Topswara.com -- Pemerintah mengeluarkan peraturan terbaru melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang pelaksanaan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Sejak ultimatum ini dikeluarkan banyak sekali polemik, bahkan lebih banyak menuai penolakan serempak. Mengapa?
Sasaran Tapera bukan hanya pegawai atau buruh, jajaran para pengusaha pun menolak pemotongan gaji pekerja sebesar 2,5 persen dan 0,5 persen dari perusahaan diperuntukkan membantu pembiayaan pembelian rumah rakyat ini. Agaknya sedikit menghibur atau memang rakyat ini hiburan penguasa ketika tidak lagi ada pemasukan negara?
Beberapa yang menyoroti di antaranya, Koordinator Dewan Buruh Nasional Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos mengatakan Tapera akan berakhir menjadi beban tambahan dari pemotongan gaji yang diterima buruh atau pegawai.
Selain itu, Said Iqbal dari Presiden Partai Buruh menyoroti dengan menghitung iuran Tapera sebesar 3 persen tidak masuk akal, karena kejelasan program ini tidak realistis. Justru pungutan ini akan menjadi beban baru bagi buruh dan rakyat, terlebih dalam kurun lima tahun terakhir upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30 persen atau selama 3 tahun terakhir upah buruh tidak naik atau upahnya memang murah sekali dibanding dengan kebutuhan yang semakin mahal (sindonews.com, 29/05/2024).
Kapitalisasi Tanggung Jawab Negara
Rakyat kian disasar dengan berbagai iuran, pungutan, potongan atas gajinya, pajak. Ditambah pula kebutuhan yang kian melambung tinggi harganya. Rakyat semakin ditimpa dengan beban yang tak masuk akal.
Secara perhitungan iuran dari gaji untuk Tapera tidak bisa mewujudkan rumah impian rakyat, justru ambigu dan mimpi belaka. Gaji yang tidak seberapa untuk iuran tabungan perumahan yang tidak detail rinciannya. Rakyat dimimpikan lagi keinginannya.
Kebijakan yang kian memberatkan rakyat ini sebagai bentuk betapa perhitungannya penguasa negara terhadap rakyatnya. Kepemilikan rumah bagi rakyat yang memang bermimpi memiliki rumah sendiri.
Rumah untuk mencetak generasi, membina keluarga rabbani, tidak bisa diraih. Sebab berjalannya iuran jika memang nyata dipungut ini justru semakin menjadikan rakyat terpuruk. Tabungan mimpi yang menyusahkan sekali.
Mengapa seolah rakyat memohon dikasihi
untuk tidak dipalak oleh negaranya? Bagaimana tidak dengan istilah dipalak, segala jenis pungutan dan iuran ini justru lebih banyak daripada daftar kebutuhan harian yang harus dipenuhinya?
Sehingga Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat ini sejatinya bukan solusi kepemilikan rumah rakyat, justru menambal lubang dan menguntungkan pihak tertentu saja. Mengapa rakyat iuran untuk tanggungjawab yang harusnya dipenuhi oleh negara kepada rakyatnya.
Kesan Tapera juga tidak lebih dari sekadar iuran yang tidak menjanjikan. Sebagai rakyat merasa merugi, sebagai penguasa negara mencoba ambil inisiatif? Tidakkah ini tidak tepat sasaran yang terencana?
Mengapa bukan negara saja yang mewujudkan rumah dan rakyat menikmati fasilitas dari negara?
Namun sayang, sepertinya ini hanya isapan jempol belaka, bahkan jauh panggang dari api. Iuran, pungutan, dan segala macam yang harus ditanggung rakyat ini menandakan bahwa negara tidak mau rugi. Jual beli tanggung jawab yang mahal di tengah pemerintahan hari ini.
Wajar, sistem pemerintahan demokrasi hari ini saja mahal. Maka mahal pula untuk hidup dan menghidupi rakyatnya. Tidak ada kata murah dan cuma-cuma. Karena butuh balik modal, sehingga adanya untung-rugi belaka.
