Topswara.com -- Lagi-lagi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy mengeluarkan pernyataan yang melukai nurani. Kalau sebelumnya ia mewacanakan korban judi online layak mendapatkan bansos, kini ia mendukung mahasiswa membayar uang kuliah dengan pinjaman online (pinjol).
Menko PMK, Muhadjir Effendy menilai adopsi sistem pinjaman online (pinjol) melalui perusahaan P2P lending di lingkungan akademik adalah sebagai bentuk inovasi teknologi. Muhadjir bahkan meyakini keberadaan pinjol di lingkungan akademik bisa membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan membiayai pendidikannya. (tirto.id, 3/07/2024)
Muhadjir juga mengungkapkan sudah ada 83 perguruan tinggi yang menggunakan mekanisme pembayaran usng kuliah menggunakan pinjaman online yang resmi bekerjasama. Muhadjir bahkan mendukung wacana student loan atau pinjaman online (pinjol) kepada mahasiswa guna membayar uang kuliah.
Ironisnya DPR RI justru mendorong Kemendikbudristek RI menggaet BUMN dalam upaya pemberian bantuan dana biaya kuliah untuk membantu mahasiswa membayar uang kuliah, termasuk dengan pinjol. Padahal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri mengakui keberadaan pinjaman online (pinjol) menjadi tantangan masa depan yang harus diwaspadai.
Kebijakan dilegalkannya kerjasama perusahaan pinjaman online (pinjol) dengan perguruan tinggi mengkonfirmasi lepasnya tanggung jawab negara dalam mewujudkan pendidikan yang murah, berkualitas untuk seluruh rakyat. Komersialisasi pendidikan dan perguruan tinggi kini kian nyata.
Pernyataan-pernyataan dukungan para pejabat terhadap wacana student loan jelas menunjukkan paradigma kepemimpinan dalam sistem sekuler kapitalisme yang malah mendukung pengusaha pinjol. Tentu saja ini menjadi jebakan mahasiswa di masa depan dan dampaknya adalah ketidakstabilan di tengah-tengah masyarakat.
Padahal dengan kekayaan alam yang melimpah bukan suatu hal yang mustahil negara bisa menggratiskan biaya pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi untuk seluruh rakyatnya baik yang miskin maupun yang kaya. Sayangnya sumberdaya alam yang berlimpah justru banyak dikuasai asing.
Padahal kalau negara benar-benar serius dalam mempersiapkan generasi yang berkualitas tentu negara akan memberikan investasi besar dalam pembiayaan pendidikan dengan mengambil pos dari hasil pengelolaan sumberdaya alam. Bukan malah melimpahkan pembiayaan pada lembaga pinjaman online (pinjol) yang jelas dananya terbatas dan berbunga.
Dalam sistem Islam, negara adalah pihak yang bertanggung jawab atas rakyat dalam semua aspek kehidupan, termasuk mewujudkan kesejahteraan dan komitmen dalam mewujudkan pendidikan yang murah dan berkualitas.
Itulah kenapa di dunia Islam, pada abad ke-7 hingga 13 M kesadaran khalifah mengeluarkan biaya yang besar untuk pendidikan sungguh menakjubkan.
Dimana tujuan pembiayaan pendidikan bukan mencari keuntungan yang bersifat material atau komersial, melainkan semata-mata untuk mewujudkan umat terbaik yang berilmu pengetahuan, beriman dan bertakwa serta memberikan manfaat bagi kemajuan peradaban.
Para khalifah tidak mengharapkan keuntungan duniawi dari biaya pendidikan yang dikeluarkannya. Masyarakat yang belajar di berbagai lembaga pendidikan Islam mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi biayanya ditanggung oleh negara alias gratis.
Bahkan sebagian dari pengikut Mazhab Abu Hanifah memasukkan para pelajar yang menuntut ilmu sebagai bagian dari orang yang sedang di jalan Allah (Sabilillah) yang berhak mendapatkan bagian zakat,. Walaupun pelajar tersebut tergolong orang kaya.
Bahkan sumber pembiayaan pendidikan yang paling menonjol dalam sejarah Islam adalah berasal dari wakaf orang-orang yang kaya atau mampu. Di dalam sejarah Islam, wakaf mengalami perkembangan yang signifikan.
Pada saat itu bukan hanya tanah pertanian yang diwakafkan, tetapi juga rumah, toko, kebun, lesung, pencelup, pabrik roti, kantor dagang, pasar, tempat potong rambut, tempat pemandian, gudang hasil pertanian, pabrik penetasan telur dan lain-lain.
Dalil yang menjadi dasar dari wakaf ini adalah hadits Rasulullah SAW: "Jika seseorang meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal. Pertama sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang shalih," (HR. Muslim)
Walhasil negara tidak boleh berlepas diri dari tanggungjawabnya dalam menjamin pemerataan pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi untuk semua rakyatnya. Kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan saat ini tidak terlepas dari sistem kapitalisme sekulerisme yang diterapkan negeri ini.
Sudah saatnya kita kembali pada sistem Islam dalam bingkai khilafah yang terbukti mampu mewujudkan sistem pendidikan murah bahkan gratis serta mampu mewujudkan generasi mumpuni yang beriman bertakwa serta mampu menyelesaikan berbagai problematika yang dihadapi umat dan negara.
Wallahu a'lam bi ash shawab.
Oleh: Alfiah, S.Si
Aktivis Muslimah
0 Komentar