Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menyoal Pembatalan Kenaikan UKT, Drama atau Nyata?

Topswara.com -- Baru-baru ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim mengumumkan pembatalkan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Keputusan itu diambil setelah Nadiem dipanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta. Nadiem menegaskan kementerian akan mengevaluasi semua permintaan kenaikan UKT dari perguruan tinggi. 

Ketika di Istora Senayan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga merespons terkait pembatalan kenaikan UKT. Jokowi mengatakan telah memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Nadiem terkait UKT. 

Kenaikan UKT kemungkinan akan dilakukan evaluasi terlebih dahulu. Setiap universitas akan dikaji dan dikalkulasi sehingga kebijakan di Mendikbud akan dimulai kenaikannya tahun depan. (Detik.com, 28/5/24).

Berbeda dengan pengamat Pendidikan, Ubaid Matraji menilai keputusan pemerintah menunda kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada tahun ini dan masih berpotensi naik pada tahun depan tidak menyelesaikan masalah. 

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) ini berpandangan, pembatalan kenaikan UKT yang sifatnya sementara ini hanya untuk meredam kekecewaan dan aksi mahasiswa.

JPPI menyayangkan kebijakan membatalkan kenaikan UKT tidak dibarengi dengan pencabutan Permendikbudristek Nomor 2 tahun 2024 dan komitmen untuk mengembalikan status Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum (PTN-BH) menjadi PTN. (Kompas.com, 28/5/24)

Terlihat jelas bahwa arah sistem pendidikan yang diambil oleh pemerintah hari ini yaitu tidak lain hanya untuk komersialisasi dan liberalisasi pendidikan dengan menyerahkan pada mekanisme pasar. 

Bahkan dalam pernyataan salah satu pejabat Mendikbudristek beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa Pendidikan Tinggi termasuk kebutuhan tersier bukan sekunder. 

Wajar jika ada beberapa camaba (calon mahasiswa baru) yang berprestasi memutuskan untuk mundur karena tidak mampu untuk membayar UKT yang harganya selangit.

Biang kerok dari semua ini adalah karena kapitalisasi pendidikan yang diusung oleh sistem hari ini. Sehingga pemerintah berlepas tangan dalam menyelenggarakan pembiayaan pendidikan rakyatnya. Ini jelas-jelas kezaliman yang nyata karena telah merampas hak rakyat Indonesia untuk bisa mendapatkan pendidikan tinggi di PTN. 

Padahal sudah jelas dalam pembukaan UUD 45 tujuan negara salah satunya adalah mecerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan itu seakan jauh dari panggang apabila pendidikan tinggi hari ini termasuk kebutuhan yang mewah dan hanya bisa dijangkau oleh orang-orang kaya. 

Dampaknya akan mengancam kualitas SDM rakyat Indonesia untuk bersaing di kancang dunia. Maka dari itu kegaduhan UKT ini harus dihentikan bahkan harus sampai akar masalahnya yaitu Kapitalisasi Pendikan yang diterapkan diganti dengan Sistem Pendidikan yang adil dan shohih tidak lain Sistem Pendidikan Islam. 

Sistem pendidikan dalam kapitalistik tentu sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam. Kapitalistik memandang bahwa semua diukur dengan materi, manfaat dan keuntungan bahkan dalam dunia pendidikan sekalipun. 

Jadi wajar apabila ketika pemerintah membuat aturan yang mendorong perguruan tinggi hari ini untuk bisa mandiri dan kreatif, tidak lain mereka ingin berlepas tangan dari tanggungjawab sebagai penguasa yang memberikan hak pendidikan kepada rakyatnya.

Berbeda dengan sistem pendidikan Islam. Dalam Islam, pendidikan adalah sebuah kewajiban, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah). Juga sebagaimana firman Allah Taala dalam ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti dengan apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadalah [58]: 11). 

Pemimpin dalam sistem saat ini, seakan berlepas tangan terhadap kebutuhan pendidikan rakyatnya, namun sangat berbeda dengan pemimpin dalam Islam. 

Pemimpin dalam Islam sangat bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya, sebagaimana dalam hadist, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad). 

Jelas sudah bahwa pemimpin dalam Islam akan mengurusi kebutuhan rakyatnya salah satunya adalah pendidikan yang mana itu adalah termsauk kebutuhan pokok yang harus diberikan oleh negara kepada rakyatnya. 

Negara Islam wajib memberikan pendidikan rakyatnya dengan mudah, murah bahkan gratis. Mulai dari pendidikan dasar, menengah, atas sampai pendidikan tinggi.

Berbeda pula dengan sumber pendapatan yang digunakan dalam pendidikan hari ini. Sumber pendapatan di sistem sekarang mengandalkan dari pajak. Sedangkan pendapatan dalam sistem Islam diperoleh dari pemasukan pos yang sudah di syariatkan yang terbagi menjadi 3 yaitu pos individu, kepemilikan umum dan pendapatan dari negara.

Pos Individu yaitu setiap warga/individu boleh berdonasi/infak/wakaf untuk keperluan pendidikan. Sedangkan pos kepemilikan umum diperoleh dari hasil sumber daya alam seperti tambang minyak, emas, batu bara, hutan, laut, dan sebagainya. 

Terakhir pos pendapatan negara seperti fai, kharaj, jizyah, dharibah (pajak). Pajak dalam Islam hanya berlaku saat kondisi Baitul mal kosong dan hanya berlaku untuk orang kaya saja. Tidak disamaratakan seperti sistem hari ini. 

Dengan pengaturan sistem yang sangat sempurna yang brasal dari Pencipta, secara otomatis akan menghasilkan hukum yang yang penuh keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. 

Apalagi dalam hal pendidikan pasti akan diperhatikan mulai dari biaya pendidikan, infrastruktur, sarana, prasarana, serta gaji karyawan dan pendidik sudah termasuk didalamnya. Semua ini akan terwujud apabila sistem hari ini digantikan dengan sistem yang datang dari Pencipta yaitu sistem Islam Khilafah islamiah. 

Wallahualam bissawab.


Oleh: Tri Setiawati, S.i
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar