Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Undang-Undang KIA, Kebijakan Racun Berbalut Madu

Topswara.com -- Isu seputar perempuan memang tidak pernah habis untuk dikupas. Berbagai kebijakan ditelurkan khusus untuk menjawab persoalan perempuan. Terbaru, DPR RI telah menyetujui RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan menjadi undang-undang. 

Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker, Indah Anggoro Putri, menyebutkan bahwa pengesahan RUU KIA menjadi undang-undang merupakan wujud konkret dari komitmen DPR dan Pemerintah untuk menyejahterakan ibu dan anak menuju Indonesia emas. 

Salah satu poin yang diatur dalam UU KIA adalah masalah cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja. UU KIA mengatur bahwa setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. 

UU KIA ini juga memutuskan bahwa selama masa cuti tersebut, mereka berhak atas upah yang dibayar penuh untuk 3 bulan pertama dan bulan keempat. Sementara pada bulan kelima dan keenam, mereka mendapat 75 persen dari upah. (news.detik.com, 7/6/2024)

Racun Berbalut Madu

Pengesahan RUU KIA menjadi UU dianggap semua kalangan akan memberikan angin segar bagi perempuan untuk tetap bisa berkarir. Perempuan yang bekerja akan mendapatkan cuti melahirkan lebih panjang sehingga setelahnya dengan lebih baik serta tidak khawatir dengan masalah pekerjaannya. Kebijakan ini digadang-gadang mampu memberikan solusi terbaik bagi masalah perempuan.

Namun, jika kita mencermati lebih lanjut, kebijakan ini hanyalah aturan yang dibuat untuk melanggengkan keberadaan perempuan sebagai mesin penggerak ekonomi. Dalam sistem kapitalisme saat ini, perempuan merupakan objek strategis yang harus diberdayakan untuk menguatkan ekonomi. 

Dengan keberadaan UU tersebut diharapkan tidak ada lagi wanita yang memutuskan keluar dari pekerjaannya dengan pertimbangan kelahiran dan penyusuan.

Kapitalisme Merusak Generasi

Kebijakan memperpanjang masa cuti bekerja menjadi 6 bulan tentunya tak cukup untuk ibu mendampingi anaknya dalam masa tumbuh dan kembangnya. Anak-anak membutuhkan pengasuhan terbaik dari ibu hingga mumayyiz. Peran ibu sebagai pendidik utama dan pertama tentunya tak akan bisa digantikan atau dialihkan kepada pihak lain. 

Namun saat ini, fitrah dan peran ibu telah rusak karena tuntutan yang mendorong perempuan keluar rumah untuk bekerja sehingga tidak bisa maksimal dalam mengasuh buah hatinya. Tuntutan ekonomi membuat para ibu terpaksa ikut menanggung beban keluarga dalam mencari nafkah. 

Penghasilan ayah tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga sehingga ibu pun harus membantu dengan ikut bekerja. Padahal, mengasuh anak dan merawat keluarga saja sudah sangat melelahkan. Lalu, bagaimana ibu bisa mengasuh anak-anaknya dengan baik bila ia juga harus menjadi tulang punggung keluarga?

Tidak sedikit para ibu yang bekerja sampai harus menyerahkan tanggung jawab pengasuhan kepada pihak lain. Padahal, belum tentu orang lain tersebut mampu menjalankan tugas pengasuhan tersebut dengan baik. 

Ibulah yang paling memahami kondisi anak-anaknya. Tangan ibu berbeda dengan tangan orang lain. Konsekuensinya, anak-anak tidak mendapatkan pengasuhan dan perhatian yang seharusnya mereka dapatkan dari seorang ibu. 

Tidak heran bila saat ini banyak sekali kita temui remaja dengan berbagai kenakalannya. Miras, tawuran, bullying, pergaulan bebas, dan narkoba menjadi hal biasa dalam generasi muda kita. Hal ini memang tak bisa dilepaskan dari peran keluarga, lingkungan, sekolah, dan negara. 

Keluarga yang menjadi benteng terakhir terhadap perlindungan generasi amat rapuh. Peran ibu sebagai pendidik generasi terus terancam. Bisa dibayangkan bagaimana nasib generasi di masa mendatang jika hal ini terus berlangsung.

Islam Menyejahterakan Perempuan

Islam adalah agama sempurna yang mempunyai aturan lengkap dalam mengatur segala urusan manusia. Islam memiliki aturan jelas di mana kewajiban mencari nafkah dibebankan di pundak laki-laki. 

Sementara, perempuan berperan sebagai umm wa robatul bait, pengurus dan pengatur rumah. Dengan aturan yang telah digariskan ini, perempuan yang fitrahnya adalah tulang rusuk tak dipaksa atau dituntut menjadi tulang punggung. 

Islam mewajibkan ibu menjadi pendidik pertama dan utama bagi putra putrinya. Ibu sebagai pendidik yang meletakkan fondasi akidah yang kuat pada generasi awal sehingga terbentuk generasi emas untuk terwujudnya peradaban gemilang. 

Peran ibu yang mulia ini tentunya akan bisa berjalan dengan baik bila ditopang dengan sistem ekonomi yang baik pula. Kaum perempuan akan mampu fokus menjalankan tugasnya tanpa diganggu dengan desakan ekonomi yang mencekik keluarga. 

Sistem ekonomi yang memungkinkan para lelaki bisa bekerja dalam lapangan pekerjaan yang luas disediakan negara. Negara juga menjamin kebutuhan pokok rakyat secara tidak langsung melalui ketersediaan dan keterjangkauan bahan-bahan pokok. 

Harga-harga bisa dijangkau oleh semua kalangan. Dengan begitu, para suami mampu menjalankan peran dan kewajibannya sebagai pencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarganya secara layak. 

Inilah sistem Islam. Sistem yang diturunkan oleh Sang Pencipta alam. Sistem ini berisi seperangkat aturan yang mengatur masalah ekonomi, politik, pergaulan, pemerintahan, hukum, dan sanksi sehingga mampu membawa kebaikan bagi setiap insan, termasuk kaum perempuan. 

Islam tidak hanya menyejahterakan, tetapi juga menjaga dan melindungi kehormatan perempuan secara sempurna. Hanya dengan sistem Islamlah, perempuan mulia dengan semua peran fitrahnya, bukan dari besarnya uang yang dihasilkan.

Wallahu a’lam bishshawwab.


Oleh: Esti Dwi
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar