Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menurunkan Kemiskinan: Bagai Menegakkan Benang Basah

Topswara.com -- Kemiskinan dan ketimpangan menurun sepertinya merupakan hal sulit atau tidak mungkin. Di tengah maraknya PHK, biaya sekolah tinggi, harga-harga kebutuhan pokok mahal, dan masih banyak lagi hasil ketok palu pemerintah yang tidak berbasis kepentingan rakyat. Namun anehnya justru pemerintah mengeklaim bahwa angka kemiskinan menurun dan ketimpangan ekonomi mengecil. 

Kepala Badan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan, per Maret 2024 tingkat kemiskinan menunjukkan tren menurun menjadi 9,03 persen dari 9,36 persen pada Maret 2023. 

Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia (rasio gini) juga mengalami penurunan dari 0,388 pada Maret 2023 menjadi 0,378 pada Maret 2024. Hal ini dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) (05/07/2024). 

Dengan turunnya angka-angka di atas, pemerintah mengklaim telah berhasil melaksanakan program unggulan mereka seperti kebijakan bansos, pembangunan rusun, bantuan kredit, pelatihan usaha hingga kondisi makroekonomi dan politik yang makin baik dan berdampak pada peningkatan investasi. 

Benarkah demikian? Atau ini hanyalah permainan angka-angka yang diatur sedemikian rupa agar nampaknya pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan dan ketimpangan rakyat. 

Fakta Kemiskinan 

Faktanya, bertambahnya kemiskinan dan jurang semakin lebar membuktikan ketimpangan semakin menjadi-jadi. Berikut beberapa fakta yang terjadi di masyarakat. 

Pertama, terjadi badai PHK yang menimpa para pekerja di puluhan pabrik dan hampir 14 ribu buruh terdampak kebijakan ini. Ini menunjukan ada hampir 14 ribu orang pengangguran baru. Sudah pasti karena mereka tidak mempunyai pekerjaan lagi, mereka tidak berpenghasilan dan akibatnya daya belinya pun menurun. Kondisi seperti ini akan melahirkan orang miskin baru. 

Kedua, banyak UMKM atau pengusaha kecil yang gulung tikar, seperti misalnya pemilik indekos dan warung makan di sekitar pabrik yang tutup. Hal ini mengakibatkan berkurangnya atau bahkan tidak ada pemasukan sama sekali. Akibatnya, mereka semakin miskin karena tidak punya penghasilan lagi. 

Ketiga, angka stunting masih tinggi karena orang tua tidak mampu membeli makanan bergizi, harga-harga kebutuhan pokok pun semakin mahal. 

Keempat, beban ekonomi semakin berat dan banyaknya pengangguran menyebabkan semakin bertambahnya tingkat kejahatan. 

Kelima, para ibu harus ikut banting tulang menjadi tulang punggung keluarga dan bekerja di luar rumah, hingga abai mengurus dan mendidik anak-anaknya. Hal ini akan memicu tindak kriminalitas pada anak karena kurang mendapat perhatian orang tua khususnya ibu. 

Keenam, biaya pendidikan perguruan tinggi semakin mahal, sehingga orang tua tidak mampu membiayainya. Dampaknya banyak lulusan SMA yang menganggur sementara lapangan pekerjaan terbatas. Kondisi ini dapat memicu mereka melakukan tindak kejahatan. 

Dengan fakta-fakta tersebut, tepatkah apabila pemerintah mengeklaim bahwa kemiskinan dan ketimpangan menurun?
Apabila kita cermati, besarnya angka penurunan ini hanyalah sebatas angka saja. 

Seolah-olah pemerintah ingin menunjukan kesuksesannya dalam menangani masalah kemiskinan dan ketimpangan ini. Walaupun kenyataannya sangat jauh dari sukses karena mayoritas rakyat tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu sandang, pangan, dan papan secara layak. 

Pemerintah ditengarai lebih mementingkan penilaian dan pencitraan tetapi tidak sungguh-sungguh dalam mengentaskan kemiskinan. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, jadi sudah pasti rakyat akan terabaikan dan pengusaha atau pemilik modal yang lebih diutamakan. 

Batas garis kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah sebesar Rp.601.871 per bulan per kapita. Artinya, jika pengeluaran seseorang di atas angka tersebut per bulannya, ia tidak terkategori miskin, padahal kebutuhan hidup saat ini serba mahal. 

Dengan penghasilan tersebut sudah pasti tidak akan dapat memenuhi kebutuhannya dgn layak. Sebagai gambaran dengan penghasilan Rp601.871 per bulan maka pengeluaran hariannya sekitar Rp.20,062, apakah logis bisa memenuhi kebutuhan hidup? 

Solusi Islam Terbaik

Khalifah dalam daulah islamiah berperan sebagai raa’in yang wajib menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyatnya.
Sistem politik dan ekonomi Islam mampu mewujudkan kesejahteraan secara nyata. Penerapan ekonomi Islam seperti yang dituliskan oleh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham Al-Islam mencakup dua segi. 

Pertama, bagaimana negara mengumpulkan harta dari rakyat yang digunakan untuk mengatasi persoalan dalam masyarakat. Negara mengumpulkan harta dari kewajiban membayar zakat atas harta yang dimiliki baik berupa uang, hasil pertanian, ternak, tanah, dengan menganggapnya semua sebagai ibadah kepada Allah. 

Harta tersebut akan dibagikan kepada delapan ashnaf seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an yaitu: fakir, miskin, ibnu sabil, hamba sahaya, fisabilillah, mualaf, amil dan orang yang terjerat hutang. 

Harta yang telah dikumpulkan ini tidak pernah digunakan untuk administrasi negara. Karena untuk administrasi dan pelayanan umat akan diambilkan dari kharaj, jizyah, serta cukai perbatasan yang dipungut karena negara bertanggung jawab mengatur perdagangan dalam dan luar negeri. Jadi harta yang diperoleh hanya dibagikan berdasarkan syariat Islam. 

Kedua, adalah mekanisme distribusinya. Negara akan mengeluarkan berdasarkan syariat yaitu diberikan kepada pihak yang lemah (tidak mampu) dan dilarang untuk memberikan pengelolaan harta bagi orang yang terbelakang mental serta larangan untuk berperilaku mubazir.

Sedangkan dalam sistem ekonomi kapitalis distribusi harta berdasarkan materi jadi hanya pemilik modal (kapital) yang memiliki harta tak terbatas. 

Dari dua segi di atas, jelas bahwa Islamlah yang memiliki solusi tepat atas persoalan kemiskinan. Sedangkan sistem demokrasi kapitalisme hanya akan menyengsarakan rakyat karena hanya berpihak pada pemilik modal bukan rakyat. []


Oleh: Rini Rahayu 
(Ibu Rumah Tangga, Aktivis Dakwah) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar