Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

IPAK Menurun, Rakyat Tidak Peduli dengan Korupsi

Topswara.com -- Kasus korupsi makin menjamur. Namun, penanganannya makin buruk. Dan paradigma masyarakat kian acuh terhadap korupsi yang terus membelit di berbagai bidang. Fakta ini disajikan dalam data yang dirilis BPS (Badan Pusat Statistik) melalui survei IPAK (Indeks Perilaku Anti Korupsi) tahun 2024. 

Secara global, indeks IPAK mengalami penurunan selama 2 tahun terakhir. Pada tahun 2024, IPAK menduduki nilai 3,85. Sementara tahun 2023, nilai IPAK berada pada posisi 3,92 (cnbcindonesia.com, 16/7/2024). 

Data ini menunjukkan adanya penurunan sebesar 0,07 poin. Demikian disampaikan Amalia Adininggar Widyasanti, Plt. Kepala BPS. Skor ini pun meleset dari perkiraan awal, target 2024 yakni 4,14 poin. Lanjut Amalia.

Nilai IPAK menunjukkan ukuran yang merefleksikan sikap masyarakat terhadap perilaku antikorupsi di tengah masyarakat. Nilai ini ditentukan berdasarkan skala mulai dari 1 hingga 5. Semakin tinggi nilai IPAK, maka menunjukkan tingginya sikap antikorupsi. Dan sebaliknya, semakin rendah skor IPAK, masyarakat makin menerima dan mewajarkan sikap korupsi.

Penurunan nilai IPAK dari data yang tersaji, menunjukkan sikap masyarakat yang makin permisif terhadap kasus korupsi. Artinya masyarakat semakin terbuka dan tidak peduli dengan rentetan kasus korupsi yang tidak pernah berhenti.

Fakta Kapitalisme Demokrasi

Tindakan korupsi seolah menjadi tradisi. Serangkaian kasus yang tidak pernah dituntaskan dengan mekanisme yang cerdas membuat masyarakat makin tidak peduli dengan sikap korupsi. 

Keadaan ini pun diperparah dengan sistem sanksi yang lemah pada setiap kasus korupsi yang terjadi. Apalagi jika yang terlibat adalah para petinggi bermodal, kebanyakan kasus yang terjadi dibiarkan begitu saja tanpa solusi jelas. Kalaupun ada, sistem sanksi yang ditetapkan sangat ringan dan sama sekali tidak mampu menimbulkan efek jera.

Belum lagi, kongkalikong antara para pelaku dengan para pembuat kebijakan yang kian gencar dan tidak lagi dianggap tabu. Wajar saja, masalah korupsi semakin menjadi budaya dan dianggap biasa. Inilah dampak sistematis dari penerapan sistem demokrasi kapitalistik. 

Segala bentuk kebijakan yang terjadi diciptakan bukan untuk melindungi dan menjaga kepentingan rakyat. Justru yang ada, kebijakan yang diterapkan disesuaikan dengan kepentingan para penguasa dan pemilik modal. 

Mereka berlomba-lomba meraup keuntungan materi dari setiap wewenang yang dimiliki. Tidak sedikit kasus megakorupsi yang terungkap dan jelas-jelas merugikan negara. Namun sayang, tidak ada kebijakan tegas terkait hal tersebut. 

Dalam sistem demokrasi, setiap orang memiliki pemahaman bahwa banyak harta pasti berjaya. Mindset inilah yang membuat orang-orang menjadi gila harta dan kuasa, hingga melupakan aturan agama. Halal haram diterjang. Standar benar salah pun makin bubrah. Alhasil, para penguasa semakin buas mengejar dunia. 

Tidak hanya itu, proses pemilihan pemimpin dalam demokrasi, meniscayakan para pejabat untuk melakukan tindak korupsi. Karena setiap jabatan yang diraih, didapat dari sokongan modal (alias utang) yang tidak sedikit dari para pemodal dan oligarki. 

Otomatis saat penguasa terpilih menjadi pejabat pengurus rakyat, mau tidak mau harus balas budi dan bayar utang. Alhasil, segala bentuk kebutuhan rakyat dibabat habis untuk membalas budi. Betapa cacatnya sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan sebagai aturan hidup. 

Cacatnya aturan pasti melahirkan buruknya tata kelola. Demikianlah yang terjadi saat ini. Kehidupan kian memburuk karena konsep pengaturan yang tidak sesuai fitrah manusia. 

Islam, Sistem Amanah

Sistem Islam menetapkan kebijakan-kebijakan dan mekanisme pengaturan yang senantiasa memprioritaskan kepentingan dan layanan kepada seluruh rakyat. Pemimpin dan penguasa dalam sistem Islam dipilih atas dasar ketinggian iman, takwa, ilmu, amanah dan keahlian sesuai spesifikasi bidang layanan agar mampu optimal mengurusi umat. Syariat Islam memposisikan pemimpin sebagai raa'in (pengurus) dan junnah (perisai). 

Rasulullah SAW. bersabda, 
"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhari).

Dengan paradigma tersebut, pemimpin dengan iman dan takwa akan senantiasa menyandarkan pola pikir dan pola sikapnya sesuai dengan aturan syara'. Dengan konsep ini pula, pemimpin yang ada mampu terhindar dari kasus korupsi. 

Jika pun ada yang kedapatan korupsi, negara akan tegas menetapkan sanksi bagi pelaku dengan berbagai tahapan sanksi, mulai dari peringatan, hukuman penjara, pengasingan hingga hukuman mati tergantung pada kasus dan kerugian yang diakibatkannya. 

Dengan sistem sanksi yang tegas, akan melahirkan efek jera bagi pelaku dan menjadi pembelajaran bagi masyarakat secara umum, terutama bagi kalangan pemimpin rakyat. Dengan konsep ini, para pemimpin mampu melayani rakyat sepenuh hati dengan landasan iman dan takwa sebagai bentuk ketundukan pada Allah Azza wa Jalla. 

Dalam sistem Islam, kontrol sosial pun akan berjalan efektif. Karena setiap individu rakyat mampu cerdas membedakan antara konsep yang haq dan batil. Jika ditemukan pelanggaran hukum syarak maka kontrol sosial mampu menjadi pengawas dan pengendali yang efektif. 

Inilah strategi dan konsep Islam yang menjaga. Aturan syarak yang diterapkan sempurna dalam tatanan amanah dengan kelengkapan sistem sanksi tegas dan kontrol sosial yang senantiasa mengawasi.

Mekanisme tersebut hanya mampu diterapkan sistem Islam dalam institusi khilafah. Satu-satunya wadah yang mampu mewujudkan pengaturan amanah. Hanya dengannya, kepentingan rakyat terjaga. Rakyat sejahtera, pemimpin pun mulia. 

Wallahu a'lam bisshawab. 


Oleh: Yuke Octavianty 
Forum Literasi Muslimah Bogor 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar