Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Penentuan Akad Ijarah dengan Persentase Harga Jual Itu Tidak Sah

Topswara.com -- Pakar Ekonomi Islam Ustaz Dwi Condro Triono, Ph. D., mengatakan penentuan akad ijarah pada marketplace (MP) dengan persentase harga jual itu tidak sah, jatuhnya fasad.

"Nah ini yang menjadi titik kritis di dalam ijarah, penentuan upah, wajib maklum (jelas diketahui) tidak boleh majhul (tidak jelas). Maka upahnya harus pasti, itu yang disebut akad ijarah. Oleh karena itu kalau penentuan akad ijarah di marketplace dengan prosentase harga jual, menurut para ulama yang saya kaji itu tidak sah, jatuhnya fasad," bebernya di Hukum Jual Beli di MarketPlace di kanal YouTube Tsalis Group, Ahad (17/09/2023).

Dia menjelaskan, ketika pihak marketplace tersebut mengambil biaya admin itu sebenarnya adalah biaya jasa. Pihak marketplace memberikan jasa berupa tempat untuk jualan. Karena ini jasa menyediakan tempat maka ini masuknya akad jasa atau ijarah

"Misalnya tadi diatas penjualan lima puluh atau di atas penjualan seratus kemudian mengambil biaya admin, itu sebenarnya biaya jasa. Kalau besarnya itu menggunakan persentase nilai barang, berarti akadnya fasad, tidak sah. Tetapi kalau akadnya itu pasti, misalnya kalau kita pasang per hari atau per bulan berapa ribu rupiah, nah itu yang sah secara syar'i," bebernya.

Dia menjelaskan bahwa manfaat itu bukan berarti ada produknya, tetapi berupa fasilitas yang diberikan satu pihak, kemudian pihak lain itu layak untuk membayarnya. Bukan kepada pemilim produk. Ijarah adalah aqdun ala manfaatin bihi waqdin. Yaitu akad bertemunya manfaat dengan kompensasi. Jika jual beli adalah bertemunya barang dengan harga atau uang. "Berarti yang kita hargai kan barangnya bukan uang kita sendiri kan," ujarnya.

Jual beli itu sendiri menurut dia bisa dilakukan dengan barter. Misalnya handphone ditukar dengan laptop. Misalnya, satu laptop tersebut dihargai dua buah handphone. Sehingga tidak bisa kemudian dibayar satu handphone untuk satu laptop.

"Jadi, rumus dalam belajar muamalah (ijarah) itu yang pertama harus dilihat adalah rukunnya. Rukun ijarah itu ada tiga (As-Sabatin, 2009): Al-'Aqidani (dua pihak yang berakad), yaitu yang menyewa (musta`jir) dan yang disewa atau yang dipekerjakan (muajjir atau ajiir). Al-Ma'qud 'alaihi (objek akad), yaitu manfaat dan upah. Shighat, yaitu apa saja yang menunjukkan ijab dan kabul, perkataan maupun perbuatan," jelasnya.

Lebih lanjut dia menjabarkan, al-'aqidani adalah dua orang yang berakad. Pihak yang berakad disini yaitu penjual dengan marketplace. Al-ma'qud 'alaihi (objek akad) untuk melihat sebenarnya akadnya apa. Karena akad itu ada banyak dan harus tepat di dalam menghukuminya.

"Kalau pihak satu sebagai penjual, pihak kedua menyediakan tempat, itu kan seperti menyediakan lapak untuk jualan. Jadi marketplace itu sebenarnya seperti menyediakan lapak untuk jualan tetapi secara virtual. Jadi, peran pihak satu itu ingin mendapatkan jasa tempat untuk jualan. Pihak kedua menyediakan tempat untuk jualan. Kalau ini faktanya berarti fakta jasa," ungkapnya.

Sebagaimana definisi ijarah yang ia tegaskan adalah aqdun 'ala manfaati bi 'audin yaitu akad atas manfaat yang diberi kompensasi. Berarti kompensasi berdasarkan manfaat yang diberikan. Manfaat pada MP adalah menyediakan jasa tempat untuk jualan. Berarti fee atau ujrah yang dibayarkan berdasarkan manfaat menyediakan tempat.

Ia menegaskan penentuan upah di dalam ijarah itu yang paling penting. Penentuan upah dalam ijarah ada 3 kriteria penting. Deskripsi pekerjaannya (na'ul 'amal), batas waktu menyelesaikan pekerjaannya (muddatul 'amal), juhdul amal.

"Menyediakan tempat itu muddatul amal atau batas yang bisa untuk menentukan upah itu berdasarkan waktu. Muddatul amal itu batas untuk diberi kompensasi. Batas itu bisa berupa kadar bisa berupa dimensi waktu," katanya.

Ia mengumpamakan seorang sopir, upah sopir berdasarkan kadarnya adalah berdasarkan kilometer. Misalnya setiap 100 kilometer itu bayarnya adalah 50 ribu. Itu berarti mudatul amalnya berdasarkan kadar.

Oleh karena itu, menurut dia, ketentuan di dalam ijarah, upah didapat ketika sudah jelas manfaatnya bertemu dengan iwadhnya (kompensasinya). Kalau majhul jatuhnya fasad. Kalau fasad itu tidak sah. Maklum itu sendiri adalah penentuan upah itu harus dengan nominal yang pasti.

"Jadi kalau manfaatnya sudah jelas batasannya boleh dengan kadar boleh dengan waktu. Maka nominalnya juga harus pasti. Yaitu per hari misalnya 100 ribu. Atau dengan kilometer itu tadi boleh," nilainya.

Ia menegaskan, yang tidak boleh adalah dengan persentase dari hasil penjualan, karena berhasil atau tidak berhasilnya menjual itu tidak pasti. Kalau upahnya persentase kali tidak pasti maka bisa saja upahnya itu nol rupiah. 

"Misalnya kita meminta jasa kepada seseorang, maukah menjualkan produk saya jam kerjanya tujuh jam sehari. Upahnya sepuluh persen kali hasil penjualan. Itu tidak sah akad seperti itu. Mengapa demikian? Karena menggunakan prosentase dari hasil penjualan. Sedangkan jualan itu bisa laku bisa enggak. Padahal manfaat yang diberikan dari pekerja tadi sudah pasti. Yaitu kerja sehari tujuh jam itu kan sudah pasti," tutupnya.[] Heni
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar