Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mengapa Gen Z Banyak yang Jadi Anak Durhaka?

Topswara.com -- Sungguh ironis, kewajiban seorang anak untuk berbakti dan berbuat baik kepada orang tuanya menjadi pupus karena tersulut emosi sesaat. Seorang anak menjadi gelap mata dengan kejam dan sadis menghabisi orang tuanya sampai nyawa melayang. Dimanakah hati nuranimu nak?

Beberapa waktu yang lalu tersebar berita seorang pedagang ditemukan tewas di sebuah toko perabot di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur. Hasil penyelidikan polisi, pelaku adalah kedua anak kandungnya sendiri.

Anak berinisial K masih berusia 17 tahun, sementara P berusia 16 tahun. Alasan sakit hati dimarahi oleh ayahnya karena mereka mencuri uang ayahnya. (Liputan6.com.23/06/2024)

Tidak hanya disitu anak yang menghilangkan nyawa orangtua, ada pula kejadian yang tragis terjadi di Lampung. Seorang anak berinisial SP berusia 19 tahun menganiaya ayahnya yang sakit strok hingga tewas sebelum beberapa saat sebelumnya sempat dilarikan ke puskesmas terdekat. 

SP dengan tega menganiaya ayahnya yang strok ternyata berawal dari rasa kesal karena diminta untuk mengantarkan ayahnya ke kamar mandi, disaat sang anak sedang makan. (Beritasatu.com.14/06/2024)

Kejadian ini sungguh diluar nalar, begitu tega seorang anak menganiaya bahkan sampai membunuh orang tua mereka dengan alasan yang sepele. Kasih sayang yang orang tua berikan selama belasan tahun menjadi hilang tidak berbekas hanya dengan emosi sesaat. 

Anak berubah menjadi jahat dan bengis seolah tidak melihat dan merasakan adanya aliran darah dan keringat atas pengorbanan orang tua untuk membesarkan dan merawat dia dari bayi hingga dewasa. 

Kondisi seperti ini marak bahkan tidak terkendali, jika layaknya seorang anak adalah harapan bagi keluarganya di masa depan, namun kini karena tergerus oleh sistem yang merusak moral anak itu sendiri, maka harapan itupun musnah. 

Harapan tinggal harapan, mungkin itulah yang di rasakan saat ini oleh sebagian orang tua, ketika tak mampu mengarahkan dan mengendalikan pergaulan anak, karena fasilitas yang saat ini ada turut andil dalam merusak dan menghancurkan pemikiran anak. 

Tontonan dan tayangan yang ada di televisi ataupun di handphone itu jauh lebih cepat merusak pemikiran anak. Karena itulah tujuan dari sistem sekularisme kapitalisme. 

Sekulerisme kapitalisme telah merusak dan merobohkan pandangan mengenai keluarga. Yang seharusnya dalam keluarga itu ada hubungan penuh cinta dan kasih sayang. Orang tua sayang pada anak-anaknya demikian pula anak sayang pada orang tuanya. Tetapi semua rasa itu hilang tergerus oleh sistem yang rusak ini.

Sekulerisme melahirkan manusia-manusia miskin iman yang tidak mampu mengontrol emosinya, rapuh dan kosong jiwanya. Menjadikan manusia memuja kebebasan dan menjauhkan agama dari kehidupan, berbuat semaunya tanpa peduli tuntunan agama.

Kapitalisme menjadikan materi sebagai tujuan, abai pada keharusan untuk berbakti dan berbuat baik terhadap kedua orang tua. Orang tuapun manusia biasa, dapat dipastikan pernah melakukan suatu kesalahan. 

Hanya saja jika melihat pengorbanan dan cinta kasihnya kepada anak maka kesalahannya bisa diredam bahkan dimaafkan, karena dalam hubungan anak dan orang tuapun sewajarnya terjadi saling menasehati dan mengingatkan.

Sistem pendidikan sekuler tidak mendidik agar memahami berbakti dan berbuat baik kepada orang tua. Lahirlah generasi rusak, rusak pula hubungannya dengan Sang Pencipta.

Penerapan sistem hidup kapitalisme gagal memanusiakan manusia, fitrah dan akal tidak terpelihara, menjauhkan manusia dari tujuan penciptaannya yaitu sebagai hamba dan khalifah pembawa rahmat bagi alam semesta. Maka lahirlah generasi rusak dan merusak.

Islam mendidik generasi menjadi generasi yang memiliki kepribadian Islam, yang akan berbakti dan hormat pada orang tua dan memiliki kemampuan dalan mengelola emosi.

Pada saat keimanan dan ketaqwaan dijadikan sebagai landasan hidup, maka memuliakan orang tua adalah kedua tingkatannya setelah Allah SWT. Dikisahkan dari seorang sahabat, Uwais al Qarni. Dia seorang yatim dan hanya tinggal bersama ibunya yang sudah tua dan lumpuh di Yaman.

Uwais adalah sosok pemuda yang sholeh dan sangat memuliakan ibunya. Kisah ini menjadikan pembelajaran , begitu dimuliakannya seorang ibu di dalam Islam.

Mengapa hal itu bisa terjadi? karena pendidikan dalam Islam sangat mengutamakan penguatan akidah serta pembentukan pribadi tangguh yang memiliki pola pikir dan pola sikap sempurna sehingga menghasilkan generasi yang dapat menghormati orang tua, menyayangi yang lebih muda, menghargai sesama manusia.

Memahami wajibnya berbuat baik dan memuliakan orang tua. Sesuai dengan firman Allah, bahwa "Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua Ibu Bapak”. (QS. An Nisa 35). Kemudian dijelaskan bahwa “...dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. “...dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik saya waktu kecil".(Al Isra’:23-24).

Oleh karena itu, sudah bisa dipastikan jika sistem Islam diterapkan dengan sempurna maka jangan heran akan melahirkan anak-anak yang selalu menghormati dan memuliakan orang tuanya. Tidak akan ada lagi cerita anak durhaka yang tega dengan kejam menganiaya bahkan menghilangkan nyawa orang tuanya.

Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Irma Legendasari 
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar