Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Agar Gelombang Aksi Menjadi Berarti

Topswara.com -- Gemuruh besar-besaran terus meluas dari Amerika, Eropa, hingga ke Asia. Para akademisi dan intelektual kampus turun ke jalan menunjukkan solidaritas terhadap Palestina. 

Pemberitaan aksi protes pro Palestina hingga ini membanjiri berbagai kanal berita dunia, bersamaan pula dengan masifnya pemberitaan penangkapan brutal terhadap pengunjuk rasa pro Palestina di kampus-kampus bergengsi. 

Salah satu penangkapan terjadi di halaman Universitas Columbia di Amerika, peristiwa serupa juga terjadi di Universitas Indiana dan Virginia Tech. Para pengunjuk rasa ditangkap atas tuduhan pelanggaran pidana dan perlawanan. 

Aksi protes juga dibubarkan di lingkungan USC, Arizona State University, dan Universitas Washington di St. Louis. Dalam beberapa kasus, aparat kepolisian sampai menggunakan gas air mata dan alat kejut listrik untuk membubarkan mahasiswa.

Unjuk rasa tersebut menuntut PBB sebagai lembaga resmi dunia segera mengambil tindakan tegas menghentikan genosida di Gaza. Mereka juga menyerukan agar perguruan tinggi melakukan divestasi dari perusahaan-perusahaan yang mendukung Israel, mengakhiri pengeboman, gencatan senjata, hingga menuntut dihentikannya okupasi “Israel” di Gaza.

Setidaknya 12 negara Eropa, termasuk Inggris, Prancis, Swiss, Jerman, Republik Ceko, dan Austria melarang dilakukannya aksi solidaritas Palestina. Namun, di Mesir, ratusan orang berkumpul di pusat Kota Kairo untuk menunjukkan solidaritas Gaza, namun petugas keamanan Mesir melakukan penangkapan. 

Pemerintah Yordania menangkap sedikitnya 1.500 orang sejak awal Oktober 2023. Maroko juga mengadili puluhan orang yang ditangkap saat aksi pro Palestina. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Tidak dipungkiri, para pengunjuk rasa baik yang di Amerika, Eropa, Asia, dan sebagian negeri Muslim melakukan aksinya berdasar pada penggunaan hak untuk menyuarakan pendapat khususnya terhadap kebijakan pemerintah. Hak paling mendasar yang berlaku dalam negara berasas demokrasi. 

Dalam sistem yang memberlakukan demokrasi, setiap warga negara berhak menjadi aktivis dan berjuang mengawal pemerintahan agar bertanggung jawab. Inilah landasan yang membedakan antara negara demokratis dan negara otoriter. 

Namun pada saat bersamaan kita juga paham bahwa itu semua palsu. Kita melihat dengan jelas bagaimana aksi pro Palestina dilarang atau dibubarkan secara paksa oleh aparat. Penyelenggara aksi diganggu dan ditangkapi, bahkan para mahasiswa diskors dari kampus mereka.

Pahit namun harus disampaikan, hak untuk protes atau menyampaikan pendapat sebenarnya tidak lebih dari sebuah kebohongan yang dibungkus dengan kemasan manis. Sebuah kepalsuan yang senantiasa disebarkan pada masyarakat luas, seakan-akan mereka telah berupaya keras mencari apa yang disebut solusi demokratis. 

Solusi demokratis ini hanya akan berhasil tercapai jika para politisi di masing-masing negara tersebut bersedia untuk mendengarkan tuntutan. Padahal, telah menjadi rahasia umum, para politisi baik di negara maju maupun negara-negara berkembang, hanya bersedia mendengarkan tuntutan para pengunjuk rasa jika hal tersebut sesuai dengan agenda dan kepentingan mereka.

Sejarah membuktikan, bagaimana orang Amerika keturunan Afrika tidak mendapatkan hak memilih di Amerika, hingga Presiden John F. Kennedy membutuhkan suara mereka untuk memenangkan pemilu. Para perempuan di negara-negara Barat tidak mendapat hak-hak mereka hingga pemerintah membutuhkan mereka untuk memasuki dunia kerja.

Hal ini bukan sekadar hasil kerja keras kelompok masyarakat yang telah melakukan aksi protes selama puluhan tahun demi mendapatkan hak-hak dasar dalam demokrasi, melainkan karena adanya kesesuaian tuntutan tersebut dengan agenda dan kepentingan para politisi.

Lalu, masihkah kita berharap aksi protes pro Palestina yang mendunia dapat membuat aparat politik bisa peduli terhadap perempuan dan anak-anak Gaza sehingga merubah kebijakan negaranya? Akankah upaya untuk melindungi wanita dan anak-anak Palestina bisa terwujud sesuai dengan agenda dan kepentingan politik para politisi dan kebijakan di negara-negara demokrasi?

