Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kapitalisasi Pesantren, Menggeser Peran Hakiki Santri

Topswara.com -- Program pemberdayaan ekonomi berbasis pesantren belakangan ini makin masif dilakukan. Tujuannya tidak lain membantu penguatan perekonomian negara nasional terutama pasca pandemi Covid-19. 

Keterpurukan ekonomi serta kemiskinan sistemis yang terus melanda negeri ini, menyebabkan pemerintah mendorong para santri untuk turut terlibat dalam pengembangan ekonomi baru melalui One Pesantren One Product (OPOP).

Demikian juga yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung yang mengadakan program pengembangan bisnis untuk pondok pesantren berupa usaha perikanan dan peternakan. 

Bupati Bandung, Dadang Supriatna, menyampaikan pembuatan demontration plot (demplot) untuk 100 ponpes ini diharapkan dapat membantu menumbuhkan perekonomian umat. 

Dikatakannya, bahwa jika semua pesantren bisa mandiri dan mampu memberdayakan warga sekitar, maka akan meningkatkan kesejahteraan di masyarakat. (Liputan 6.com, 24 Juni 2024)

Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mencetak para ulama awalnya dibentuk untuk mencetak kader dakwah dan pejuang yang menyampaikan tsaqafah Islam di tengah-tengah umat. 

Seorang santri yang identik dengan akidah yang kuat, serta ilmu agama yang mumpuni, diharapkan mampu membawa masyarakat menjadi pribadi yang bertakwa. 

Namun, peran ini perlahan bergeser. Sejak akhir 2018, berbagai program pun diluncurkan seperti OPOP, Santripreneur, UMKM, koperasi dan lain sebagainya. 

Di samping itu Kementerian Agama meluncurkan Peta Jalan Kemandirian Pesantren pada tahun 2021 yang bertujuan untuk mengembangkan pondok pesantren, bukan hanya sebagai institusi pendidikan, namun juga sebagai percontohan pergerakan ekonomi umat.

Lembaga pencetak para ulama ini pun didorong untuk mengembangkan kreativitas para santri sehingga mampu menghasilkan minimal satu produk yang bisa dikomersialkan. Mereka diajarkan berbagai keterampilan agar mampu berwirausaha dengan tujuan menjadi contoh pergerakan ekonomi umat. 

Alhasil pesantren bukan lagi sebagai tempat mencetak para ulama tafaqquh fiddin, tetapi saat ini lebih diarahkan untuk melahirkan entrepreuner-entrepreneur baru. Hal yang demikian tentu saja akan mengalihkan fokus para santri dari memperdalam ilmu agama. 

Serta menggeser fungsi utama pesantren sebagai lembaga pendidikan, pilar peradaban, serta pencetak para ulama berpredikat warasatul anbiya (penerus para nabi).

Di satu sisi, menjamurnya keberadaan pondok pesantren belakangan ini tentu saja memiliki daya tarik luar biasa untuk dilirik menjadi penggerak ekonomi umat yang potensial. 

Sebab, lokasi ponpes yang biasanya berada sangat dekat dengan pemukiman masyarakat memungkinkan mereka untuk menggerakkan ekonomi di sekitarnya, melalui berbagai usaha seperti pertanian, peternakan, UMKM dan sebagainya. 

Di sinilah letak kekeliruannya. Label yang disematkan sebagai santri wirausahawan seolah terlihat bagus. Padahal hal yang demikian itu sangat berbahaya karena menggerus peran mereka sebagai orang yang mampu mengemban dakwah ke tengah umat.

Pada akhirnya mereka akan disibukkan dengan urusan menghasilkan produk, dan melupakan kewajiban memperdalam ilmu agama.

Sementara umat sangat membutuhkan peran santri sebagai rujukan dalam memahami syariat Islam. Di samping itu lulusannya diharapkan dapat membawa perubahan baru dalam peradaban di tengah kerusakan moral yang kian mengganas. 

Jika sudah demikian bagaimana dengan nasib pondok pesantren ke depannya? Lembaga pendidikan yang tadinya diharapkan dapat menjadi model bagi generasi muslim bertakwa, berubah arah pandang dengan menjelma sebagai wirausahawan muslim yang berfokus kepada bisnis dan menghasilkan cuan. Yang demikian itu tentu saja memandulkan harapan umat kepada kebangkitan Islam yang hakiki.