Demokrasi merupakan alat pemerintahan kapitalisme. Asas kapitalisme adalah manfaat atau untung rugi. Sehingga selaras dengan realita hari ini.
Penguasa dengan rakyatnya, tanggung jawab yang dihitung dengan untung ruginya. Menjadi bukti nyata pula negara sejatinya tidak memiliki pengaturan penyediaan rumah bagi rakyatnya. Gagal memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Kebutuhan rumah pun menjadi hal yang mahal, padahal rumah bagian dari kebutuhan pokok bagi rakyatnya. Akan tetapi, sekarang rumah seperti kebutuhan sekunder karena dipaksa keadaan yang sangat berat.
Islam Menyejahterakan Rakyat
Rumah menjadi bagian dari kebutuhan primer atau pokok, dalam hal ini seperti pangan dan sandang. Islam memiliki aturan dalam pemenuhan kebutuhan ini.
Dalam tatanan negara yang menerapkan sistem Islam. Bukan hanya spiritual yang diunggulkan. Semua harus sama sesuai porsi dalam pandangan hukum syara. Termasuk pengaturan negara terhadap rakyatnya.
Islam memiliki landasan dan standar yang jelas yakni meraih ridha Allah SWT. Dalam mengatur rakyat, sebagai pemimpin juga tidak jauh dari hal tersebut. Pemimpin dalam Islam bertanggung jawab penuh terhadap rakyat secara sempurna. Negara dalam Islam adalah pengurus rakyatnya. Pemimpin spesifik dalam Islam juga menjadi penjaga agama dan pengatur urusan dunia, termasuk negara.
Mengingat pertanggungjawaban sebagai pemimpin yang adil sesuai syariat, haruslah mengatur rakyat sesuai syariat pula. Pemimpin adil, bijaksana, berwibawa, saleh dan takut kepada Tuhannya hanya ada dalam sistem Islam, selain itu tidak ada sistem yang bisa diharapkan.
Imam al-Mawardi menjelaskan tentang kepemimpinan dalam Islam, sebagai tujuan mulia yaitu likhilafatin nubuwwah fii harasatid diin wa siassatid dunyaa. Yaitu, untuk melanjutkan misi kenabian dalam menjaga dan mengamalkan agama, serta untuk memimpin atau mengatur urusan manusia di dunia.
Artinya, kepemimpinan dalam Islam bukanlah hanya urusan horizontal seseorang dengan sekelompok orang yang dipimpinnya, atau mengurusi kepentingannya saja. Namun juga mengurusi seseorang secara vertikal, terikat dengan Rabb-nya.
Dalam buku Nidzhamul Islam, membahas mengenai Rancangan undang-undang dasar sub-bab sistem ekonomi, ditegaskan bahwa seluruh kebutuhan pokok setiap individu masyarakat harus dijamin pemenuhannya per individu secara sempurna. Juga harus dijamin kemungkinan setiap individu untuk dapat memenuhi kebutuhan sekunder semaksimal mungkin. Ada mekanisme yang jelas untuk mewujudkan kemaslahatan rakyatnya.
Sebab masalah ekonomi sejatinya terletak pada distribusi harta dan jasa kepada seluruh individu masyarakat. Masyarakat diberi peluang untuk memanfaatkannya dan memilikinya. Juga diatur hak kepemilikan dengan jelas.
Sehingga negara tidak akan memeras rakyat, atau membebaninya. Negara tidak akan menjadi pecundang mengorbankan rakyat untuk memenuhi kebutuhan pemasukan negara. Jika terpaksa pun negara kosong pemasukan maka tidak dibebankan semua kepada rakyat.
Inilah pengaturan Islam yang syamil wa kamil, sempurna dan menyempurnakan. Solusi permasalahan umat hari ini ada pada Islam. Umat butuh sistem Islam yang menaunginya untuk diterapkan dalam negara.
Tidak ada lagi rakyat yang merasa kehilangan kepemimpinan penguasanya, tidak ada lagi rakyat yang termiskinkan, terlunta, apalagi merana di negaranya sendiri. []
Oleh: Nadia F. Lutfiani
(Pendidik, Aktivis Dakwah)
0 Komentar