Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pajak Sumber Pendapatan Utama, SDA Kemana?

Topswara.com -- Masyarakat Indonesia tentu sudah akrab dengan slogan berikut: "Orang bijak, taat pajak.” Slogan ini sering terdengar dalam kehidupan sehari-hari. Namun, sayangnya, ajakan untuk patuh membayar pajak ini tidak diiringi dengan kebijakan yang memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat. 

Memang, dalam negara yang menerapkan sistem permodalan, pajak adalah sumber utama pendapatan negara. Negara yang menganut sistem ini memberlakukan berbagai jenis pajak untuk meningkatkan pemasukan dan juga mewajibkan warganya membayar pajak, termasuk Indonesia.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa untuk menciptakan negara yang makmur dan adil, diperlukan dukungan dari penerimaan pajak yang optimal. 

Ia pun menambahkan bahwa pajak adalah tulang punggung dan instrumen yang sangat penting bagi suatu bangsa dan negara dalam mencapai tujuannya. Selain itu, Menkeu juga membanggakan kinerja luar biasa jajarannya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. 

Pasalnya, penerimaan pajak terus meningkat signifikan sejak tahun 1983, yang saat itu hanya sebesar Rp 13 triliun. (liputan6.com, 14/7/2024)

Di negara yang menganut kapitalisme seperti Indonesia, pajak merupakan sumber utama pendapatan negara. Meskipun memiliki kekayaan SDA, hal ini tidak otomatis menghasilkan pemasukan besar bagi Indonesia. 

Sebaliknya, Indonesia justru memiliki tumpukan utang yang sulit dilunasi dalam waktu singkat. Untuk melunasi utang dan membiayai APBN, negara memerlukan suntikan dana yang besar. 

Memalak rakyat dengan pajak seolah menjadi jalan keluar untuk menutup defisit APBN. Secara sistematis, Menkeu akan selalu mencari berbagai cara agar penerimaan pajak mencukupi untuk anggaran belanja negara. 

Tidak mengherankan jika pemerintah sangat berupaya menarik pajak dari masyarakat dalam berbagai bentuk, termasuk pajak pertambahan nilai, penghasilan, penjualan barang mewah, pajak bumi dan bangunan, cukai, materai, kendaraan bermotor, reklame, restoran, hotel, penerangan jalan, parkir, serta bidang layanan seperti kesehatan, sosial, dan pendidikan.

Namun, peningkatan penerimaan pajak yang dibanggakan Menkeu sejatinya menunjukkan peningkatan pungutan atas rakyat. Hal ini lumrah karena dalam sistem kapitalis, pajak adalah sumber terbesar pendapatan negara untuk membiayai pembangunan. 

Besarnya pungutan pajak atas rakyat sejatinya adalah bentuk kezaliman dan membuktikan bahwa negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat dan penjamin kesejahteraan rakyat. Negara hanya sebagai fasilitator dan regulator dalam menentukan tata kelola urusan negara.

Ironisnya, hasil pajak yang digunakan untuk pembangunan dan layanan publik ternyata tidak sepenuhnya dinikmati oleh rakyat. Terbukti bahwa layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan semakin mahal. Bahkan untuk menggunakan infrastruktur yang dibangun seperti jalan tol dan kereta cepat, rakyat harus mengeluarkan biaya yang besar.

Sejatinya, dalam kehidupan yang dipenuhi dengan kapitalistik, pajak adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Penarikan pajak dari rakyat tidak selalu sejalan dengan kebijakan pemerintah terhadap masyarakat. 

Sebaliknya, negara justru membebani rakyat dengan kenaikan harga bahan pokok yang berdampak langsung pada daya beli mereka. Ketika daya beli masyarakat menurun, pendapatan mereka pun ikut menurun. Ibaratnya, pembayar pajak menderita, sementara penerima pajak bersuka cita.

Namun demikian, penyebab buruknya pengelolaan pajak bukan hanya sekedar hal biasa. Itu karena regulasi pajak saat ini sebenarnya berasal dari sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik demokrasi. Sistem ekonomi yang memandang pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. 

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika penerimaan pajak diperketat seiring dengan meningkatnya defisit anggaran.

Mengapa semua itu terjadi? Selain karena meningkatnya utang, pendapatan negara dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan negara, justru banyak yang dikuasai oleh pihak asing. 

Akibatnya, sebagian besar keuntungannya diambil oleh asing. Jika pengelolaan SDA bisa dilakukan secara independen, maka kebijakan pajak mungkin tidak lagi diperlukan. 

Namun, apa daya, dalam sistem ekonomi kapitalisme, kebijakan liberalisasi kepemilikan memungkinkan asing untuk menguasai aset-aset negara. Hampir semua SDA di dalam negeri dikuasai oleh perusahaan swasta, baik itu lokal maupun asing.

Padahal jika dihitung secara keseluruhan, potensi pendapatan SDA cadangan di Indonesia sebesar Rp. 20.655.696 triliun, dan hasil eksploitasi produksinya mencapai Rp. 7.101 triliun per tahun. Selain itu, jika negara mengelola kekayaan alam secara mandiri, anggaran sebesar Rp. 3.000 triliun per tahun dapat terpenuhi tanpa perlu menarik pajak. Bahkan, utang negara bisa dilunasi hanya dalam waktu 3 tahun melalui APBN. (askara.com)

Sungguh, sebenarnya permasalahan pajak tidak hanya timbul karena keserakahan pihak yang berkuasa, tetapi juga karena sistem politik dan ekonomi yang tidak pernah mengutamakan kesejahteraan umat yakni sistem kapitalisme.

Kebijakan kapitalisme sangat berbeda dengan Islam. Dalam sistem Islam, ada banyak sumber penerimaan negara, dan berjumlah besar. Hal ini sejalan dengan sistem kepemilikan yang ditetapkan oleh Islam dan pengelolaannya sesuai dengan sistem ekonomi Islam. 

Sumber pendapatan negara yang masuk ke baitulmal (kas negara) diperoleh dari fai (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, harta umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus, rikaz dan tambang, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan harta orang murtad.

Pajak dalam sistem Islam disebut sebagai dharibah. Ini adalah langkah terakhir yang diambil jika baitulmal benar-benar kosong dan tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya. Dalam situasi tersebut, pajak hanya dikenakan kepada kaum Muslim. 

Adapun, dalam Islam, negara tidak mengenakan pajak kecuali dalam keadaan darurat atau kebutuhan mendesak. Menetapkan pajak tanpa alasan yang jelas dianggap sebagai tindakan zalim, hal ini dilarang berdasarkan hadis Rasulullah saw., "Tidak akan masuk surga bagi orang-orang yang memungut cukai." (HR. Abu Dawud).

Dengan demikian, negara Islam dengan fungsi raa’in akan menjamin kesejahteraan rakyat dengan pengelolaan sumber pemasukan sesuai dengan tuntunan Islam. Oleh karena itu, sudah saatnya negara ini melakukan pembenahan secara sistematis. 

Dengan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh, kebijakan negara akan didasarkan pada hukum-hukum syariat, sehingga negara tidak akan kesulitan mencari sumber pendapatan. Selain itu, negara tidak akan dengan mudah membebani rakyat dengan pajak.

Wallahu a’lam bii Ash-Shawab.


Oleh: Nurul Aini Najibah
Aktivis Dakwah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar