Topswara.com -- Tergusur dan menangis, itulah gambaran kondisi yang dialami warga adat di Provinsi Papua yang merasakan kesengsaraan hidup saat ini. Hutan dan tanah adat yang selama sejak dari leluhur mereka hingga kini dijadikan sebagai tempat hidup, bekerja untuk mencari makan, dibabat habis perusahaan yang akan membuka lahan perkebunan sawit di sana.
Dilansir dari tempo.co (5/6/2024). Pejuang lingkungan dari Suku Awyu, Hendrikus Woro, menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena memberikan izin kelayakan lingkungan hidup kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL). Izin tersebut mencakup lahan seluas 36.094 hektare, lebih dari setengah luas DKI Jakarta. Lahan tersebut berada di hutan adat milik marga Woro, yang merupakan bagian dari Suku Awyu.
Meski begitu, upaya hukum yang ditempuh Hendrikus ditolak mentah-mentah pengadilan tingkat pertama dan kedua. Kini, harapan terakhir Suku Awyu untuk melindungi hutan adat mereka, yang menjadi warisan nenek moyangleluhurnya dan sebagai sumber kehidupan bagi marga Woro, berada di tangan lembaga peradilan tertinggi Mahkamah Agung.
Uapaya perampasan lahan hutan adat milik warga pribumi Papua oleh perusahaan perkebunan sawit tersbut juga didukung pemerintah dengan mengeluarkan Hak Guna Usaha (HGU). Hal itu tentu saja sangat merugikan masyarakat adat di sana.
Karena sesungguhnya warga adatlah sebagai pemilik yang berhak penuh atas hutan adat tersebut, seba mereka sebagi pribumi yang telah menempatinya dari sejak leluhurnya. Perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL). tersebut sama sekali tidak punya hak atas hutan tersebut. Apalagi hutan Papua merupakan salah satu benteng terakhir hutan Indonesia setelah hutan di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera telah dibabat habis perusahaan asing atas izin pemerintah lewat berbagai regulasi.
Sudah menjadi hak masyarakat adat untuk mempertahankan hutan tempat ia hidup dan berkembang.
Jika merujuk Undang-Undang Dasar 1945 yang tertera dalam pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dari undang-undang ini sudah sangat jelas, terkaait pengelolaan SDA di negeri ini. Harusnya ini dijalankan pemerintahan setiap rezim yang ada. Sebab ini amanat UUD 1945. Tetapi pada faktanya tidak dijalankan bahkan malah dilanggarnya/ditabrak.
Padahal negara telah mengatur sedemikian rupa kekayaan alam untuk rakyatnya, namun demi kepentingan pribadi dan kelompok mampu melanggar konstitusi yang telah dibuat.
Artinya negara tidak betul-betul mengurus rakyatnya. Negara hanya sebagai regulator. Rakyatlah yang menjadi korbannya. Rakyat hanya mendapatkan sampah yakni tercemarnya lingkungan hidup baik udara, air sungai dan laut, serta tanah.
Dalam paradigma kapitalisme hutan adalah salah satu SDA yang berstatus kepemilikan umum. Sehingga mereka dalam hal ini pemerintah berhak meliberalisasi dan memprivatisasi hutan selama mereka punya uang (modal). Berbeda sekali dengan Islam yang memposisikan hutan sebagaimana sabda Rasulullah SAW., “Manusia berserikat dalam kepemilikan atas tiga hal, yakni air, padang gembalaan, dan api.” (HR Ahmad).
Hutan adalah kepemilikan umum, yang berarti tidak boleh dikuasai individu. Islam mengatur kepemilikan umum ini hanya boleh dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat selaku pemiliknya. Untuk itu, secara syar’i, negara tidak boleh memberikan kewenangan pengelolaan kepada swasta tanpa andil sama sekali oleh negara.
Selanjutnya, dalam hal pengelolaan lahan, setiap individu boleh memiliki lahan sesuai jalan yang memang dibenarkan syariat. Pemilik lahan harus mengelolanya secara produktif, tidak boleh ditelantarkan lebih dari tiga tahun. Jika dibiarkan lebih dari tiga tahun, status lahan tersebut berubah menjadi tanah mati. Dengan begitu, negara berhak mengambil alihnya untuk negara berikan kepada siapa saja yang mampu menggarapnya, minimal memagarinya.
Oleh: Alfia Purwanti
Analis Mutiara Umat Institute
0 Komentar