Topswara.com -- Sungguh miris ketika membaca berita bahwa banyak anggota DPR dan DPRD yang terlibat judi online (judol). DPR dan DPRD adalah wakil rakyat yang di harapkan mampu untuk menyelesaikan kasus judol di tengah masyarakat.
Namun nyatanya malah mereka terseret dalam pusaran judol lebih parah dari pada rakyatnya. Mereka di pilih sebagai representasi rakyat dalam segala kebijakan yang akan di terapkan dan semestinya mereka memiliki moral yang lebih baik dari rakyat, nyatanya itu semua jauh panggang dari api.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa lebih dari 1.000 orang anggota legislatif setingkat DPR dan DPRD bermain judi online (judol). Hal ini diungkapkan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Ivan Yustiavandana, dalam rapat dengan DPR RI. (tirto.id,26/6/2024).
Judi online adalah penyakit sosial yang menyerang masyarakat secara merata di semua lini kehidupan tanpa terkecuali para anggota DPR dan DPRD. Dimana wakil rakyat ini ternyata lebih fokus pada judol dari pada mengurusi kondisi rakyat yang carut marut saat ini.
Sehingga anggota DPR dan DPRD yang seharusnya menjadi wakil rakyat dalam setiap aspirasi dan keluhan rakyat kepada pemerintah malah sibuk bermain judol. Sehingga mereka lupa dengan tugas dan tanggung jawabnya setelah di pilih oleh rakyat.
Tindakan ini mencerminkan akan buruknya wakil rakyat yang telah kita pilih. Kenyataan ini di sebabkan oleh lemahnya kemampuan integritas, ketidak amanahan, serta kredibilitas yang rendah dari setiap calon anggota DPR dan DPRD. Inilah akibat yang akan di hasilkan ketika kita memilih anggota DPR dan DPRD bukan berdasarkan kemampuannya tetapi berdasarkan kepentingaanya.
Inilah sebab mengapa anggota dewan hari ini lebih banyak melegalisasikan kepentingan penguasa dan oligarki dari pada harus berpihak terhadap kepentingan rakyat banyak. Semua ini sudah jelas menggambarkan keserakahan dan kerusakan yang di akibatkan dari penerapan sistem kapitalisme.
Di mana anggota dewan di jadikan alat oleh penguasa untuk membungkam mulut rakyat dengan segala kebijakan yang telah di tetapka. Semua ini berdasarkan hubunga simbiosismutualisme yang telah terjalin antara anggota dewan dengan pemerintah yang sedang berkuasa.
Jika di lihat dari fungsinya DPR dan DPRD adalah mengangkat dan memberhentikan penguasa, membuat hukum atau undang-undang serta mengoreksi penguasa. Mekipn fungsi untuk mengoreksi penguasa mandul akibat hubungan yang terjalin. Sungguh berbeda dengan sistem Islam.
Dalam sistem Islam wakil rakyat disebut dengan majelis umat. Tetapi memiliki fungsi dan peran yang sangat berbeda dengan anggota dewan saat ini. Dimana majelis umat memiiki fungsi sebagai representasi umat dalam penerapan kebijakan serta berperan penting dalam menjaga penerapan hukum syarak oleh pejabat negara yang sedang berkuasa dan juga mengoreksi serta menyalurkan aspirasi rakyat kepada khalifah.
Islam mampu melahirkan individu dari setiap anggota majelis umat yang bersifat amanah, bertanggung jawab dan peduli pada kondisi umat karena di didik dengan sistem pendidikan Islam. Di mana sistem pendidikan Islam menghasilkan individu berkepribadian Islam yang terpancar darinya pola pikir dan pola sikap Islami.
Sistem pendidikan Islam hanya dapat kita temui dalam penerapan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai naungan khilafah islamiah. Di bawah tambuk kepemimpinan seorang khalifah sebagai ra’in bagi umatnya menjadikan kasus judol tidak akan ditemui dalam kehidupan bernegara dalam sistem Islam karena di terapkannya sangsi tegas dan memberikan efek jera bagi segala tindak kezaliman termasuk judol.
Wallahu'alam Bisshawab.
Oleh: Beramita
Aktivis Muslimah
0 Komentar