Topswara.com -- Enam bulan lebih telah berlalu. Palestina masih dirundung pilu. Tidak ada sisa rumah bahkan tenda-tenda pengungsian pun kini menjadi debu. Rafah, tempat yang dikatakan sebagai titik terakhir yang aman bagi pengungsi juga tidak luput dari hujan peluru. Masyarakat Gaza makin sesak oleh darah, air mata, luka dan asa yang tidak henti mereka panjatkan pada Allah Ta’ala karena hingga saat ini belum ada aksi nyata yang bisa membebaskan mereka.
Di tengah kondisi yang tidak menentu, penderitaan rakyat Palestina yang semakin terpuruk setelah situasi Rafah makin memburuk, ghirah masyarakat dunia kembali tersulut untuk melakukan aksi penolakan, pengecaman, pemboikotan dan sejenisnya untuk melawan Israel maupun sekutunya yang terkutuk.
Demo tahun 1998 terulang kembali di tahun ini, gelombang demo besar-besaran mengecam Israel mewabah di seluruh dunia. Dari Amerika Serikat, Eropa hingga Asia, para akademisi dan mahasiswa turun menuntut pemerintah dunia agar menghentikan genosida Israel terhadap Palestina dan menyerukan gerakan agar perguruan tinggi melakukan divestasi dari perusahaan yang menyokong Israel.
Aksi demo mahasiswa dari beberapa universitas bergengsi seperti Universitas Columbia, Harvard, Yale, UNC, Vanderbilt telah menginspirasi banyak universitas terkenal lainnya di dunia untuk melakukan aksi serupa. Universitas Sciences Po di Perancis, Universitas Jawaharlal Nehru di India, Universitas Queensland di Australia, McGill di Kanada, bahkan seluruh universitas yang ada di Inggris telah melakukan aksi protes sejak awal terjadinya perang di Gaza (cnbcindonesia, 11/05/2024).
Di Indonesia sendiri, gelombang protes dilakukan oleh beberapa koalisi masyarakat seperti Kontras, Greenpeace, YLBHI yang melakukan unjuk rasa di seberang kedutaan Besar Amerika Serikat. Aksi protes ini menular ke beberapa daerah di Indonesia, seperti Jogja, Palembang, Bandung, dan lain sebagainya.
Aksi kecaman terhadap kekejaman Israel juga viral di dunia maya. Insiden mematikan di Rafah yang ditampilkan dalam sebuah gambar tenda-tenda pengungsi Palestina buatan AI dan slogan “All Eyes on Rafah” diunggah lebih dari 47 juta kali oleh pengguna Instagram.
Perang antara Palestina dan Israel yang sejatinya telah berlangsung selama 75 tahun kini telah membuka mata dunia, aksi pro Palestina semakin lebih masif dibandingkan dahulu. Namun sayangnya kemarahan dunia tidak jua menghentikan kebiadaban Israel hingga detik ini.
Palestina masih saja digempur senjata, anak-anak banyak meregang nyawa, wanita dan lansia juga turut menjadi syuhada, rakyat Palestina menjadi tuna wisma, tanpa makanan, listrik, air, bahkan harapan dan asa. Kepongahan para pemimpin dunia juga bisunya para pemimpin negeri–negeri Muslim adalah penyebabnya.
Segala bentuk kejahatan kemanusiaan, pelanggaran HAM dan kriminalitas lain telah jelas terpampang nyata namun mereka tak tergerak sedikit pun untuk segera mengirim tentara. Organisasi sekelas PBB pun sama sekali tidak menampakkan tajinya.
Diamnya para pemimpin dunia dan para pemimpin negara-negara Muslim serta abainya mereka terhadap apa yang terjadi di Palestina adalah bukti bahwa HAM dan demokrasi yang mereka junjung dan teriakkan selama ini cuma omong kosong belaka.
Berbagai perundingan yang mereka lakukan tak lepas dari berbagai kepentingan politik hingga tak heran jika selama 75 tahun terakhir, warga Palestina tak pernah menghirup udara kebebasan dan selalu hidup di bawah penjajahan.
Maraknya aksi pro Palestina ini sebenarnya adalah momen tepat untuk membangun kesadaran umat akan ketiadaan fungsi demokrasi yang selama ini dijadikan ideologi panutan. Keadilan dan kedamaian dunia dalam demokrasi hanyalah ilusi.
Bukti telah banyak berbicara betapa demokrasi dan semua turunannya hanya lip service belaka. Kita bisa melihat Suriah, Palestina, dan negara konflik lainnya tetap berjibaku dengan perang, kemiskinan, kelaparan, dan lain sebagainya.
Saat ini masyarakat dunia, terutama umat Muslim harus mengetahui bahwa satu-satunya solusi yang mampu menyelesaikan konflik di Palestina hanya dengan jihad. Mengatasi zionis tidak cukup dengan perundingan Apa yang mereka lakukan sudah di luar batas kemanusiaan dan satu-satunya jalan adalah mengirim tentara untuk memerangi mereka.
Jihad hanya bisa dilakukan jika khilafah tegak. Karena hanya khilafah satu-satunya institusi yang akan melindungi, menyelamatkan dan membebaskan kaum muslimin dari segala bentuk penjajahan, penindasan dan ancaman pembunuhan.
Tidak seperti saat ini, meski negeri-negeri Muslim tersebar, namun tidak satu pun yang bisa menolong Palestina. Semua karena sekat nasionalisme yang diciptakan demokrasi, nasionalisme kerap dijadikan sebagai bahan pemecah-belah umat Islam.
Padahal kaum Muslim itu ibarat satu tubuh. Jika ada satu bagian yang sakit maka bagian yang lain akan merasakan sakit. Namun nasionalisme telah mengakibatkan kaum mMuslim tak bisa saling membantu, mereka seringkali terbentur oleh batas teritorial dan larangan mencampuri urusan negara lain.
Di samping itu individualisme yang ditanamkan dalam kehidupan demokrasi sekuler telah berhasil menghilangkan rasa empati terhadap sesama.
Dibutuhkan segera tegaknya khilafah, karena hanya khilafah yang bisa menyatukan umat lintas negara, bahasa, suku, ras bahkan agama. Hanya khilafah juga yang mampu melindungi dan menjaga harta, tanah dan nyawa umat manusia khususnya kaum Muslim khilafah dengan Islam sebagai ideologinya adalah satu-satunya insitusi dengan solusi hakiki dalam setiap persoalan kehidupan termasuk membebaskan tanah Palestina. []
Oleh: Irohima
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar