Topswara.com -- Dinding-dinding media sosial bertabur curhat para istri. Mereka rame-rame membongkar masalah rumah tangganya. Baik relasinya dengan suami, maupun perasaan ketidak-puasan atas apa yang dialami. Bahkan, tidak segan para istri membongkar kelakuan suami atau mantan suami yang dinilai buruk.
Ada yang curhat tentang suami yang perhitungan soal duit alias pelit; lebih mementingkan ibunya, konflik dengan mertua atau ipar. Ada suami yang malas bekerja sehingga nafkah minim dan bahkan tidak menafkahi lahir dan batin. Intinya, para istri curhat karena merasa diabaikan hak-haknya.
Belum lagi perlakuan suami yang tidak makruf. Bahkan, tak sedikit yang melakukan kezaliman dan kemaksiatan. Seperti KDRT, selingkuh, penyimpangan seksual, judi online dan kecanduan game dan konten porno.
Saking kesalnya, para istri meluapkan isi hati terdalamnya, tentang apa yang dialami dan dirasakan dalam menjalani pernikahan. Fenomena apakah ini? Sudah sedemikian buntukah masalah rumah tangga, hingga ‘diledakkan’ di ruang publik?
Banyak Alasan
Maraknya para istri curhat di media sosial, menunjukkan bahwa banyak pasangan yang kondisi rumah tangganya tidak baik-baik saja. Relasi suami istri tidak berjalan semestinya. Bahkan bisa dibilang karut marut.
Misalnya, komunikasi kacau balau; suami mengalami disfungsi peran, sementara istri tidak mampu menjaga aib dan kehormatan keluarga. Suami istri bukannya membangun relasi percintaan, malah yang terjadi relasi pertengkaran.
Bila diringkas, maraknya curhat istri di media sosial, setidaknya disebabkan antara lain: pertama, harapan yang tak sesuai kenyataan. Kedua, komunikasi yang tersumbat. Ketiga, menjadi korban kezaliman dan ketidak-adilan seperti pelecehan, kekerasan, penganiayaan, pengabaian hak.
Keempat, tidak adanya saluran khusus untuk konsultasi masalah rumah tangga yang gratis, mudah diakses dan terjaga rahasia. Kelima, lemahnya hukum bagi pasangan yang melakukan kemaksiatan dalam rumah tangga. Keenam, tidak paham konsekuensi dan risiko membongkar masalah rumah tangga di media sosial. Ini terjadi karena curhat di media sosial hanya terpancing ikut-ikutan yang lain.
Ghibah Nasional
Lantas apa tujuan mencurahkan isi hati ke media sosial? Apakah efektif untuk mencari solusi? Yang terjadi hanyalah membuka aib rumah tangga. Terlebih jika viral, banyak dibagikan, hingga menjadi ghibah nasional.
Orang yang kita kenal seperti kerabat dan tetangga di dunia nyata, jadi tahu masalah kita. Padahal di dunia nyata kita tutup rapat dan tak pernah cerita ke siapa-siapa. Na’udzubillahimindzalik.
Memang, tidak sedikit para istri yang kemudian mendapatkan keuntungan secara materi setelah curhat di media sosial. Karena banyak yang simpati, akhirnya ditolong dengan diberikan donasi, direkrut perusahaan, dijadikan model atau ambasador, terima endors, dan diundang podcast sana-sini hingga makin terkenal. Mengalirlah pundi-pundi cuan. Khasnya hidup di peradaban sekuler kapitalis, di mana ‘menjual derita’ pun ujung-ujungnya cuan. Apakah ini yang diharapkan dari curhat?
Tunggu! Jangan keburu nafsu. Kondisi seperti itu hanya terjadi pada segelintir orang. Yaitu, hanya terjadi pada sosok-sosok yang cukup populer. Biasanya mereka adalah para istri yang cantik, mandiri alias kaya, punya karier atau bisnis dan banyak follower. Kalau yang curhat tidak good looking dan good rekening, paling-paling viral sesaat dan kemudian dilupakan.
Yang tersisa hanyalah jejak-jejak digital yang tidak akan pernah bisa dihapus lagi. Apabila curhat itu berdampak negatif, bisa menjadi dosa jariyah. Bagaimana tidak, ketika kita curhat di status media sosial, akhirnya mengundang komentar para netizen yang ikut-ikutan buka aib rumah tangganya.
Kena Mental
Mending kalau curhat mendapat simpati, tak sedikit malah tambah sakit hati. Banyak yang curhat di media sosial malah mendapat respons negatif. Di-bully, dihakimi, dilabeli, dan dicaci. Dituding istri yang lebay, tidak bersyukur, kurang iman, disalah-salahkan dan dicap buruk lainnya. Bukannya mendapat solusi, malah mengalami gangguan mental.
