Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Otak-atik Aturan demi Jabatan?

Topswara.com -- Putusan MA mengenai penghapusan batas usia syarat calon kepala daerah kembali menuai polemik, serupa putusan MK nomor 90 yang memuluskan Gibran menuju Pilpres 2024, kental nuansa politik. MA hanya butuh waktu tiga hari untuk mengabulkan gugatan Ketua Partai Garuda terkait hal tersebut. 

Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menduga, putusan MA tersebut demi memuluskan Kaesang maju kontestasi Pilkada 2024. Putusan MA ini makin memperkuat tentakel kekuasaan Presiden Jokowi diakhir masa jabatannya (nasional.okezone.com, 2/6/2024). 

Demi melanggengkan kekuasaan aturan pun diutak-atik sesuka hati. Tak berlebihan bila netizen memplesetkan istilah MK menjadi Mahkamah untuk Kakak dan MA menjadi Mahkamah untuk Adik.

Demokrasi Jalan Memuluskan Kepentingan

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang tegak diatas akidah (mabda) sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Mabda ini mengakui adanya Sang Pencipta, namun Tuhan diibaratkan seperti tukang pembuat jam. Setelah manusia tercipta, tugas Tuhan selesai, manusia diberi kebebasan untuk membuat aturan hidupnya sendiri. 

Manusia, fitrahnya tamak, rakus dan egois, hanya berpikir kepentingan diri, keluarga dan kroninya. Hal tersebut difasilitasi dalam sistem demokrasi yang memberi wewenang kepada manusia untuk membuat aturan. 

 Logis, ketika membuat aturan akan diutak-atik, diubah sesuai kepentingan, cuan dan kedudukan. Tampak pada putusan MK dan MA yang kontroversial, agar tetap terus berkuasa, demi melanggengkan politik dinasti. 

Menurut Syekh Taqiyyudin An-Nabhani, aturan dalam sistem demokrasi tidak tetap, akan senantiasa berubah. Fakta terindra aturan diubah-ubah untuk memuluskan kepentingan penguasa. 

Itulah mengapa, sistem demokrasi tidak sesuai dengan fitrah manusia. Karena akal manusia yang lemah dan terbatas sehadusnya tidak layak diberi wewenang membuat aturan. Hal yang mustahil jika Tuhan berkuasa menciptakan manusia, namun dianggap tidak mampu membuat aturan untuk mengatur kehidupan manusia. Tidak berlebihan jika dikatakan sistem demokrasi, sistem yang batil, rusak dan merusak.

Ongkos politik dalam sistem demokrasi juga mahal. Seorang kepala daerah dipilih melalui pilkada yang biayanya tidak murah. Biaya terendah maju pilkada adalah Rp 20 milyar (kompas.com, 18/9/2022). 

Seorang yang ingin mencalonkan diri harus berkantong tebal, jika tidak punya modal maka harus mencari pemodal untuk membiayainya. Tidak ada makan siang gratis. Hal ini menjadi celah kepala daerah akan melakukan korupsi untuk mengganti ongkos politik yang mahal. Atau ketika berkuasa akan mengabdi pada oligarki yang telah membiayainya meraih kursi jabatan.

Aturan Islam Bersifat Tetap

Islam adalah mabda atau ideologi yang tegak diatas akidah Islam. Sistem Islam sesuai fitrah manusia, mengakui kelemahan dan keterbatasan manusia, sehingga aturan tidak mungkin datang dari manusia itu sendiri. Maka dalam Islam tegas, manusia tak layak buat aturan, yang berhak hanya Sang Mudabbir, Allah Pencipta manusia, Zat yang nir kepentingan.

Islam mempunyai mekanisme yang baku bagaimana mengangkat kepala daerah. Kepala daerah adalah wali (gubernur) dan amil setingkat bupati adalah bagian dari penguasa. 

Untuk menduduki jabatan tersebut harus memenuhi syarat in'ikad seperti khalifah yakni muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil dan mampu menjalankan tugas yang diwakilkan padanya. Wali juga harus dipilih dari kalangan ahli takwa serta orang yang memiliki kepribadian Islam yang kuat.

Hak mengangkat wali adalah wewenang seorang khalifah, sebagaimana tugasnya untuk mengatur urusan rakyat. Maka khalifah bisa mewakilkan tugasnya dengan mengangkat wali dan amil dengan akad niyabah, untuk mewakilinya. 

Khalifah bisa memberhentikan wali, terlebih ketika ada pengaduan dari rakyat ketika mereka tidak ridha dengan walinya. Hal ini ditetapkan berdasarkan perbuatan Rasulullah SAW, dimana beliau pernah mengangkat Mu'adz bin Jabal menjadi wali di Janad, Ziyad bin Labid menjadi wali di Hadramaut, Abu Musa Al Asy'ari wali di Zabid dan 'Adn.

Maka prosedur pengangkatan kepala daerah dalam Islam sederhana tidak butuh waktu lama dan tidak membutuhkan biaya tinggi. Hal ini menutup celah pintu korupsi dan disetir oligarki.

Kekuasaan dalam Islam adalah amanah yang harus diberikan pada orang yang tepat, yang kelak akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah. Nabi SAW pernah menasehati Abu Dzar yang meminta kekuasaan. Beliau bersabda,

"Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah. Kekuasaan adalah amanah, dan kekuasaan tersebut di hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang memperoleh kekuasaan tersebut dengan hak dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR. Muslim no. 1825).

Maka seorang penguasa dipilih karena kapabilitas dan ketakwaannya bukan untuk melanggengkan politik dinasti demi cuan dan kedudukan.

Wallahu a'lam.

Ida Nurchayati 
Sahabat Topswara
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar