Topswara.com -- Lagi-lagi harga bahan pangan dalam negeri naik. Sudah-lah pajak dan pengangguran meningkat, kini giliran harga sembako yang buat dompet menjerit. Seolah tidak ada habisnya masalah rakyat di negeri ini.
Tampaknya 'kesejahteraan' yang diiming-imingkan hanyalah retorika. Alhasil, rakyat dijadikan tumbal keserakahan hegemoni semata. Habis manis sepah dibuang, begitulah kiranya ketika tujuan mereka telah terpenuhi, rakyat dilupakan begitu saja.
Dilansir dari Antaranews.com (28/06/24), Menteri Perdagangan telah mengusulkan relaksasi harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng rakyat atau MinyaKita naik menjadi Rp15.700 per liter. Pihaknya saat ini sedang menunggu revisi Peraturan Menteri Perdagangan terkait ini. Alasan relaksasi ini dilakukan karena dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan harga biaya pokok produksi yang terus mengalami perubahan.
Sementara itu, Badan Pangan Nasional (Bapanas) memperpanjang lagi relaksasi harga acuan pemerintah (HAP) gula konsumsi. Langkah ini dilakukan hingga Peraturan Badan Pangan Nasional tentang Perubahan Kedua atas Perbadan Nomor 11 Tahun 2022 yang mengatur harga acuan pemerintah (HAP). Keputusan ini diambil untuk menjaga ketersediaan stok dan pasokan sebelum musim giling tebu dalam negeri. Selain itu, didasari oleh perkembangan nilai tukar rupiah yang semakin melemah saat ini (tirto.id, 30/06/24).
Kenaikan harga minyak goreng dan gula tentu akan menyulitkan rakyat. Apalagi kedua bahan tersebut merupakan bahan pokok (sembako) yang sering digunakan, baik dalam rumah tangga maupun tempat usaha.
Alih-alih menurunkan harga, pemerintah malah membuat kebijakan penaikan harga dan relaksasi. Bukan hanya itu, kenaikan harga juga akan menambah beban rakyat, karna memperbesar pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pasalnya, perekonomian rakyat sedang sulit, ditambah banyaknya PHK dan kurangnya lapangan kerja.
Nyatanya, fluktuasi harga tidak pernah menemui titik solusi penyelesaian. Di sisi lain penetapan HET dan HAP tidak pernah dijadikan acuan sehingga harga di pasaran seringkali melambung tinggi tidak terkendali. Jika memang lonjakan harga disebabkan oleh faktor produksi, lantas mengapa lonjakan terus berulang?
Mengingat harga pangan yang mengalami kenaikan pun tidak pernah kembali normal. Kenaikan harga ini justru menunjukkan bahwa ukuran pengambilan keputusan bukanlah pertimbangan kemaslahatan rakyat, tetapi untung atau rugi.
Begitulah kondisi ketika negara menerapkan sistem kapitalisme. Dalam kapitalisme negara hanya berperan sebagai regulator. Di mana regulasi tersebut tidak berorientasi pada kemaslahatan rakyat.
Justru yang mendapatkan keuntungan ialah para korporasi. Tata kelola pangan diserahkan kepada korporasi yang berorientasi keuntungan, bukan melayani kebutuhan rakyat.
Konsep ini berjalan beriringan dengan konsep ekonomi kapitalisme liberal, yakni mekanisme pasar bebas, sistem keuangan ribawi, dan lain sebagainya. Sehingga tercipta ketimpangan ekonomi yang memprihatinkan.
Inilah akar masalah dari carut marutnya tata kelola pangan. Selama tidak keluar dari cengkraman paradigma sistem ini, mustahil menemui titik penyelesaian persoalan secara tuntas. Bahkan bisa menimbulkan dampak yang lebih parah yakni ancaman krisis pangan.
Berbeda dengan Islam, dalam mengatur pangan Islam mampu mewujudkan pemenuhan pangan, termasuk jaminan stabilitas harga di pasaran. Hal ini sesuai dengan diembannya politik ekonomi Islam yang bertujuan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh rakyat.
Tentunya dalam pelaksanaannya wajib berada di pundak negara. Sebab dalam sistem Islam, negara bertugas sebagai pengurus rakyat bukan hanya sekedar regulator. Sehingga memungkinkan setiap individu dapat mengakses kebutuhannya secara mudah dan harga terjangkau.
Keberadaan daulah Islam sebagai pengemban dua peran yang sangat mulia, yaitu sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (pelindung). Rasulullah SAW. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR Muslim dan Ahmad).
Hadis lain berbunyi, “Imam/khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. Oleh karena itu, jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berbuat adil, ia akan memperoleh pahala; dan jika ia memerintahkan selain itu, ia akan mendapatkan dosanya" (HR Muslim).
Dengan demikian, sudah semestinya kita memperjuangkan diterapkannya kembali kehidupan Islam. Di bawah naungan Daulah Islam akan diberantas praktik monopoli maupun penimbunan yang dapat merusak keseimbangan pasar.
Sehingga rakyat bisa mengakses bahan pokok seperti minyak goreng, gula, beras, telur, dan bahan lainnya dengan harga terjangkau. Alhasil, ancaman krisis pangan memudar dan kesejahteraan rakyat bukan hanya fatamorgana.
Wallahua'lam bish-shawab.
Oleh: Watini, S.Pd.
Pegiat Literasi
0 Komentar