. pada tanggal 20 Juli 2024, Tulus Abadi sebagai ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan bahwa langkah pemerintah menaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) MinyaKita dari Rp. 14.000 menjadi Rp. 15.700 tidak masuk akal, sebab Indonesia adalah eksportir minyak sawit mentah (CPO) yang digunakan sebagai bahan baku minyak goreng.
Kenaikan HET MinyaKita merupakan usulan dari menteri perdagangan Zulkifli Hasan dengan alasan harga minyak goreng harus menyesuaikan dengan nilai rupiah yang sekarang sudah merosot hingga Rp. 16.344.
Achmad Nur Hidayat sebagai ekonom dan pakar kebijakan publik pun berpendapat bahwa kenaikan HET minyak goreng yang dilakukan oleh Kemendag harus disesuaikan dengan biaya produksi yang terus naik dan fluktuasi nilai tukar rupiah.
Beliau menilai kebijakan ini tidak tepat waktu dan berpotensi memperburuk kondisi ekonomi masyarakat. Dan beliau memprediksi inflasi akan meningkat sebesar 0,34 persen dihitung dari kenaikan harga minyak sebanyak 12,14 persen. (Liputan6.com. 20/07/2024)
Sungguh kenaikan harga MinyaKita sangat tidak masuk akal, mengingat Indonesia adalah negeri penghasil sawit terbesar. Bahkan bisa ekspor hingga ke luar negeri, namun sangat mengkhawatirkan rakyatnya sendiri harus membeli minyak goreng dengan harga cukup mahal, di kalangan petaninya saja mereka harus tetap membeli minyak goreng dengan harga tinggi.
Hal ini menunjukkan adanya salah kelola yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang. Dimana negara tidak bisa mengelola bahan mentah sawit secara mandiri, negara bekerjasama dengan pihak swasta atau asing untuk mengelola bahan baku minyak goreng, padahal itu bisa di lakukan oleh negara, dengan pengelolaan sesuai dengan dengan ketentuan dan kebutuhan yang di perlukan oleh rakyat.
Namun tidak perlu heran, beginilah konsekuensinya hidup dalam sistem kapitalisme, yang menjadi tujuan utamanya adalah uang dan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan kondisi rakyat yang sedang menderita, tidak pula menyandarkan perbuatannya itu benar atau salah menurut agama, karena dalam sistem ini agama tidak boleh berperan dalam ranah umum, khususnya dalam kegiatan berekonomi.
Pada sistem ini juga tidak ada pengaturan dalam sistem kepemilikan. Kepemilikan yang diagungkan adalah kepemilikan individu. Setiap orang bisa melakukan berbagai cara untuk memperoleh keuntungan.
Begitu pun contohnya dalam kasus penyediaan minyak goreng, negara tidak berperan dalam distribusi dan justru dikuasai oleh perusahaan yang memperpanjang rantai distribusi dan mengakibatkan harga makin mahal.
Oleh karena itu, dalam Islam peran negara yang paling utama adalah sebagai penanggung jawab bagi seluruh urusan dan kebutuhan rakyatnya. Negara bertanggung jawab penuh dalam proses pendistribusian, tidak boleh mempercayakan kepada pihak-pihak tertentu, kemudian tidak boleh mengambil keuntungan dari pihak manapun baik pada pengusaha maupun negara-negara asing.
Begitupun dalam ekonomi, Islam mengatur secara tegas kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Pembagian ini akan menghilangkan peluang penguasaan segelintir individu pada kebutuhan pokok milik umum, contohnya saat ini adalah minyak goreng.
Kemudian stabilitasi harga adalah fakta yang bisa dilihat secara berkala, menjaga ketersediaan suplly and demand lalu adanya pelarangan menimbun barang, mengawasi proses distrubusi maka realita kondisi ekonomi yang nyaris tanpa inflasi ini sangat memungkinkan.
Pada dasarnya jika sistem Islam ditegakkan secara menyeluruh dalam semua aspek maka akan memberikan jaminan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat serta memberikan peluang yang sama kepada seluruh warga negara untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersiernya, dan kesejahteraan rakyat akan terwujud karena negara (khilafah) menjadi pihak pengendali distribusi semua kebutuhan rakyat termasuk minyak.
Wallahu a'lam bi ash shawwab.
Oleh: Irma Legendasari
Aktivis Muslimah
0 Komentar