Topswara.com -- Bak jamur yang tumbuh di musim penghujan, permasalahan pornografi yang terjadi di Indonesia hari ini semakin subur tanpa kendali dan merusak. Media online yang dengan sangat mudah diakses oleh siapapun dari genggaman tangan juga memperkuat cengkeraman monster pornografi, terutama pada generasi muda.
Menurut catatan National Center for Missing Exploited Children (NCMEC) terkait dengan jumlah konten kasus pornografi anak selama empat tahun terakhir, Indonesia masuk peringkat empat global dan peringkat dua di regional ASEAN (cnnindonesia.com, 18/04/2024).
Bahkan, data yang terlaporkan hari ini tidak cukup mencerminkan fakta di lapang karena banyak juga masayarakat yang tidak melaporkan kejadian yang sebenarnya.
Hadi Tjahjanto selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) menyampaikan bahwa timnya akan membentuk satuan tugas (Satgas) untuk ngatasi permasalahan pornografi online yang membuat anak-anak di bawah umur menjadi korban (news.republika.co.id, 19/04/2024).
Dengan fakta yang mengerikan saat ini, pertanyaannya, cukupkah upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah selaku penguasa hari ini untuk menyelesaikan kasus ini? Sudah tepatkah pengadaan satgas untu menangani masalah pornografi yang sistemis ini?
Ataukah hanya semangat “ayam yang disembelih” bergerak kesana kemari tanpa tau arah hingga habis energinya dan akhrinya mati? Atau bahkan upaya-upaya itu hanya sekedar menjalankan program kementrian tanpa mengevaluasi hasil dan tidak menyentuh akar masalah?
Untuk menyelesaikan permasalahan pornografi ini, kita harus obyektif dan tajam dalam menganalisis akar permasalahannya. Kita harus menjawab pertanyaan “mengapa pornografi yang jelas-jelas merusak ini bisa terjadi?”.
Apakah masyarakat tidak sadar bahwa membuat konten pornografi itu salah? Jika mereka tahu bahwa perbuatan itu salah, lantas kenapa mereka melakukan hal itu? Apakah tidak ada aturan yang jelas untuk menghukum perbuatan buruk itu?
Jika aturan sudah ada, kenapa kejahatan itu masih terjadi? Jawaban pertanyaan ini akan sangat beragam, mulai dari, aturan yang masih multi-interpretasi, penegak hukum yang tidak tegas bahkan lemah dengan suap.
Selain itu, rendahnya kualitas filter pada media informasi sehingga tidak mampu menyaring otomatis konten-konten pornografi yang merusak, keuntungan materi dapat diraup oleh para pembuat konten, dan rendahnya kontrol masyarakat karena sikap individualis mereka.
Sikap individualis ini didorong oleh tuntutan ekonomi yang membuat mereka terlalu sibuk mengurus finansial untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga mereka. Individu-individu yang hidup di dalam masyarakat kapitalis ini juga telah terkungkung dengan mindset “urus saja dirimu sendiri, dan jangan berbicara bijak sebelum dirimu sendiri baik”.
Maka mereka terlalu lelah jika harus menghadapi cibiran masayarakat dengan predikat sok suci dan banyak logical fallacy yang menyudutkan mereka jika harus mengingatkan dalam kebaikan.
Sebenarnya kita dapat melihat dengan jelas bahwa permasalahan pornografi ini hanyalah salah satu akibat dari sistem hidup yang salah yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat.
Sistem demokrasi dengan paham liberalisme membuat orientasi pada kemaksiatan berkembang subur. Dengan konsep kebebasan berekspresi, manusia seakan bebas melakukan apapun yang mereka inginkan, tidak peduli apakah itu akan merusak generasi atau tidak, asalkan mereka senang.
Sistem ekonomi yang merupakan salah satu pilar utama penyokong sistem ini menjalankan pasar hanya berdasarkan supply dan demand alias penawaran dan permintaan. Selama ada permintaan dari pasar, maka penawaran produk akan terus dilakukan, tidak melihat lagi apakah itu halal atau haram, merusak atau tidak, termasuk di dalamnya pornografi.
Selama konten-konten porno ini masih banyak yang mengakses, artinya profit materi bisa terus didapatkan dan pembuatan konten pun terus berjalan. Kerusakan moral masyarakat tidak dipandang sebagai kerugian dalam sistem ekonomi kapitalisme.
Bahkan jika kerusakan moral ini bisa mendatangkan uang yang banyak, maka harus dilanjutkan dan diperbanyak kerusakannya. Di sini lah sangat jahat dan bobroknya sistem kapitalisme ini.
Sampai di sini, sangat terang benderang, permasalahan pronografi ini bukan hanya masalah generasi muda, bukan juga hanya masalah ada atau tidaknya satgas, bukan.
Pornografi adalah permasalahan sistemis, yaitu ideologi yang salah yang melahirkan aturan-aturan yang merusak semua lini kehidupan masyarakat. Jika tidak diberikan solusi yang juga berupa sistem yang benar, masalah seperti ini dan masalah lain tidak akan pernah selesai.
Satu-satunya sistem yang mampu untuk menyelesaikan seluruh permasalahan masyarakat hari ini hanya Islam. Islam yang berasal dari Zat Yang Maha Tahu atas kondisi manusia dan alam semesta telah sempurna menyediakan berbagai aturan untuk kehidupan manusia.
Terkait dengan pornografi, Islam memandang bahwa masalah ini adalah kemaksiatan terhadap Allah, maka harus dihentikan. Sistem Islam menjaga individu-individu mulai dari ketakwaan individu, kontrol masyarakat, serta pelaksanaan seluruh sistem kehidupan oleh negara.
Negara Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah akan menindak tegas para pelaku pembuat konten-konten pornografi. Khalifah akan dengan tegas melaksanakan sistem sanksi yang akan membuat jera siapapun yang berlaku maksiat.
Selain itu, kontrol masyarakat juga akan berlaku dengan baik karena ketakwaan masyarakan terbangun dengan benar sebagai akibat penerapan sistem pendidikan dan sistem sosial yang benar, sistem informasi juga berfungsi menyaring informasi tidak berguna dan merusak, selain itu pemenuhan kebutuhan primer masyarakat oleh negara juga diatur dengan baik oleh Islam. Maka berbagai dorongan buruk untuk bermaksiat akan sangat terminimalisir.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Oleh: Fatmawati
Aktivis Muslimah
0 Komentar