Topswara.com -- Hebohnya perubahan aturan terkait penetapan calon pemimpin daerah, menyita perhatian. Mahkamah Agung mendadak merubah aturan perihal syarat aturan usia calon pemimpin daerah. Alhasil, gelombang kritik terus mengemuka di ranah publik.
Kebijakan Instan demi Kepentingan
Pasalnya, diduga kebijakan ini "instant" ditetapkan demi menggelar karpet merah bagi Kaesang Pangarep, Ketua Umum PSI, yang sekaligus putra bungsu Presiden Jokowi. Diketahui, saat Pilkada, Kaesang baru berusia 29 tahun, belum genap 30 tahun. Dan jelas-jelas, tiket menuju Pilkada tidak bisa diraih Kaesang jika kebijakan yang ada, diterapkan.
Dalam kebijakan yang tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) No. 9 Tahun 2020, calon gubernur harus berusia 30 tahun ketika ditetapkan KPU sebagai calon yang akan bertarung di laga pilkada. KPU akan segera menetapkan calon kepala daerah dalam ajang Pilkada Serentak 2024 pada 22 September 2024. Sementara Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024 kelak (kompas.com, 30/5/2024).
Putusan tersebut jelas sarat kepentingan politik dan diduga kuat membuka jalan lebar bagi Kaesang untuk memudahkan manuvernya di bidang perpolitikan. Menyoal fenomena tersebut, Pakar Hukum Tata Negara, Herdiansyah Hamzah, mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut adalah karpet merah bagi Kaesang untuk mencalonkan diri dalam Pilkada serentak, November 2024 mendatang (tempo.co, 3/6/2024).
Herdiansyah pun melanjutkan bahwa putusan ini memang sejak awal sudah ditetapkan untuk Kaesang, tidak ada hubungannya dengan urusan potensi anak muda, seperti yang diungkapkan Projo, relawan Jokowi beberapa waktu lalu. Saat itu Projo menyatakan bahwa, keputusan MA ditujukan untuk memuluskan dan memberikan kesempatan bagi anak muda untuk berkiprah di bidang politik.
Dalam putusannya tersebut, MA juga memerintahkan kepada KPU untuk mencabut Pasal 4 Ayat (1) huruf d Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020. Gugatan ini dimohonkan Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana pada 23 April 2024.
Fakta Sistem Bubrah
Politik dinasti kian apik menampakkan diri. Beragam aturan diluweskan demi kepentingan penguasa. Lagi-lagi fenomena ini berulang. Sebelumnya perihal aturan MA yang memuluskan aturan usia calon wakil presiden yang menjadikan putra kedua Presiden, Gibran Rakabuming Raka, lolos menuju kancah pemilihan wakil presiden.
Kali ini, tokoh utamanya diposisikan kepada Kaesang yang kini tengah menduduki Ketua Umum PSI (Partai Solidaritas Indonesia). Demi posisi sebagai calon Kepala Daerah, berbagai skenario mampu diciptakan demi memuluskan kehendak penguasa.
Inilah fakta sistem bubrah. Sistem rusak yang hanya mengutamakan kepentingan oligarki penguasa. Jabatan dan kekayaan materi menjadi orientasi. Sementara kepentingan rakyat selalu diabaikan.
Konsep kepemimpinan yang mestinya mampu menjaga kepentingan rakyat, menjadi luntur bahkan hilang. Kursi kepemimpinan terus dikejar, meskipun secara nyata melalui jalan yang keliru dan mendobrak aturan benar salah.
Betapa rusaknya konsep kepemimpinan demokrasi kapitalisme. Materi menjadi alat mencapai kekuasaan. Kekuasaan yang sudah didapatkan, dengan mudah disalahgunakan. Wajar saja, rakyat mengalami krisis kepercayaan pada kepemimpinan ala demokrasi kapitalisme.
Hingga akhirnya, rakyat menjadi apatis pada politik, jabatan dan kekuasaan. Rakyat pun sangat memahami, segala bentuk manuver yang kini tercipta, bukan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, namun hanya untuk kepentingan jabatan para oligarki.
Kepempinan dalam Islam
Dalam sistem Islam, kepemimpinam adalah konsep utama yang wajib dijaga tujuannya. Tujuan utama kepemimpinan, yaitu demi memenuhi kepentingan setiap individu rakyat. Karena kepentingan rakyat adalah hal yang wajib dipenuhi oleh negara. Termasuk kebutuhan rakyat akan kepemimpinan yang amanah.
Rasulullah SAW. bersabda,
"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Bukhari).
Kriteria kepemimpinan yang amanah wajib diwujudkan dalam kerangka syariat Islam yang utuh dan menyeluruh. Dengan syariat Islam, sosok pemimpin senantiasa terjaga dalam bingkai akidah Islam.
Dalam sistem Islam, setiap pemimpin niscaya terhindar dari sifat curang, culas dan serakah. Karena setiap pemimpin menyadari bahwa Allah SWT., Zat yang Mengawasi dan Melihat segala yang terjadi. Pemimpin pun menyadari bahwa setiap kepemimpinannya kelak akan ditanya dan dipertanggung jawabkan.
Dengan konsep demikian, ditetapkan bahwa syariat Islam adalah satu-satunya acuan dalam menetapkan kebijakan dan pengaturan seluruh urusan rakyat. Sebagai refleksi bahwa amanah dalam kepemimpinan adalah wujud ketaatan pada hukum syarak. Sehingga diperoleh paradigma bahwa urusan rakyatlah satu-satunya prioritas utama yang wajib dilayani negara.
Kekuasaan dan agama bagaikan dua sisi mata uang yang sama sekali tidak terpisahkan. Kekuasaan mampu amanah dalam aturan syariah. Dan hukum syarak mampu optimal terlaksana dalam satu institusi politik sesuai teladan Rasulullah SAW., yakni khilafah manhaj An Nubuwwah. Saat aturan agama hilang, kekuasaan tidak akan pernah mampu tegak menjadi sumber pengurusan urusan umat.
Hanya dalam sistem Islam-lah, politik dan kebijakan yang adil dan bijaksana, mampu terjamin sempurna. Kehidupan rakyat terpenuhi menyeluruh dalam sistem berkah. Rahmat berlimpah dalam dekapan sistem yang amanah.
Wallahu'alam Bisshawab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
0 Komentar