Lebih bahaya lagi jika mendapat serangan balik dari orang-orang yang merasa dirugikan dari curhat istri. Akhirnya, justru aib-aib istri dikuliti habis-habisan. Warganet yang tadinya simpati, berubah haluan malah mencaci. Yang tadinya kasihan, malah mendoakan kejelekan.
Ingat, media sosial adalah ruang publik. Curhat di media sosial, sama saja seperti kita keluar dari pintu rumah menuju ke lapangan terbuka, lalu menceritakan masalah yang kita hadapi di hadapan orang-orang yang berkumpul di sana. Apakah tidak malu?
Benar sekali peringatan Rasulullah SAW dalam hadisnya: "Barang siapa yang menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat, dan barangsiapa yang membuka aib seorang Muslim, Allah akan membuka aibnya hingga terbukalah kejelekannya di dalam rumahnya." (Hadis Riwayat Ibnu Majah).
Karena itu, jangan curhat di media sosial. Bisa jadi perkara dan harus berurusan dengan hukum. Misal jika dianggap mencemarkan nama baik atau melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan.
Hari ini banyak orang yang punya sifat pendemdam, pendengki, tidak punya rasa belas kasihan dan tidak mudah memaafkan. Disinggung sedikit saja, lapor kepada pihak berwajib. Atau malah nyawa jadi taruhannya. Nah, kita tidak pernah tahu, setega apa orang yang kita kenal dalam memperlakukan diri kita. Maka itu, lebih baik mencari solusi dengan cara yang bijak.
Jika kita bermasalah dengan suami, lebih baik cari penengah dari kalangan orang yang netral dan terpercaya. Di zaman peradaban Islam, ada hakim tempat mengadukan segala keluhan bila kita tidak mendapatkan hak-hak sebagai warga. Sayang, kita hidup di peradaban sekuler kapitalis yang indvidualis.
Jangan Oversharing
Saat ini kita hidup di era digital, di mana kita bisa menjadikan media sebagai ajang eksistensi diri. Era ini juga didominasi oleh konten, baik natural maupun setingan. Hati-hati menggunakan media sosial. Jangan oversharing alias berlebihan. Jangan dikit-dikit diposting. Hal-hal privat tetaplah jadikan privat. Jangan dipublikasikan. Apalagi jika mempostingnya secara emosional.
Bijaklah menggunakan media sosial. Think before sharing. Berpikir sebelum posting. Jangan ikut berkontribusi pada banyaknya konten-konten sampah di dunia maya. Manfaatkan media sosial untuk hal-hal yang positif. Ingat, semua postingan kelak harus kita pertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT.
Selalu menjaga kehormatan diri sendiri, pasangan dan keluarga. Ingat. Orang lain tidak tahu persis masalah pribadi kita. Satu-satunya yang paling tahu adalah kita sendiri. Untuk apa berbagi di ruang publik dengan orang yang tidak kita kenal. Jika mereka memberi masukan, solusi atau nasihat pun, belum tentu yang kita butuhkan. Belum tentu cocok untuk kita terapkan.
Tentu, bukan berarti tidak boleh curhat sama sekali. Jika ingin berbagi, milikilah teman sejati. Sahabat yang siap mendengar dan mendampingi suka dan duka kita. Lalu, ingat rambu-rambu dalam menyampaikan masalah. Jangan sampai mengumbar aib, yaitu hal yang tidak disukai pasangan. Jangan sampai melanggar syariat Islam.
Itu dari sisi individu. Tentu saja, kita butuh support system untuk membersihkan ruang digital dari curhat-curhat istri. Pertama, harusnya ditegakkan peradaban Islam yang menjadikan lingkungan masyarakat, termasuk keluarga, terjaga dalam suasana keimanan.
Kalau iman kokoh dan menjadi poros kehidupan, insyaallah hak-hak istri tidak terabaikan. Perilaku suami juga terkendali. Tidak melakukan maksiat dan penyimpangan. Nah, kalau hak sudah didapat, perlakuan baik sudah diraih, tentu tidak akan para istri curhat di media.
Kedua, terapkan hukum Islam, baik dalam konteks rumah tangga maupun kehidupan sosial. Jika hukum Islam diterapkan, semoga tidak marak kemaksiatan. Sebab, kemaksiatan inilah sumber terjadinya disfungsi peran suami dan gagalnya membangun relasi.
Karut marut kondisi keluarga, dipicu oleh masuknya kemaksiatan-kemaksiatan dalam rumah tangga, seperti riba, miras, judi, korupsi, zina, pelecehan, kekerasan dan bahkan pembunuhan. Na’udzubillahi mindzalik. Semoga keluarga-keluarga umat Muslim selamat dari kondisi buruk seperti itu dan segera tegak peradaban Islam yang akan menjadi perisai hakiki.
Kholda Najiyah
Founder Salehah Institute
0 Komentar