Selain itu beralihnya fungsi pesantren yang sebelumnya adalah sebagai tempat menimba tsaqafah Islam dari kitab-kitab para ulama yang muktabar, berubah menjadi tempat mencetak para pebisnis muslim, memupus harapan umat dari mempelajari ilmu agama yang sahih. 

Aroma kapitalisasi di lembaga pesantren pun bukan tak mungkin menjadikan potensi para santri dibajak demi memenuhi kepentingan para pemilik modal. Dengan keterampilan yang diajarkan, berikutnya mereka akan dipekerjakan dengan janji-janji menghasilkan keuntungan besar untuk dirinya ataupun bagi pesantren yang menaunginya.

Dari sini jelas bahwa upaya kapitalisasi pesantren sejatinya adalah cara negara menjauhkan lembaga ini dari peran hakikinya, yaitu mencetak generasi ulama yang mampu membangkitkan pemikiran umat, terutama terhadap kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya saat ini.

Salah satu caranya adalah memberikan dana ke pondok pesantren dengan dalih pemberdayaan santri dalam sektor ekonomi. Upaya tersebut menjadikan penguasa sangat mudah untuk mengintervensi penyusunan kurikulum serta materi pembelajaran, terutama menghilangkan pembahasan yang berkaitan dengan jihad dan khilafah. 

Dengan demikian semakin jauhlah pemahaman Islam yang utuh dari benak generasi, khususnya mereka para calon ulama. Padahal semestinya dari lisan para ulamalah umat memahami Islam secara menyeluruh. 

Namun pada kenyataannya hari ini justru penguasa sendiri yang berupaya menghalang-halangi rakyat untuk paham ajaran agamanya. Bahkan secara terang-terangan mengubah orientasi pesantren dan menjadikannya roda penggerak perekonomian di tengah masyarakat.

Tentu hal yang demikian sangat berbeda bila Islam dijadikan aturan dalam bernegara. Agama ini sangat fokus dalam urusan pendidikan umatnya, sehingga penguasa bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok komunal ini. Apalagi dalam perkara wajib yaitu menuntut ilmu agama dan tsaqafah Islam.

Dalam pemerintahan Islam, pesantren didirikan sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, yang di dalamnya orang-orang belajar Islam secara mendalam. Melahirkan para ulama yang mendidik umat dan generasi menjadi pejuang pengubah peradaban. Mengembalikan kegemilangan Islam seperti yang pernah terjadi berabad-abad silam.

Pendidikan dalam Islam dijalankan dengan dasar akidah Islam. Dengan demikian orientasinya tidak akan berubah seperti dalam sistem kapitalisme sekuler. Para santri justru akan dimuliakan dengan diberikan fasilitas yang baik berupa asrama, biaya pendidikan gratis, serta uang saku yang memadai. 

Pondok pesantren pun akan dibangun dan dibiayai oleh pemerintah, bukan swasta atau perorangan seperti saat ini. Negara Islam memiliki anggaran yang sangat cukup untuk pengembangan pendidikan dari sisi fasilitas, sarana dan prasarana. Sehingga tidak perlu menggerakkan para santri untuk memiliki keterampilan tertentu yang pada akhirnya digenjot untuk menghasilkan cuan.

Dengan demikian pesantren akan fokus pada fungsi dan perannya sebagai pendidik umat, terutama untuk ilmu-ilmu keislaman. Bukan malah membelokkan orientasinya, apalagi memanfaatkannya sebagai penggerak roda perekonomian negara untuk menanggulangi kemiskinan.

Negara Islam sendiri memiliki kekayaan yang luar biasa dengan sumber daya alamnya yang melimpah. Juga didukung dengan sistem perekonomian Islam. Sehingga faktor kemiskinan dapat ditanggulangi secara mandiri oleh negara dengan berbagai mekanismenya yang khas. Oleh karena itu tidak perlu 'memerah' rakyat untuk menopang keuangan negara yang tengah sakit.

Hanya dengan aturan Islamlah umat dapat mencapai kesejahteraan dan kemuliaan yang hakiki. Karena penguasanya adalah para pemimpin yang amanah dan menyadari sepenuhnya bahwa kelak mereka akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah SWT. 

Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW. "Imam (pemimpin) adalah laksana penggembala, dan dia bertanggung jawab atas apa yang digembalakannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Wallahualam bissawab.


Oleh: Tatiana Riardiyati Sophia 
Pegiat Literasi dan Dakwah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar