Topswara.com -- Bagai dua sisi mata uang. Manusia di era kapitalisme saat ini dihadapkan pada dua fenomena yang saling bertolak belakang. Di Gaza, lebih dari 495.000 jiwa menghadapi tingkat kerawanan pangan parah setelah agresi militer Israel 7 Oktober (detik.com, 11/72024).
Di sisi lain, fenomena food waste justru melanda Indonesia dan belahan dunia lainnya. Di Indonesia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengungkapkan Indonesia selalu kehilangan nilai ekonomi hingga 551 triliun karena terlalu banyak sisa makanan yang terbuang (suara.com, 3/7/2024).
Fenomena yang bertolak belakang ini tidak lepas dari gaya hidup hedonisme dan konsumerisme yang melanda dunia. Hedonisme dan konsumerisme yang lahir dari ideologi kapitalisme, mendorong manusia berlomba-lomba mengonsumsi makanan sekedar untuk kesenangan atau bahkan gaya hidup, bukan karena kebutuhan.
Akibatnya, manusia membeli dan mengonsumsi lebih dari apa yang dibutuhkan tubuhnya. Tidak heran jika akhirnya banyak makanan yang terbuang.
Tidak berhenti sampai disitu, fenomena food waste seringkali juga muncul karena penumpukan stok makanan atau salah tata kelola musim tanam dan panen. Akibatnya, muncul beberapa fakta food waste dengan alasan pengendalian harga pangan.
Distribusi Adalah Kunci
Selain karena gaya hidup, food waste juga muncul karena kesalahan persepsi dalam politik ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalisme menganggap kenaikan dan kelangkaan pangan di pasar terjadi karena kurangnya produksi, bukan pemerataan distribusi.
Akibatnya dalam sistem ekonomi kapitalisme, produksi akan digenjot sedemikian rupa hingga stok makanan surplus. Dari sini kemudian muncul persoalan lain. Stok makanan yang tidak didistribusikan dengan baik akan membuat makanan tak lagi layak konsumsi sebagaimana kasus pembuangan beras bulog secara besar-besaran beberapa waktu lalu.
Pada kondisi yang lain, stok makanan yang berlebihan memicu penurunan harga barang. Banyak produsen terutama di sektor pertanian, lebih memilih untuk membuang hasil panen daripada harus menjualnya dibawah ongkos produksi. Padahal, di wilayah lain banyak yang justru mengalami mal nutrisi karena kekurangan bahan makanan.
Fenomena tersebut tidak akan terjadi jika persepsi ketidakseimbangan stok dan harga makanan di pasar disesuaikan dengan pandangan politik ekonomi Islam. Islam memandang, permasalahan ketidakseimbangan ekonomi terjadi karena distribusi yang tidak merata di tengah-tengah masyarakat. Jika politik ekonomi Islam yang diterapkan, maka fenomena food waste akan dapat ditekan.
Islam Menekan Syahwat Ekonomi
Di sisi lain, persoalan hedonisme dan konsumerisme yang melahirkan food waste dapat dicegah dengan diterapkannya Islam dalam kehidupan. Ideologi Islam yang memiliki dimensi ruhiyah dan politis, mampu menyatukan sisi duniawi dan keimanan. Wajar jika sistem Islam mampu melahirkan generasi yang berkepribadian Islam.
Melalui sistem pendidikan Islam, manusia dibiasakan membelanjakan harta karena dorongan keimanan dan ketakwaan. Karenanya akan dibangun kesadaran bahwa setiap pemerolehan dan pembelanjaan harta akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah. Hasilnya, dorongan konsumsi adalah karena kebutuhan, bukan sekedar syahwat.
Di sisi lain, Islam juga akan mendorong pemerataan harta melalui mekanisme zakat dan sedekah serta melarang penimbunan harta. Dengannya, penyiaan harta, kelaparan dan mal nutrisi akan dapat dicegah. Kehidupan semacam ini hanya akan terwujud dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh di semua aspeknya. Allahu a'lam.
Oleh: Ranita
Aktivis Muslimah
0 Komentar