Too good to be true. Negara sekuler penganut demokrasi beserta para politisinya bahkan tidak peduli dengan perempuan dan anak-anak di negara mereka sendiri. Lihat saja kekerasan bersenjata di Amerika atau tingkat kekerasan terhadap perempuan di negara-negara Barat. Hingga hari ini masih terjadi seakan tidak ada habisnya.

Gelombang protes pro Palestina tidak membuat PBB berbicara memberikan tanggapan, gelombang suara ini juga tidak membuat ICJ sebagai lembaga yang menegakkan hukum internasional memberi sanksi tegas pada Zionis Israel, bahkan protes keras atas genosida di Gaza berharap pemerintah di seluruh dunia akan memberikan sanksi kepada Israel, ternyata sampai kini tidak terwujud.

Turun ke jalan bersuara di bawah panji demokrasi dengan harapan pemilu sebagai jalan mendapatkan kebijakan yang lebih baik, memandang organisasi internasional PBB sebagai harapan, dan seterusnya telah membatasi solusi kita hanya pada pilihan yang diberikan oleh demokrasi. 

Misalnya, solusi jangka pendek berupa gencatan senjata, atau solusi yang memungkinkan para penguasa dunia terus bersembunyi dibalik kecaman demi kecaman.

Lalu apa yang harus kita lakukan bila protes dunia untuk solidaritas Palestina bukanlah solusi hakiki mengakhiri penderitaan di Palestina? Sudah selayaknya aksi pro Palestina yang marak di berbagai penjuru dunia harus kita manfaatkan sebagai momen untuk membangun kesadaran umat. 

Dalam aksi-aksi protes itu, kita harus menggaungkan solusi hakiki Palestina dengan mengirimkan tentara militer untuk berjihad melawan Israel. Sebab tidak akan bisa kekuatan militer bersenjata lengkap hanya dilawan dengan lemparan batu. Kekuatan militer harus dilawan dengan kekuatan militer yang seimbang. Bila tidak, yang terjadi bukanlah peperangan tapi pembantaian.

Lalu, negara mana yang saat ini telah mengirimkan tentaranya untuk berperang melawan Israel? Sayang sekali tidak ada satu negara pun, bahkan tidak ada satu negara Muslim pun yang memiliki pasukan militer aktif di negerinya mengirim personil untuk membela penduduk Palestina. Yang ada malah tentara-tentara militer Muslim itu menjadi tentara penjaga perdamaian. 

Ibarat mereka hanya bisa berdiri mematung di perbatasan wilayah, hanya bisa melihat penduduk Palestina berdarah meregang nyawa, tidak bisa memberikan pertolongan. Sungguh kondisi kaum Muslimin kini sangat-sangat mengenaskan.

Lantas negara mana yang mampu mengerahkan tentara militer ke Palestina dan mengusir Israel dari bumi Syam? Kita tidak bisa berharap negara itu adalah negara demokrasi nomor satu di dunia, sebab Amerika sebagai negara pengekspor demokrasi nomor wahid justru menjadi sahabat Israel, mendukung segala tindakan keji yang dilakukan Zionis.

Kita juga tidak bisa berharap pada negara-negara Eropa, Asia, bahkan negara-negara Republik di negeri kaum Muslim, sebab mereka juga menganut sistem hidup yang sama, demokrasi. Negara-negara demokrasi hari ini telah menjadi negara anggota PBB, keanggotaan ini membuat mereka menjadi tidak berguna untuk menghapuskan penjajahan Israel. 

Mereka dijebak pada solusi diplomasi dan gencatan senjata yang dimainkan oleh PBB. Dan kita tahu pasti PBB tidak akan melahirkan solusi jihad bagi Palestina.

Hanya Khilafah yang mampu mengemban misi mulia jihad untuk menyelamatkan Palestina dan negeri-negeri Islam yang terjajah. Solusi jihad dan Khilafah ini harus terus kita gaungkan agar menjadi kesadaran utuh di tengah masyarakat dunia. 

Kita sudah tidak bisa berharap pada PBB dan lembaga-lembaga internasional buatan Amerika. 75 tahun sudah masyarakat Palestina hidup menderita oleh penjajahan Israel, terbukti keberadaan lembaga dunia ini tidak membawa kebaikan sedikit pun, Palestina masih terus dibantai.

Maka hari ini dan ke depannya, kita umat Islam harus terus bergerak dan berdakwah, menyampaikan solusi hakiki bagi Palestina. Agar gelombang suara aksi dukungan bagi Palestina menjadi berarti. Bukan solusi parsial, atau solusi memecah belah. 

Wallahu'alam.[]


Fatmah Ramadhani Ginting, S.K.M.
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar