Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Perempuan dalam Pusaran Kesetaraan Gender

Topswara.com -- Membicarakan masalah perempuan seperti tidak memiliki garis finish. Mirisnya masalah perempuan saat ini seperti bola salju yang jika dibiarkan akan makin membesar dan dapat menghancurkan sekitarnya. 

Ide kesetaraan yang katanya sebuah solusi dan telah diterapkan sampai dua abad lamanya belum juga menampakkan hasil yang berarti. Sebaliknya, masalah perempuan kian mengkhawatirkan dimana fenomena kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat hingga plosok negeri.  

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) NTT menyatakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak 2022 tercatat ada sekitar 50 kasus, dan ironisnya tahun 2023 mengalami kenaikan yang cukup signifikan sebanyak 50 persen yaitu menjadi 100 kasus (Lintas BinMafo, 14 Mei 2024). 

Salain itu Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengungkapkan secara umum data kekerasan terhadap perempuan dari Komnas Perempuan, Lembaga Layanan dan Badan Peradilan Agama (Badilag) mengalami penurunan 55.920 kasus dibandingkan tahun 2022 yaitu 401.975 dari 457.895 kasus. 

Namun masyarakat harus tahu bahwa kasus ini adalah fenomena gunung es, dimana masih banyak kasus yang belum ditemukan (Kompas.com. 07 Maret 2024). 

Meskipun data berbicara bahwa kasus perempuan menurun, kita tidak bisa menutup mata bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan masih saja terjadi. Harus kita pahami bahwa angka kasus mencapai empat ratus ribu lebih bukanlah nominal yang sedikit.

Berbagai kisah nyata yang telah nampak di depan mata cukup menjadi bukti kegagalan dari ide kesetaraan yang selalu digaungkan. Namun, pengusung ide kesetaraan selalu saja meyakinkan masyarakat dunia bahwa akar masalah perempuan saat ini adalah tidak adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, sehingga mengajak para perempuan untuk menuntut hak mareka agar disamakan dengan laki-laki. 

Ajakan yang ditawarkan para pengusung kesetaraan seperti sangat menggiurkan, namun pada akhirnya akan blunder dan menyerang para perempuan itu sendiri. 

Mengatas namakan HAM menjadi pembenaran kebebasan berperilaku, mereka selalu mengatakan “my body my otority” mengumbar aurat dimana-mana, namun ketika dilecehkan mereka tidak terima. Bukankah ketika kita ingin dihargai hargailah diri kita terlebih dahulu.

Laki-laki bisa bekerja perempuan juga harus bekerja, agar tidak berpangku tanggan terhadap laki-laki. Menjadi independent woman adalah impian wanita zaman sekarang. Akibatnya banyak perempuan yang tidak butuh laki-laki atau menikah, karena dia merasa bisa menghidupi dirinya sendiri. 

Alhasil, karena banyak independent woman dan sibuk berkarir sehingga muncullah fenomena waithood dan childfree. Jika hal ini dibiarkan maka beberapa tahun mendatang Indonesia akan mengalamai penurunan angka pernikahan dan angka kelahiran, generasi muda akan punah. 

Indonesia tentu tidak ingin mengalami nasib yang sama seperti Jepang, yang mana populasinya terus mengalami penurunan, bahkan sampai muncul “kodokushi” kondisi seseorang mati dalam kesendirian dan beberapa hari baru ditemukan karena tidak memiliki keluarga dan sanak saudara. 

Bagi perempuan yang sudah menikah tidak sedikit menjadi istri yang “nusyuz” karena merasa bisa mencari nafkah sendiri sehingga menjunjung ego lebih tinggi daripada suami. Akhirnya tidak sedikit rumah tangga yang berakhir dengan perceraian. 

Barat berhasil menjebak para perempuan dengan kata kesetaraan terkesan “apik” justru yang sebenarnya adalah racun tidak hanya merusak namun juga membunuh. Dengan nama pemberdayaan perempuan dan demi kemajuan perempuan, Barat sebenarnya sedang mengeksploitasi perempuan habis-habisan. 

Barat merenggut peran seorang ibu dan marwah perempuan dunia. Berapa banyak anak-anak mengalami motherless karena ibunya terpaksa harus bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup. Berapa banyak perempuan kehilangan marwahnya demi pekerjaan yang harus mengumbar aurat, tampil di pangung menjadi tontonan para lelaki yang bukan mahram. 

Pada akhirnya mereka hanya diupah dengan harga yang sangat murah, anehnya tidak sedikit perempuan yang merasa bangga karena mereka merasa memiliki bakat atau kemampuan atau setidaknya mereka memiliki pekerjaan daripada “hanya” ibu rumah tangga. Lagi hanyalah Barat yang diuntungkan, Barat mengeluarkan modal kecil (upah murah) dan untung yang tidak kecil. 

Perempuan sudah terjebak arus kesetaraan gender, terlebih hidup susah dalam sistem kapitalisme dan menjadi pembenaran karena didukung dengan sistem sekulerisme. Kesetaraan gender hanyalah kedok untuk menutupi segala dosa-dosa yang telah dilakukan oleh Barat kepada perempuan. 

Biang kerok kerusakan dan masalah perempuan adalah buah penerapan sistem kapitalis sekuler liberal. Pada akhirnya manusia hanya mendewakan uang, bagaimana bisa mendapatkan uang dengan jalan apapun tanpa melihat bagaimana Islam mengatur. Manusia memiliki perilaku yang bebas bagai binatang kelaparan, menuruti hawa nafsu jahatnya tanpa dapat mengontrol. 

Kesetaraan gender dalam Islam tidak ada, perempuan dan laki-laki sudah memiliki aturan yang pas sesuai dengan fitrah mereka. Sebagai seorang manusia ciptaan Allah, tentu segala sesuatunya sesuai dengan aturan Allah. Kita tidak bisa berbicara karena HAM lalu bisa bebas membuka aurat, sebagai hamba Allah maka perempuan wajib menutup aurat, mutlak tidak bisa tidak. 

Terkait perempuan bekerja, dalam Islam boleh selama suami atau ayah mengizikan dengan beberapa syarat seperti tidak mengumbar aurat dan ikhtilat. Selain itu, yang harus dipahami perempuan bekerja di dalam Islam tujuannya tidak untuk menari nafkah, namun lebih kepada aktualisasi diri. Kedamaian bagi perempuan hanya butuh penerapan sistem Islam, mengatur kehidupan manusia dengan aturan Allah. 

Akidah dan ketakwaan yang selalu dijaga oleh negara menjadi benteng setiap manusia agar tidak berperilaku bebas menuruti hawa nafsu setan. Allah berfirman; “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustaka (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatan-perbuatan mereka”. {QS. Al-A’raf (7):96}.


Oleh: Siti Natijatul Pu'at, M.Pd.
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar