Topswara.com -- Hari raya menjadi hari yang berbahagia bagi semuanya. Namun, perayaan hari raya umat Islam kembali tidak bisa berlangsung sama. Idul Adha di Indonesia ditetapkan berbeda hari dengan Arab Saudi. Perbedaan hari raya ini (lagi-lagi) sangat menyedihkan karena seolah umat Islam ini sendiri-sendiri dan tidak bisa bersatu.
Sebagaimana yang diberitakan, Mahkamah Agung Arab Saudi mengumumkan pada kamis (6/6/2024) bahwa 1 Dzulhijjah jatuh pada Jumat (7/6/2024). Dengan begitu, Iduladha akan bertepatan dengan hari Ahad (16/6/2024). Puncak haji atau wukuf akan dilaksanakan pada Sabtu (15/6/2024). Keputusan tersebut ditetapkan setelah hilal yang menjadi pertanda akhir Dzulqaidah dan awal Dzulhijjah telah terlihat di Arab Saudi. (republika.co.id, 8/6/2024)
Hal ini berbeda dengan di Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Agama RI mengumumkan bahwa Hari Raya Iduladha jatuh pada Senin 17 Juni 2024. Penetapan ini dilakukan setelah melihat hasil pantauan hilal yang kemudian disepakati bahwa 1 Dzulhijjah jatuh pada hari Sabtu 8 Juni 2024 sehingga Hari Raya Idul Adha akan bertepatan dengan hari Senin 17 Juni 2024.
Keputusan pemerintah ini juga serempak dengan dua ormas besar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah yang juga menetapkan bahwa Iduladha jatuh pada Senin (17/6/2024). (kompas.com, 7/6/2024)
Kenapa Berbeda?
Penetapan hari raya yang berbeda ini bukan kali pertama. Namun, sudah berulang kali terjadi. Perbedaan ini bukan hanya antarnegara, tetapi juga terjadi di antara umat Islam yang berada dalam satu negara. Saking seringnya, umat seolah sudah biasa dan diminta memaklumi dan saling menghargai perbedaan tersebut.
Persoalannya bukan memaklumi atau menghargai perbedaan, tetapi pada faktor penyebabnya. Munculnya perbedaan hari raya sebenarnya bukan berdasar pada dalil syar’i, tetapi lebih kepada adanya faktor fanatisme nasionalisme.
Akibatnya, wilayah yang secara astronomis sama, bisa jadi beda dalam melaksanakan Idul Adha. Meskipun wilayahnya berdekatan, belum tentu bisa bersama-sama merayakan hari rayanya.
Perlu disadari bahwa kaum muslimin saat ini hidup terpisah dalam sekat-sekat nation state yang memunculkan fanatisme kebangsaan. Nasionalisme membuat umat Islam hidup masing-masing. Umat Islam sibuk mengurus urusan di negaranya sendiri. Tidak heran bila umat Islam tidak bisa bersatu, termasuk dalam urusan berhari raya.
Meskipun sama-sama berakidah Islam, tetapi umat Islam tidak memiliki keterikatan satu sama lain. Ikatan kebangsaan lebih kuat mengikat umat Islam saat ini.
Itulah kenapa Kementerian Agama menetapkan Iduladha berdasarkan imkanur rukyah MABIEMS atau Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Yang mana mensyaratkan posisi hilal harus berada pada 3 derajad dengan sudut elongasi 6,4 derajad baru bisa diterima.
Pada 7 Juni 2024 bertepatan dengan 29 Dzulqaidah, hilal telah tampak. Dengan begitu, 8 Juni 2024 adalah awal bulan Dzulhijjah 1445 H sehingga Idul Adha akan jatuh pada 17 Juni 2024.
Sementara itu, Muhammadiyah punya perhitungannya sendiri dalam menetapkan hari raya. Muhammadiyah menggunakan perhitungan hisab wujudul hilal. Menurut perhitungan ini, tanggal 6 Juni 2024 adalah bertepatan dengan 29 Dzulqaidah yang mana saat itu hilal Dzulhijjah belum tampak sehingga Dzulqaidah digenapkan menjadi 30 hari. Konsekuensinya, 1 Dzulhijjah akan jatuh pada 8 Juni 2024 dan Iduladha bertepatan dengan 17 Juni 2024.
Khilafah Menyatukan
Idul Adha berkaitan dengan ibadah haji di Makkah. Saat jemaah haji sedang wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, umat Islam yang tidak berhaji melaksanakan puasa Arafah. Setelah berpuasa, keesokan harinya seluruh umat Islam, baik yang sedang berhaji atau tidak, merayakan Iduladha pada 10 Dzulhijjah. Inilah seharusnya yang menjadi momentum persatuan umat Islam.
Sungguh aneh dan miris ketika orang-orang salat id, bertakbir bersama, dan menyembelih hewan kurban untuk merayakan Iduladha, masih ada sebagian umat Islam yang berpuasa. Padahal, jelas diharamkan berpuasa pada hari raya.
Namun, karena bersikukuh dengan pendapatnya, mereka tetap menjalankan puasa meskipun hari raya telah tiba. Apalagi dalil dari pendapat tersebut adalah karena fanatisme nasionalisme. Ini sangat fatal!
Padahal, dalam menentukan Hari Arafah, hari-hari pelaksanaan manasik haji, dan Iduladha, umat Islam seharusnya mengikuti rukyatul hilal penguasa Makkah. Hal ini sebagaimana hadis riwayat Abu Dawud yang menyatakan bahwa Rasulullah memerintahkan untuk memulai manasik (haji) berdasarkan rukyat. Apabila kita tidak melihat hilal, sementara ada dua orang yang adil melihat hilal, maka kita harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang tersebut.
Hasil rukyatul hilal amir Makkah terkait Idul Adha berlaku untuk seluruh dunia. Namun, itu sulit dilakukan karena umat Islam tidak berada dalam satu kepemimpinan. Mereka tersekat oleh bangsa dengan aturannya masing-masing.
Karena itulah, umat Islam membutuhkan satu komando yang bisa ditaati bersama. Umat Islam membutuhkan satu institusi yang akan menyatukan semuanya dalam satu ikatan yang berlandaskan akidah Islam. Institusi tersebut adalah Daulah Khilafah Islamiah yang akan menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan.
Dengan adanya khilafah, segala perbedaan yang membuat umat terkungkung dalam sekat kebangsaan, warna kulit, dan bahasa akan lenyap. Sebagaimana kaidah syarak yang menyatakan bahwa perintah imam/pemimpin/Khalifah akan menghapus segala perselisihan.
Dalam naungan khilafah, kaum muslim di seluruh dunia akan melebur menjadi umat yang satu dan kuat. Umat Islam tidak akan terpecah-belah dan bisa merayakan hari raya secara bersama-sama. Yang lebih penting lagi, dalam naungan khilafah, umat Islam di belahan bumi mana pun akan terlindungi dari segala keburukan dan penderitaan.
Wallahu a’lam bishshawwab.
Oleh: Nurcahyani
Aktivis Muslimah
0 Komentar