Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Iduladha Kembali Berbeda, kok Bisa?

Topswara.com -- Sedih. Hari Raya Iduladha 1445 Hijriah yang bertepatan dengan puncak pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci Mekkah setiap tanggal 10 Zulhijah, pada tahun ini masih terjadi perbedaan waktunya. Akibat perbedaan dalam cara menentukan. 

Pelaksanaan Idul Adha berbeda antara Arab Saudi dan Indonesia. Arab Saudi melaksanakannya pada Ahad 16 Zulhijah 2024, setelah hilal yang menjadi pertanda akhir Zulqadah dan awal Zulhijah terlihat di Arab Saudi. Dasarnya permulaan Zulhijah adalah Kamis petang 6 Juni 2024/29 Zulqadah 1445 H pukul 15.37. 

Sementara di Indonesia menentukan berdasarkan metode hisab, di mana posisi hilal wilayah Indonesia sudah masuk kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yaitu tinggi bulan mencapai 3 derajat. 

Maka disepakati bahwa 1 Zulhijah tahun 1445 Hijriah jatuh pada hari Sabtu tanggal 8 Juni 2024 Masehi, dan Insya Allah Hari Raya Iduladha jatuh pada Senin tanggal 17 Juni 2024. Dua ormas terbesar di Indonesia (NU dan Muhamadiyah) merayakan Idul Adha secara serentak bersama pemerintah pada hari Senin 17 Juni. 

Di Indonesia sendiri penetapan Iduladha dilakukan melalui beberapa metode, yakni hisab dan rukyatul hilal. Wamenag menjelaskan metode hisab atau perhitungan bersifat informatif dan metode rukyat atau observasi bersifat konfirmatif. 

Pemerintah menghimbau kepada masyarakat agar mengedepankan harmoni dan toleransi, serta tidak menonjolkan perbedaan yang ada (khazanah.republika.co.id).

Perselisihan dalam menentukan hari raya, baik Hari Raya Idulfitri maupun Hari Raya Iduladha menjadi sebuah fenomena yang sering terjadi di kalangan kaum Muslimin. 

Namun mirisnya, perbedaan penetapan ini selalu kental dengan aroma politik, yakni pertimbangan kewilayahan atas nama negara bangsa atau nasionalisme bukan konsep perbedaan berdasarkan khazanah fiqih Islam.

Atas pertimbangan tersebut, umat Islam dipaksa mengabaikan berbagai petunjuk syar'i khususnya terkait puasa Arafah dan Iduladha. Seharusnya waktu pelaksanaannya terkait dengan aktivitas haji di Makkah al-Mukarramah, yang merujuk pada ketetapan Amir Makkah. 

Hanya karena alasan nasionalisme, umat Muslim di Indonesia menjalankan puasa Arafah dan Iduladha berbeda dengan umat muslim lainnya di seluruh dunia.

Walhasil, paham kebangsaan (nasionalisme) mempengaruhi umat Muslim dan para pemimpinnya, dengan lebih mengedepankan sisi kebangsaan dibandingkan persatuan atas dasar akidah Islam. 

Inilah dampak dijauhkannya aturan agama dari kehidupan (sekularisme) yang diterapkan di setiap negeri Muslim. Umat Muslim terpecah-belah, menjadi sangat lemah dan kehilangan kedudukannya sebagai umat terbaik.

Pada dasarnya, seluruh kalangan ulama mazhab telah bersepakat mengamalkan rukyat yang sama untuk Idul Adha, yaitu rukyatulhilal (pengamatan bulan sabit) yang dilakukan oleh penduduk Makkah dan berlaku untuk seluruh dunia. 

Sebagaimana hadis dari Aisyah ra. tentang kewajiban kaum Muslim untuk berlebaran Idul Adha dan Idul Fitri pada hari yang sama, telah banyak ditunjukkan nas syarak Rasulullah SAW.

Beliau bersabda, "Idulfitri adalah hari orang-orang (kaum Muslim) berbuka. Dan Iduladha adalah hari orang-orang menyembelih kurban” (HR At-Tirmidzi). 

Dalil tersebut menunjukkan kewajiban bagi umat Muslim di seluruh dunia untuk merayakan Idul Adha serentak di hari yang sama, yaitu pada hari ke 10 Zulhijjah saat jemaah haji tengah melakukan penyembelihan hewan kurban. 

Hadis lain dari Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Rasulullah melarang berpuasa pada Hari Arafah (bagi jemaah haji yang ada) di padang Arafah” (HR Abu Daud, Nasa’i, dan Ibnu Khuzaimah).

Maksudnya disunahkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji untuk berpuasa pada hari ke 9 Zulhijah. Ini menunjukkan hari Arafah itu hanya satu tidak terbilang dan tidak boleh berbilang, yakni ketika jamaah haji melakukan wukuf di Arafah. 

Oleh karena itu, kaum Muslim di Indonesia dan negeri lainnya yang berpuasa saat penyembelihan hewan kurban dikatakan telah menyalahi ketentuan Rasulullah SAW dan jelas haram hukumnya.

Adanya paham nasionalisme yang memecah umat Islam dalam 50 negara bangsa, menjadikan masing-masing pemimpin negara memiliki kekuasaan dalam menentukan kapan awal Zulhijah (juga awal Ramadan dan Syawal) dengan rukyatulhilal lokal atau metode hisab. 

Sehingga perbedaan menjadi sebuah keniscayaan. Namun akan memunculkan bahaya terkait hukum syariat tentang halal dan haram dalam pelaksanaan suatu ibadah.

Maka saat ini persatuan umat adalah sebuah kebutuhan yang mendesak untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam satu negara dan satu kepemimpinan Islam. Yaitu dibutuhkan seorang pemimpin yang dapat menghilangkan semua perbedaan di tengah umat, sehingga perbedaan Idulfitri dan Iduladha tidak dianggap sebagai sebuah kewajaran. 

Oleh karena itu kita butuh pemerintahan Islam yakni khilafah islamiah tegak di muka bumi untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan umat muslim. 

Khalifah sebagai kepala negara khilafah islamiah akan melakukan adopsi hukum yang akan diterapkan yaitu rukyatulhilal penduduk Makkah sebagai penentu awal Zulhijah dan Hari Raya Iduladha. 

Ketika penduduk Makkah tidak melihat hilal Zulhijah, baru khalifah akan mengambil hasil rukyat negeri lain dan ditetapkan sebagai awal Zulhijah sebagai penentu Hari Raya Iduladha.

Tegaknya khilafah islamiah bukan hanya menyatukan Hari Raya Iduladha, Idulfitri ataupun shaum Ramadan, tetapi melahirkan peradaban Islam yang agung yang memancarkan cahaya hingga ke seluruh penjuru dunia. 

Khilafah islamiah juga akan menjadi perisai atau pelindung bagi umat Islam dari penjajahan orang-orang kafir. Sudah saatnya umat Islam bersatu untuk berjuang menegak kembali khilafah islamiyah demi melanjutkan kehidupan Islam. []


Oleh: Desi Rahmawati 
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar